Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Cobaan ketika ingin baik

Ria irawan mengaku sudah empat bulan bahkan tidak lagi minum alkohol. "saya sudah seperti tahi," katanya kepada kemala atmojo, wartawan matra, yang menulis pertemuannya dengan ria irawan khusus untuk tempo.

5 Februari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI kamar lantai dua rumah ibunya, di Jalan Anggrek Lestari Indah Blok N/11, Jakarta Selatan, Ria Irawan tergolek di kasur yang terhampar di lantai. Wajahnya kuyu. Tubuhnya yang 157 cm itu agak langsing, menurut pengakuannya, susut 5 kg dari yang semula 51 kg. Rambutnya yang ikal tergerai tak teratur. Selimut biru laut itu sesekali ditariknya untuk menutupi tubuhnya. Malam itu Ria Irawan mengenakan baju tidur warna putih, bermotif bunga merah dan biru. "Saya capek. Saya tidak mau memikirkan itu dulu," katanya dengan suara pelan. Ria sedang tak enak badan, karena diduga mengidap gejala tifus. Ini sebabnya ia tidak bisa memenuhi panggilan polisi pada hari itu. Di lantai bawah, sang ibu -- Ade Irawan -- duduk dekat meja makan mengamati acara televisi. Ia memanggil putrinya untuk bersantap malam serta menelan obat. Segepok obat disodorkan Ade ke Ria, antara lain Peptisol. Ini adalah larutan makanan tambahan berkalori tinggi pemberian Dokter Al Bachri Husin. Juga beberapa obat lain dari Dokter Mastari. "Kami sedang menunggu dokter dari kepolisian yang katanya mau datang," kata Ade Irawan. "Mereka mungkin tidak percaya bahwa Ria benar-benar sakit," tambahnya. Janda almarhum bintang film Bambang Irawan itu terus menyuapi Ria dengan semur kentang. Lalu, hening beberapa saat di rumah yang didominasi warna putih itu. Kesenyapan pecah ketika Dewi Irawan -- kakak Ria - bergumam kecil sambil membaca surat-surat yang mereka terima, yang berdatangan dari berbagai penjuru. Memang, sejak peristiwa itu, ratusan surat membanjiri rumah ibu mereka. Ada yang isinya bernada simpati. Misalnya, yang datang dari beberapa pesantren. Sebaliknya, ada pula berisi caci maki, seperti sebuah surat yang mengaku dari Keluarga Besar Minang, dan menghujat Ade Irawan sebagai seseorang yang telah memalukan keluarga besar Minang. Ada pula yang aneh, yakni sebuah surat dari pengirim yang mengaku "Presiden RI". Ditulis dalam bentuk sajak, pada in- tinya, si pengirim mengingatkan Ria agar mengubah gaya hidupnya. Lalu ada surat yang menganjurkan Ria pindah agama. Sebab, hanya Yesus Kristus, kata surat itu, yang bisa menolong Ria sekeluarga. Kemudian ada surat berbahasa Inggris, dari orang yang mengaku bernama William Chang. Dalam surat itu Chang menulis bahwa bersama Mister Sui dan Cho ia kini sedang di Bali. Tanpa menyebutkan identitas yang jelas, mereka memuji tutup mulutnya Ria selama ini. Kalau tidak, mereka mengancam, nasib Ria akan dibuat seperti Aldi, alias tewas. Selain aneka surat tadi, telepon di ruang tengah krang-kring tiap sebentar. Ada yang menyarankan agar Ria pergi ke kiai di Gresik, Jawa Timur. Ada lagi yang cuma sekadar teror, karena tak ada suara apa- apa di seberang sana ketika gagang telepon diangkat. Atau, seperti dituturkan Dewi Irawan, ada cewek yang mengaku saudaranya Ipunk -- istri Aldi. Ia menyebutkan dirinya dari kepolisian Jakarta Timur, dan mendesak supaya Ria mengaku saja. "Pokoknya makin gila, deh. Gosip juga makin tidak keruan," ujar Dewi. Sejak meledaknya kasus kematian Aldi di kediamannya, Ria Irawan lantas seakan menjadi fokus santapan koran. "Bahkan kalau mereka tahu hari ini saya akan dipanggil polisi, misalnya, pagar rumah ini dihadang dengan puluhan motor wartawan yang mau minta komentar," katanya. Namun, sejauh ini usaha wartawan