Dalam suatu ceramah pada pertengahan bulan Januari 1994 ini, di Monash University, Australia, seorang peserta diskusi bertanya kepada seorang ulama yang memberikan ceramah: "Bagaimana hukumnya, menyumbang suatu yayasan amal dengan cara membeli undian berhadiah mobil dengan dua niat sekaligus: (1) mengharap ridho Allah, dan (2) mengharap hadiah mobil?" Bapak penceramah tersebut menjawab: "Boleh saja, kita melakukan sesuatu dengan mengharap ridho dari Allah. Dan kalau kemudian kita mendapat imbalan dari perbuatan kita tersebut, boleh saja kita terima imbalan tersebut. Contoh lain, misalnya, kita boleh saja mendatangi suatu pertemuan arisan yang ber-door prize, dengan niat pokok untuk silaturahmi, tapi kalau kemudian kita mendapat hadiah door prize tersebut, tidak salah kalau kita menerimanya." Pertanyaan peserta ceramah serta jawaban penceramah membuat saya termenung beberapa saat. Saya yakin bahwa yang dikatakan oleh penceramah adalah benar (tidak salah). Tapi yang dikatakan bapak penceramah itu tidak menjawab pertanyaan peserta ceramah. Ada semacam salah komunikasi antara pertanyaan peserta ceramah dan jawaban penceramah. Peserta ceramah menanyakan suatu hukum dari suatu perbuatan yang didahului oleh dua niat sekaligus, sedangkan bapak penceramah menguraikan suatu hukum dari suatu perbuatan yang didahului oleh dua niat yang berturutan. Bagi saya, keikhlasan dari suatu perbuatan terletak pada niat yang muncul ketika akan berbuat sesuatu. Kalau niat itu semata mengharapkan keridhoan Allah SWT (tidak ada harapan yang lainnya), bolehlah disebutkan bahwa perbuatan itu dilakukan dengan ikhlas. Dalam hal ini yang dijelaskan oleh penceramah tadi benar, karena dalam contoh pertama, perbuatan membeli undian memang diniati untuk mengharap keridhoan Allah SWT (bukan mengharapkan mobil). Sedangkan pada contoh kedua, mendatangi pertemuan arisan dengan niat untuk silaturahmi. Menurut kriteria keikhlasan yang saya sebut tadi, pembelian atau pemberian sumbangan dengan niat mengharap memperoleh hadiah mobil, atau mendatangi pertemuan dengan niat mendapatkan hadiah, dapat disebut sebagai perbuatan yang kurang ikhlas (karena mengharap selain ridho dari Allah SWT). Demikian pula, pemberian sumbangan dengan niat mengharapkan ridho Allah dan sekaligus mengharapkan mobil dapat disebut kurang ikhlas. Seperti telah kita ketahui bersama, tuntutan pembubaran SDSB dilandasi dua hal: (1) adanya dugaan yang kuat bahwa lebih banyak orang menyumbang melalui SDSB dengan niat tidak untuk menyumbang, tapi untuk mendapatkan hadiah sekian juta rupiah tanpa payah-payah dan (2) dampak negatif SDSB jauh lebih banyak daripada dampak positifnya. Yang lebih menarik lagi, peserta ceramah mengusulkan prosedur yang sama (melalui lotere) untuk menunaikan ibadah haji. Menurut saya, kalau kebutuhan haji itu dipandang sebagai suatu kebutuhan batin untuk memenuhi panggilan Allah SWT, proses atau prosedur pelaksanaan ibadah pun seharusnya sesuai dengan tuntunan yang telah diberikan oleh agama. Pertanyaan saya, apakah mungkin (dilihat dari pandangan agama) melaksanakan ibadah melalui proses atau prosedur yang berlawanan dengan ajaran agama, misalnya melaksanakan ibadah haji yang ongkos hajinya dari main judi atau lotere (istilah halusnya undian berhadiah naik haji) atau menyumbang fakir miskin dengan uang hasil mencuri (maaf, seperti Robin Hood saja). Kita seharusnya ingat bahwa suatu saat nanti kita akan dimintai pertanggungjawaban tentang harta kita tidak hanya tentang bagaimana kita memanfaatkannya, tapi juga bagaimana kita memperolehnya. Akhirnya, semuanya memang terpulang kepada kita masing- masing, apakah kita akan lebih mendekatkan diri kepada kehidupan duniawi atau kita akan lebih mendekatkan diri kepada kehidupan ukhrowi, atau kita akan setengah-setengah dan masing-masing akan mendapatkan imbalan sesuai dengan yang sudah kita niatkan.DRS. SAFRUDIN I. CHAMIDI, MAPinang Griya Permai B-29 Pinang, Cipondoh,TangerangJawa Barat 15145
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini