Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Program Studi S1 Departemen Politik dan Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM, Abdul Gaffar Karim menyebutkan tudingan demo mahasiswa memprotes rancangan undang-undang kontroversial sebagai upaya mendelegitimasi hasil pemilihan umum yang menetapkan Joko Widodo sebagai presiden tidak terbukti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Gaffar melihat demonstrasi #Gejayan Memanggil yang berlangsung pada 23 September sebagai gerakan yang berhasil menarasikan ulang sejarah gerakan mahasiswa yang sehat dan produktif. Ini merupakan bagian dari kritik terhadap pemerintahan yang demokratis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Tudingan gerakan ditunggangi dan delegitimasi Presiden Jokowi tidak terbukti. “Nggak usahlah curiga gerakan itu akan jatuhkan presiden, delegitimasi pelantikan,” kata Gaffar kepada Tempo di Fisipol UGM, Rabu, 25 September 2019.
Buat Gaffar, gerakan mahasiswa itu membawa harapan untuk masa depan. Mereka menunjukkan kesiapan untuk menjadi pemimpin masa depan. Demonstrasi yang menyatukan belasan ribu mahasiswa dari berbagai kampus di Yogyakarta dan masyarakat sipil itu, kata Gaffar menunjukkan kepedulian pada isu-isu publik.
Dari demonstrasi itu, orang bisa belajar menempatkan diri sebagai warga negara yang tidak hanya sibuk pada politik elektoral atau pemilu. Saat Pilpres 2014 dan 2019, publik terbelah pro-Jokowi dan Pro Prabowo. Mereka dalam kubu masing-masing tidak mau mengkritik pilihannya masing-masing. Bila warga negara hanya memperlakukan dirinya sebagai pemilih, maka demokrasi akan rusak.
Tapi, saat ini publik bersatu untuk memperjuangkan hak-hak sipil warga negara. Orang-orang yang pro-Jokowi pun turut serta mengkritik RKUHP bermasalah, pelemahan KPK, dan mendorong pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.
Gejayan Memanggil, kata Gaffar terbukti mampu menarik simpati publik. Media sosial, seperti twitter, facebook, instagram menjadi efektif untuk menggalang solidaritas publik. Demonstrasi mereka pun mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Mereka bertanggung jawab tidak merusak fasilitas umum dan membersihkan sampah. Aksi-aksi itu simpatik dan menepis tudingan sebagian orang bahwa aksi tersebut dikhawatirkan rusuh.
Senada dengan Gaffar, dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional Fisipol UGM, Randy Wirasta Nandyatama bangga dengan gerakan mahasiswa tersebut karena mereka berhasil menyuarakan isu-isu publik.
Dia mencontohkan solidaritas dan kepedulian pada isu publik, di antaranya tentang kekerasan seksual dengan mendesak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, menolak pelemahan KPK, dan peduli pada kekerasan yang terjadi di Papua.