BAGI dosen, ijazah bisa berarti masa depan. Maka, ketika para dosen Institut Teknologi Akprind, Yogyakarta, diminta menyerahkan ijazah asli mereka oleh direkturnya, dua pekan lalu 11 orang kontan menolak. Mereka memilih diberhentikan, ketimbang harus menyerahkan ijazah sebagai "tanda kesetiaan". Kemelut di Akprind bermula dari hengkang-nya tiga orang dosen tetap yang mengajar di situ. Mereka, seperti dikatakan Siswono Oetoyo, Direktur, pergi begitu saja sebelum masa kontrak kerja selama lima tahun berakhir. Itulah. Lewat pertemuan dengan seluruh staf pengajar, Direktur itu menyatakan agar para dosen muda menyerahkan ijazah asli mereka sebagai jaminan. Dengan begitu, diharapkan mereka tak akan meninggalkan kampus sebelum kontrak yang lima tahun habis. Ketika itu, seperti dikatakan Ir. Endang Dwi Siswani, dosen lulusan FT UGM yang baru mengajar enam bulan, "kami sudah berpikir-pikir untuk menyetujui, sebelum batas waktu tanggal 30 Agustus berakhir." Tapi, dua hari setelah pertemuan, tepatnya 22 Agustus, mendadak ada panggilan untuk bertemu bagi semua dosen. Di situ Direktur menjelaskan bahwa tak ada alternatif lain kecuali segera menyerahkan ijazah asli. Bagi yang menolak, dipersilakan mengundurkan diri tanpa syarat. Karena merasa ditantang, "Kami langsung menyatakan menolak dan minta diberhentikan," ujar Endang, ibu seorang anak. Ia menilai, ketentuan tersebut berlebihan. Sebab, sewaktu masuk Akprind tempo hari, para dosen tetap sudah menandatangani perjanjian kontrak untuk selama lima tahun. Lagi pula, ketentuan baru itu dirasa janggal, karena hanya diberlakukan terhadap dosen muda yang belum lama bekerja, yang berjumlah 13 orang. Di Akprind sendiri sebenarnya ada 59 orang dosen. Di antaranya 34 dosen tetap dan 13 dosen negeri yang diperbantukan. Dari ke-13 dosen muda, hanya dua orang yang menyatakan kesediaan menyerahkan ijazah mereka. Keduanya mau melakukan itu, "Karena kami sudah merasa mantap mengajar di sini," kata Djumadi, salah seorang dari yang dua itu. Tidak demikian halnya dengan ke-11 dosen yang lain. Mereka tampaknya masih ragu-ragu. Bukan apa-apa. "Sampai saat ini kami belum mendapat kepastian jaminan masa depan secara tertulis," ujar Endang. Ia khawatir, setelah ijazah diserahkan, nanti ada peraturan lain lagi yang merugikan. MEMANG, katanya, pihak Direktur pernah memberi iming-iming bahwa dosen tetap, apalagi yang masih muda bisa dikirim ke luar negeri untuk belajar lagi. Ada pula janji untuk memperoleh tunjangan perumahan. Yang dipersoalkan, "Semuanya itu hanya janji lisan." Artinya, bila ternyata tak dilaksanakan, yang merasa dirugikan tak akan pernah bisa menuntut. Buktinya, kata Marwoto, tentang gaji. Ia mengaku hanya menerima Rp 68 ribu sebulan. Padahal, katanya, dengan standar golongan III A, dosen negeri akan mendapat Rp 80 ribu. Karena menganggap serba tak pasti itulah, sebelas dosen muda merasa lebih baik mengundurkan diri. Dan Siswono, Direktur itu, terus terang menyesalkan hal ini. Soalnya, ia sebenarnya berharap adanya para dosen muda dimaksudkan sebagai langkah kaderisasi. "Tapi kalau mereka tetap mau mundur ya, silakan," katanya kepada TEMPO. Ia merasa kepergian mereka tak berpengaruh benar karena masih banyak dosen lain yang tinggal. Pokoknya, "Hilang sebelas, muncul seribu." Sampai Senin pekan ini, mundur tidaknya kesebelas dosen muda, belum ada kepastian. Mereka memang sudah tak mengajar lagi karena tak lagi dijemput seperti biasa. Namun, surat pemberhentian belum mereka terima. Karena mereka dianggap mengundurkan diri, pihak Akprind merasa keberatan mengeluarkan surat semacam itu. Sebaliknya, ke-11 dosen menganggap itu perlu. Toh pengunduran diri disebabkan peraturan lisan yang dibuat oleh Direktur. Menghadapi keadaan yang menggantung ini, Kopertis Wilayah V tak bisa berbuat banyak. "Itu 'kan urusan intern Akprind," ucap Subaroto, Koordinator Kopertis V. Akibatnya, Marwoto dan kawan-kawan menjadi bingung, kepada siapa sebenarnya mereka bisa meminta penyelesaian. Mengadu ke LBH? "Itu 'kan sudah terlalu jauh."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini