Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Drama piring narkotik di ciliwung

Misteri kematian aldi di rumah artis ria irawan belum terkuak jelas. ia membantah terlibat jaringan narkotik. sementara itu, kalangan pemakai ecstasy menganggapnya malah sebagai "pahlawan", yang tak akan menyeret mereka.

5 Februari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM kotak itu masih tersisa beberapa batang rokok. "Salah satunya tidak berisi tembakau lagi, tapi bubuk putih, yang diduga adalah heroin," kata Kepala Kepolisian RI Jenderal Banurusman kepada TEMPO. Bungkus rokok itu -- bersama belasan butir obat, sepucuk amplop juga berisi serbuk putih, selembar cek bernilai jutaan rupiah, dan satu kotak kaset video yang terpercik darah -- ditemukan pekan lalu dalam tas, yang menurut polisi milik Ria Irawan. Ditemukannya barang tersebut melengkapi alasan polisi untuk menyidik bintang film dan sinetron itu. Tak hanya sebagai tersangka yang menghilangkan barang bukti perkara tewasnya seorang pemuda di rumahnya tiga minggu silam. Tapi juga, dugaan polisi, Ria terlibat jaringan pengedar narkotik. Apalagi ini dikaitkan dengan tewasnya Atas Rifardi Sukarno Putro, 22 tahun -- biasa dipanggil Aldi -- hampir dipastikan akibat overdosis. Walau hasil resmi penelitian forensik belum diumumkan, menurut polisi, korban "memakai" narkotik atau obat terlarang melebihi batas takaran. Sewaktu diperiksa sebagai saksi, jawaban Ria dianggap berbelit-belit oleh polisi. Khususnya, mengenai apa yang diketahuinya pada pukul 08.00 sampai 12.20 hari Rabu itu. Yaitu, urut-urutan kejadian mulai saat ia menemukan Aldi berbusa mulutnya sampai polisi tiba di rumahnya. "Kemarin bilang begini. Hari ini sudah lain. Kalau ditanya kok bisa begitu, dia bilang lupa," keluh seorang penyidik. Ria pun diperingatkan, "Bila jawabanmu masih tak jelas juga, pemeriksaan ini akan berlangsung sebulan." Ria kontan stres (TEMPO, 29 Januari 1994). Maklum, sepanjang dua minggu lebih, dari sore hingga dini hari, ia harus meladeni reserse yang bergantian menanyainya dengan pertanyaan yang kurang lebih itu- itu juga: apa yang dilakukannya sebelum polisi tiba di tempat kejadian? Selama tujuh sampai dua belas jam itu, Ria pun tampaknya tak bisa beristirahat sejenak dengan keluar ruangan mencari a-ngin. Di luar keadaannya juga tak jauh beda. Di balik pintu dan jendela yang kacanya sampai dilapis koran agar tak tembus pandang, belasan wartawan tulis dan foto menungguinya. Bedanya, ia boleh tak menjawab pertanyaan wartawan. Ria bagai terjebak dalam kepungan pertanyaan. Sehingga, tak ayal dari bibirnya yang mungil meluncur pengakuan: sebelum polisi tiba di tempat kejadian, ia sempat menyuruh Sutiman dan Syamsudin -- kini keduanya sudah menjadi tersangka -- membuang piring yang sudah ia cuci sebelumnya. Kuat dugaan polisi, di piring ini tersisa serbuk obat keras yang menamatkan riwayat Aldi. Kedua awak sinetron Lika-Liku Laki-Laki itu membawa piring terbungkus kantong plastik dengan mobil minibus. Mereka menuju lokasi syuting di Cinere guna melaporkan Ria tak bisa hadir untuk pengambilan gambar hari itu. Kemudian mereka menuju ke Kali Ciliwung, di Manggarai, Jakarta Selatan, sekitar 24 kilometer dari Lebakbulus. Dari tepi jembatan yang menghubungkan Jalan Slamet Riyadi, Sutiman mencemplungkan piring tadi. Tapi ini baru pengakuan. Bagi polisi, jelas, itu belum cukup. Barang bukti itu harus didapatkan. Sehingga, regu penyelam dikerahkan mencari di dasar kali yang berair cokelat keruh, dan di musim hujan ini arusnya lebih deras dari biasa. Sebuah usaha yang "dramatik" untuk sebuah piring. Belakangan muncul pula info: sebenarnya piring itu tidak diceburkan ke kali. Satu sumber membisikkan, Sutiman dan Syamsudin diam-diam tak menuruti perintah Ria. Piring itu tetap tergolek di bawah bangku minibus sampai akhirnya ditemukan polisi, dan segera diamankan sebagai barang bukti. Ria mengaku memberikan perintah ke Sutiman, yang menjabat pemimpin unit awak sinetron Lika-Liku Laki-Laki, untuk membuang benda itu. Alasannya, ia panik setelah mengetahui Aldi tewas menghirup serbuk di atas piring tersebut. Ria memang tak berharap Aldi mati overdosis di rumahnya. Bahkan, ketika Aldi ingin melakukan snore (menghirup serbuk narkotik melalui hidung), ia melarangnya. "Jangan deh, bahaya," ujar Ria, seperti dikutip Kepala Polisi Resor Jakarta Selatan, Letnan Kolonel Adang Rismanto. Ini adalah keterangan Ria paling mutakhir. Karena, sebelumnya, tak sekalipun muncul informasi bahwa ia mengetahui adanya pemakaian narkotik di rumahnya yang berkaitan dengan kematian Aldi. Pengakuan tentang cara Aldi memakai serbuk putih dengan snore ini memperkuat bukti tak digunakannya suntikan untuk memasukkan bubuk racun itu ke dalam tubuh Aldi. Salah seorang kerabatnya mengaku melihat bekas injeksi di bagian lengan Aldi. Tapi ini dibantah Dokter Budi Sampurna, yang mengotopsi korban. "Dari prosedur pemeriksaan yang sudah dilakukan, bekas suntikan itu tak ditemukan," kata Budi. Ahli forensik ini juga membantah adanya epitel (lendir) vagina yang bercampur dengan sperma korban. "Yang kami temukan hanya sperma yang lazim keluar saat seseorang menjelang ajal (postmortem)," kata Dokter Budi. Juga, aneh bila ada yang begitu melihat cairan sperma yang keluar dari kelamin korban, langsung menyimpulkan adanya percampuran sperma dan epitel vagina. Sebab, secara kasat mata, percampuran itu tak mungkin terlihat begitu saja. Harus melalui mikroskop. Spekulasi seperti di atas wajar karena baik Ria maupun polisi tak pernah cukup terbuka untuk mengungkapkan perkara ini. Buntutnya, muncul isu yang sulit dikonfirmasi. Mulai dari keterangan tentang jenazah Aldi yang sempat dilarikan ke rumah sakit sebelum polisi tiba sampai peran Ria dalam sindikat pengedar Ecstasy (lihat: Pil Pesta yang Mematikan). Ada dugaan, tewasnya Aldi lebih dari sekadar kecelakaan, tapi berkaitan dengan bisnis peredaran obat perangsang itu. Lebih jauh dari itu, menurut sumber TEMPO, Ria sudah lama memakai dan mengedarkan Ecstasy. Tingkatan Ria dalam perdagangan ini adalah diamond marketing. Artinya, biasa memasarkan obat yang dipasok dari Singapura itu ke kalangan kelas atas, dan per bulan mampu menjual 500 butir obat. Di bawahnya ada lagi tingkatan senior marketing dan junior marketing, yang tentu lebih sedikit omsetnya. Sedangkan Aldi, yang oleh keluarganya dikatakan tak pernah berhubungan dengan narkotik, disebut sebagai pelanggan sejak enam bulan lalu. Rupanya, sejak mengenal obat itu, Aldi menjadi ketagihan. Dan tahu-tahu, jumlah obat yang diambilnya dari Ria mencapai nilai Rp 75 juta. Ria menagihnya berkali-kali. Tapi jawaban Aldi malah minor. "Mau gua beberkan ke wartawan," kata Aldi, ditirukan sumber TEMPO. Gertakan ini dilaporkan Ria pada bosnya saat bertemu di sebuah hotel berbintang empat di Jakarta. Si bos bersama gengnya lalu membuat skenario bagaimana melenyapkan Aldi, sebelum membuka mulut ke pers. Ia mengontak teman-temannya sebanyak sekitar 20 orang, dan mengadakan rapat lagi di Ciputat. Dan skenario itu ternyata menjadi kenyataan: Aldi ditemukan tewas. Kematian ini malah berbuntut panjang, dan menjerat Ria terperosok ke pemeriksaan yang akhirnya membuat Ria menjadi salah satu tersangka. Benar tidaknya cerita di atas, belum teruji. Sementara itu, dengan sedikit kesal, Ria membantah cerita di atas. "Kalau cuma cerita kayak begitu, sih, banyak," kata Ria (lihat: Cobaan Ketika Ingin Baik). Sementara itu, di kalangan pemakai Ecstasy -- yang kini memilih tutup mulut dan bersembunyi -- sikap Ria dipuji setinggi langit. "Ria itu pahlawan," katanya. Dengan terus memainkan perannya seperti saat ini, teman-temannya yakin, mereka tak bakal terseret. Buat Ria sendiri, ini artinya harus terus bermain dalam lakon absurd. Sehingga sulit dibedakan mana keterangan Ria yang benar dan mana yang rekaan. Misalnya, soal tas berisi heroin dan obat yang disita polisi itu, Ria tegas menyangkal. "Itu bukan milik gue," katanya. Ia sendiri tak habis pikir bagaimana sampai tas itu jatuh ke tangan polisi. Seingatnya, polisi tak pernah meminta dan ia juga tidak pernah memberinya. Soal tas ini sama absurdnya dengan kunci rumahnya. Tiga hari setelah kejadian, tak jelas bagaimana caranya, tiba-tiba Ria mengetahui kunci sudah dipegang dua anggota polisi yang menjagai lokasi tewasnya Aldi itu. Padahal, ia merasa tak pernah menyerahkannya. Ini mengherankan. Sebab, orang juga masih segar mengingatnya bahwa selang dua hari setelah mayat Aldi ditemukan, dua polisi yang diberi tugas menjaga lokasi perkara tak bisa masuk rumah dan hanya mengawasi dari luar. "Karena kunci masih dipegang Ria," begitu alasan mereka.Ivan Haris, Widi Yarmanto, Taufik T. Alwie, dan Kemala Atmojo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum