Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Setelah gagal di tingkat banding, perlawanan dosen Universitas Syiah Kuala Aceh yang terjerat UU Informasi dan Transaksi Elektronik juga kandas di tingkat kasasi.
Terancam bui selama 3 bulan.
Bersiap mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.
PESAN itu mendarat di akun WhatsApp Saiful Mahdi, Dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Unversitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Selasa, 29 Juni lalu. Temannya di Paguyuban Korban Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik mengirimkan gambar tangkapan layar dari laman direktori putusan Mahkamah Agung. “Permohonan kasasi saya ditolak,” ujar Saiful, Selasa, 6 Juli lalu.
Di hari itu, Mahkamah Agung mengunggah petikan putusan perkara pencemaran nama yang menjerat Saiful. Majelis hakim kasasi yang diketuai Gazalba Saleh dan beranggotakan Soesilo serta Salman Luthan menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Aceh yang menolak permohonan banding Saiful.
Hakim tetap menyatakan pria 53 tahun ini bersalah melanggar Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. “Putusan hakim sebelumnya sudah tepat, baik dari sisi penerapan norma hukum maupun pengujian fakta persidangan,” ujar juru bicara Mahkamah Agung, Andi Samsan Nganro. Selama proses peradilan, Saiful tak ditahan. Ia terancam masuk terungku setelah adanya putusan kasasi ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Andi Samsan Nganro/Dok. Mahkamah Agung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saiful terbelit perkara sejak melontarkan kritik di grup WhatsApp “Unsyiah Kita” pada 5 Februari 2019. Ia mempertanyakan keputusan pejabat kampus yang meloloskan SR, seorang calon dosen Fakultas Teknik Unsyiah, yang ia nilai tak memenuhi syarat. “Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Dapat kabar duka matinya akal sehat dalam jajaran pimpinan FT Unsyiah saat tes PNS kemarin. Bukti determinisme teknik itu sangat mudah dikorup?” tulisnya di grup itu.
Seorang anggota grup menukil pesan Saiful menjadi gambar lalu mengirimkannya kepada Dekan Fakultas Teknik Unsyiah Taufiq Saidi. Pesan itu menyebar pula di kalangan dosen Unsyiah. Taufiq melaporkan Saiful ke Kepolisian Resor Banda Aceh pada Juli 2019 dengan tuduhan mencemarkan namanya. Saiful menjadi tersangka sebulan kemudian. Selama proses penyidikan, polisi berupaya mendamaikan keduanya. Namun upaya itu gagal.
Taufiq Saidi turut melaporkan Saiful ke Rektorat Unsyiah. Dimintai konfirmasi soal dua laporannya ini, Taufiq menolak menjelaskan. “Maaf, tidak baik saya bicara soal ini,” katanya.
Saiful heran atas proses pemidanaan ini. Ia merasa tak menyebarluaskan pesan itu ke orang lain. Ia mengklaim grup WhatsApp “Unsyiah Kita” melarang anggota membagikan informasi yang ada ke luar tanpa izin. Setiap anggota bebas melontarkan kritik, sejauh didukung fakta dan bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. “Taufiq Saidi bukan anggota grup itu,” katanya. “Harusnya orang yang menyebarkan salinan gambar itu yang dipidanakan.”
Dalam persidangan terungkap, pesan itu disebarkan seorang dosen bernama Muzailin, kolega Saiful di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Unsyiah. Muzailin pun sudah mengakuinya. “Mengakui ada peraturan yang melarang menyebarkan isi pesan di grup ke pihak lain. Tapi pesan itu hanya dikirim ke Taufiq karena ingin mengkonfirmasi isinya,” tulis salinan putusan perkara Saiful di Pengadilan Negeri Banda Aceh yang mengutip keterangan Muzailin.
Henri Subiakto/https://www.kominfo.go.id/
Pengadilan Negeri Banda Aceh menyatakan Saiful bersalah dan menghukumnya 3 bulan penjara dan denda Rp 10 juta subsider 1 bulan kurungan pada 21 April 2020. Ketua majelis hakim Eti Astuti menyatakan Saiful terbukti tanpa hak mendistribusikan informasi yang memiliki muatan pencemaran nama, seperti yang tercantum dalam Undang-Undang ITE.
Direktur Eksekutif South East Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Damar Juniarto menilai putusan terhadap Saiful janggal. Menurut dia, hakim mengabaikan keterangan saksi ahli bahasa, saksi ahli pidana, serta anggota staf khusus Kementerian Komunikasi dan Informasi. Hakim, menurut Damar, juga tak menggubris pandangan hukum lewat sahabat peradilan (amicus curiae) yang menyatakan pesan Saiful tak mengandung unsur pidana. “Putusan ini membahayakan ruang kebebasan akademik dan berekspresi,” ucap Damar.
Anggota staf khusus Menteri Komunikasi dan Informatika, Henri Subiyakto, menilai putusan itu telah menzalimi Saiful. Menurut dia, pembuktian unsur pidana dalam kasus itu melampaui norma yang diatur dalam Undang-Undang ITE. Norma tersebut telah dipertegas lewat surat keputusan bersama yang diteken Kepala Kepolisian RI, Jaksa Agung, serta Menteri Komunikasi dan Informatika pada 23 Juni lalu. “Ini memang kasus lama. Tapi menunjukkan bahwa masih ada perbedaan pemahaman antara pembuat undang-undang dan penegak hukum, termasuk hakim,” ucapnya.
Banjir Perkara Sejak Lahir
UNDANG-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik masih menjadi ancaman. Sejak berlaku pada 21 April 2008, ratusan orang menjalani proses pidana. Sebagian besar terseret Pasal 27, 28, dan 29 Undang-Undang ITE. Saiful Mahdi, dosen di Universitas Syiah Kuala, merupakan salah satu korban undang-undang itu.
Terjerat Pesan WhatsApp
5 Februari 2019
Saiful Mahdi mengkritik penerimaan dosen di grup WhatsApp “Unsyiah Kita”.
Juli 2019
Dekan Fakultas Teknik Taufiq Saidi melaporkan Saiful ke Kepolisian Resor Banda Aceh.
30 Agustus 2019
Penyidik memeriksa Saiful Mahdi sebagai tersangka.
17 Desember 2019
Pengadilan Negeri Banda Aceh menggelar sidang pembacaan dakwaan Saiful Mahdi.
21 April 2020
Pengadilan Negeri Banda Aceh memvonis Saiful 3 bulan penjara plus denda Rp 10 juta subsider 1 bulan kurungan.
Juli 2020
Pengadilan Tinggi Aceh memperkuat vonis Pengadilan Negeri Banda Aceh.
29 Juni 2021
Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi Saiful Mahdi.
Inti kritik Saiful, menurut Syahrul yang menjadi pengacaranya, adalah mempertanyakan keputusan penerimaan SR sebagai dosen di Fakultas Teknik. Ia menyitir Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 36 Tahun 2018 yang menyebutkan tenaga pendidik harus berasal dari program studi pendidikan berakreditasi A.
Saiful, kata Syahrul, mempertanyakan keputusan itu karena gelar master SR berasal dari perguruan tinggi berakreditasi C. Akibat menurunkan syarat yang diatur dalam peraturan Menteri Aparatur Negara tersebut, kata Syahrul, banyak dosen dari universitas berakreditasi A tak lolos seleksi. Syahrul menilai kritik Saiful sebagai masukan untuk mencegah kekeliruan pada sistem penerimaan pegawai di Unsyiah. “Bukan pidana pencemaran nama baik,” tutur Syahrul.
Karena itu, Saiful melawan putusan hakim di tiap jenjang, hingga berakhir ditolaknya permohonan kasasi di Mahkamah Agung. Kini dia tinggal punya satu harapan lain, yakni mengajukan permohonan peninjauan kembali. Namun syaratnya ia mesti memiliki bukti baru untuk memperkuat gugatan.
Jaksa penuntut kasus tersebut, Fitriani, semula menjawab pertanyaan-pertanyaan Tempo seputar kasus ini. Belakangan, ia meminta penjelasannya tidak dikutip. Ia merasa tak berwenang berbicara kepada wartawan.
Juru bicara Kejaksaan Tinggi Banda Aceh, Munawal, dan Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Tinggi Aceh Muharizal juga ikut-ikutan bungkam. “Maaf, bukan saya tidak mau menjawab, coba ke Kepala Kejaksaan Negeri Banda Aceh,” ujar Munawal. Hingga Sabtu, 10 Juli lalu, Kepala Kejaksaan Negeri Banda Aceh Edi Ermawan tak merespons permintaan wawancara.
Adapun Saiful sudah menyiapkan bukti baru atau novum yang akan ia ajukan ke Mahkamah Agung, yakni Surat Kesepakatan Bersama tentang Pedoman Penerapan Undang-Undang ITE. SKB menjelaskan pencemaran nama seseorang hanya berlaku jika menyasar individu, bukan lembaga. “Biarlah majelis hakim yang memberi penilaian,” kata juru bicara MA, Andi Samsan Nganro.
RIKY FERDIANTO
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo