Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat mengecualikan Komisi Pemberantasan Korupsi dari aturan izin penyadapan yang dibahas dalam draf Rancangan Undang- Undang Penyadapan. Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas mengatakan, lembaga antirasuah itu tak perlu meminta izin pengadilan negeri untuk menyadap dalam pengusutan tindak pidana korupsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Draf itu hasil konsultasi Badan Legislasi dengan berbagai pihak. “Keputusan politiknya seperti apa, nanti dibicarakan," kata Supratman di kantornya, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 4 Juli 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Usulan RUU Penyadapan muncul dari Panitia Khusus atau Pansus Hak Angket KPK yang dibentuk DPR awal tahun 2018. Dalam pembahasannya, draf awal RUU Penyadapan kerap dikritik lantaran dinilai akan membatasi kewenangan KPK dalam melakukan penyadapan.
Institusi hukum yang akan menyadap harus mendapatkan izin pengadilan negeri. Izin itu juga harus disampaikan melalui kejaksaan. Dua poin ini tertuang dalam pasal 5 draf RUU Penyadapan.
Namun dalam draf per tanggal 2 Juli, KPK akhirnya dikecualikan dari keharusan mengajukan izin itu. Pasal 6 ayat (1) draf RUU itu menyebutkan bahwa penyadapan hanya bisa dilakukan dalam tahap penyidikan. Namun ayat (3) pasal itu menyatakan bahwa KPK dikecualikan dari ketentuan ini. Artinya, KPK dapat melakukan penyadapan sejak proses penyelidikan dan tanpa izin pengadilan negeri. "KPK memberikan apresiasi bahwa kami menyusunnya tidak dalam kerangka untuk menyamakan lembaga penegak hukum yang lain dengan KPK," kata Supratman.
RUU Penyadapan ini merupakan salah satu program legislatif nasional prioritas 2019. Menurut Supratman, Dewan mentargetkan aturan ini bisa segera rampung sebelum masa jabatan 2014-2019 habis pada Oktober mendatang.
Draf RUU Penyadapan ini juga mengatur soal tindak pidana yang dalam penyidikannya boleh dilakukan penyadapan. Yakni korupsi yang menjadi kewenangan Kepolisian Republik Indonesia dan Kejaksaan, perampasan kemerdekaan atau penculikan, perdagangan orang, penyelundupan, pencucian dan/atau pemalsuan uang, psikotropika dan/atau narkotika, penambangan tanpa izin, penangkapan ikan tanpa izin, kepabeanan, dan perusakan hutan.
Menurut Supratman, saat ini masih terjadi perdebatan soal limitasi tindak pidana itu, khususnya menyangkut penambangan liar dan kerusakan hutan. Dia mengatakan dua jenis kejahatan itu diusulkan untuk ditiadakan dari draf RUU. "Menurut saya logic juga, karena itu kan barang (kejahatan) kelihatan.” Beberapa temannya berpendapat jika ketentuan itu dimasukkan dalam draf akan mengganggu iklim usaha bidang pertambangan.