memancingnya bicara belum berhasil. Sampai-sampai ada yang menjulukinya cantik tapi bisu. Apa kiranya kesulitan Ria untuk buka mulut? "Saya lebih merasa sebagai tahanan. Keluar rumah pun saya tak bisa. Padahal, saya sebenarnya kepingin nonton atau makan di luar," keluhnya. Terdiam sejenak, Ria menarik napas. "Lebih dari itu, maaf, saya sudah dipandang seperti tahi! Bahkan lebih rendah dari itu!" ujarnya. Dan di suatu malam yang dingin pekan lampau itu, Ria sedang kehilangan sifat riang-rianya yang terkenal. Bicara sebentar, lalu dia termenung. "Saya betul-betul apes," desisnya. Candanya seakan ikut menguap bersama kepulan asap rokok mentol Dunhill dari bibirnya yang mungil. Padahal, lima hari sebelumnya, dalam obrolan telepon, suaranya yang renyah masih terdengar. "Hai, lu tahu nggak, gua sekarang kayak bintang film India. Kerjaan gua cuma nangis dan ketawa," ujarnya. Juga saat pertama bertamu ke tempatnya suatu siang, Ria menyambut dengan gurauan yang terasa agak pahit. "Mana surat dokter lu. Ntar lu mati di sini, gua repot lagi!" semburnya, sambil menyerocos, "Gila! Apa setiap tamu mesti gua tanyain surat dokter?" Tentang kabar pemakaian Ecstasy? "Ah, itu kan mainan anak-anak disko. Lu tahu, dong, gua jarang main ke tempat-tempat begituan," jawabnya. Ada koran menulis, mayat Aldi sempat dibawa ke rumah sakit. Betulkah begitu? "Gila! Nggak benar itu. Lu pikir gua kuat bawa-bawa mayat segitu gedenya?" jawab Ria dengan mata membelalak. Kembali sorot matanya melompong. Kosong-blong. Namun, Ria belum hilang semangat diajak mengobrol, dan masih cukup spontan mengemukakan jawaban-jawabannya. Tentang barang bukti yang disebut-sebut Anda suruh buang? "Ya, gua panik. Jadi, gua suruh buang aja. Daripada gua kebawa-bawa," sahutnya. "Gua nggak tahu jenis apa obat yang dibuang itu. Yang jelas, itu bukan punya gua," tambahnya. Gosipnya ada hubungan intim dengan Aldi sebelum tidur dengan Rizal. Bagaimana ini? "No, no, he is not my type. You know that," jawabnya dengan suara mantap. Lalu berita tentang cairan vagina di celana dalam Aldi? "Tidak ada itu. Celananya kering, kok. Dan ia memang tidak memakai singlet, tapi kaus oblong," kata Ria. Suntikan di lengan Aldi? "Itu juga tidak ada. Kalau itu akibat suntikan dokter, ya, gua nggak tahu," jawabnya sambil mengikat rambutnya yang terjurai. Ria Irawan lalu menceritakan sekilas perkenalannya dengan Aldi sekitar dua tahun lalu. Ketika itu, katanya, Aldi bersama dua rekan Ria yang lain -- satu di antaranya Ria Sardjono, bekas pengarah gaya majalah Femina -- datang ke rumahnya. Aldi kemudian berniat mengontrak rumah Ria. "Saya pasang harga US$ 500 per bulan. Dia menawar Rp 500 ribu," tuturnya. Aldi menanyakan, dengan harga tawar-an Ria, apakah piano di rumah itu boleh ditinggal. Ria mengiyakan. Meski kontrak itu tak pernah terjadi, Aldi beberapa kali sempat datang ke situ. "Cuma untuk main piano," kata Ria. Selebihnya, menurut Ria Irawan, tak ada hubungan apa-apa antara dia dan Aldi. Lalu apa sebenarnya yang dikatakan Aldi malam itu? "Some day, akan saya beritahukan," jawab Ria. Mengapa tidak diceritakan sekarang? "Itu bisa jadi satu buku. Kalau saya ceritakan sekarang, nanti bukunya tidak laku!" ujarnya bergurau. Konon, malam itu Aldi memang menceritakan pertengkarannya yang hebat dengan Ipunk dan sang mertua. Ria menyatakan prihatin dengan yang dialami Aldi. "Bagaimanapun, dia kawan saya," kata-nya, dan mengaku turut merasa kehilang-an. Tapi mengapa belum menyatakan duka cita pada keluarganya? "Secara resmi, memang belum. Tapi saya kan sudah datang memberi tahu keluarganya bahwa Aldi meninggal. Waktu itu di sana tidak ada orang. Cuma ada pembantu dan satpam. Kalau itu dianggap masih kurang, ya, saya terima," kata Ria. Akan halnya tantangan Ipunk -- seperti disiarkan koran -- agar Ria berterus terang saja soal apa yang terjadi, baik Ria maupun ibunya jadi geleng-geleng kepala. "Apa betul itu ucapan Ipunk, atau sekadar rekayasa wartawan?" komentar Ade Irawan. Sebab, Aldi memang bercerita banyak kepada Ria. Dan itulah yang selama ini ia simpan rapat. "Apa betul mereka siap kalau kami terbuka kepada pers?" tanya sang ibu, tanpa bermaksud menantang balik. Besar kemungkinan, lantaran tidak terbukanya Ria pada polisi soal keluhan Aldi inilah -- salah satunya -- yang menyebabkan ia dituduh berbelit-belit. "Saya seperti tidak bebas menggunakan kata-kata saya di sana," tuturnya. "Misalnya, saya tidak boleh menggunakan kata 'maksud saya'. Karena itu saya heran, kenapa saya disebut berbelit-belit?" kata Ria. Kabar kaitan sindikat narkotik dengan Anda? "Saya tidak kenal dan tidak berhubungan dengan mereka," jawabnya. Kalau dengan Aldi? "Oh, itu saya tidak tahu. Setidaknya sampai hari ini saya belum berpikir sejauh itu. Yang saya tahu dan saya pikir hanya kerja, kerja, dan kerja," kata Ria. "Kok, jadi macam-macam gitu, ya?" sambut sang ibu. Lalu, adakah orang lain muncul di saat Ria dan Rizal keluar rumah? "Saya tidak tahu. Rasanya, sih, tidak," sahutnya, tenang. Ria merokok lagi. Sementara itu, Dewi bicara. "Pokoknya nggak ada deh segala sindikat. Juga, kabar Aldi punya utang Rp 75 juta sama Ria, nggak ada tuh," katanya. Sekaligus disanggahnya ihwal cerita Ria berutang ke orang lain sejumlah itu. Soal tas berisi obat terlarang? "Tas itu diambil dari rumah saya, waktu saya tidak ada. Seingat saya tidak ada obat terlarang di dalamnya," kata Ria. Dewi menyambung, "Apa ada saksi yang melihat? Kunci rumah itu ada di tangan polisi. Juga tidak ada surat penyitaan. Kalau toh benar ada barang terlarang di dalamnya, tapi itu karena dimasukkan oleh orang lain, bagaimana? Siapa yang tahu?" katanya. Lebih jauh ibu dan anak-beranak ini mengaku masih buta hukum. Belakangan mereka sadari teledor tidak sejak awal menghubungi pengacara. "Kami hanya menuruti saran petugas yang bilang tidak perlu menghubungi pengacara," kata Ade Irawan. Bahkan sampai Kamis malam tiga pekan silam hubungan mereka dengan Hotma Sitompul, pengacaranya kini, belum semuanya jelas. Misalnya, berapa biaya yang harus dikeluarkan. Ketertutupannya kepada pers pun, konon, karena ada kesepakatan dengan polisi untuk no comment. Itu sebabnya mereka heran, bagaimana pers bisa tetap menulis kronologi kejadian itu, meski ada beberapa data -- terutama soal jam -- yang tidak akurat. Apa kiranya arti musibah ini bagi Anda? "Ini gua anggap cubitan Tuhan buat gua. Ternyata Tuhan bisa mengambil nyawa siapa saja, di mana saja," ujarnya. "Cuma gua pusing, kenapa cobaan ini datang pada saat kepingin baik. Bahkan sudah sejak empat bulan lalu gua minum alkohol pun tidak," kata Ria lagi. Ia bukan hanya dihadapkan pada peristiwa kematian Aldi, tapi juga dihadang oleh opini umum secara luas. Tak sedikit orang yang menghubung-hubungkan tewasnya Aldi dengan kehidupan pribadi Ria. Seolah-olah kedua hal itu otomatis paralel, dan gunjingan yang santer cenderung memberi cap macam-macam pada Ria Irawan. Ini bisa dimaklumi. Sebab, selama ini gosip di sekitar Ria memang marak. Misalnya, luas jadi bahan bisik-bisik bahwa Ria Irawan menduduki papan atas dalam tarif "cewek yang bisa dipakai". "Ah, itu sih kerjaan orang sirik, iri, dan dengki. Ngapain gua tanggapi," ujarnya pada suatu kali. Malahan, dengan nada bercanda, ia berkomentar enteng, "Tapi bangga juga, lo, gua. Nama saya ada di daftar paling atas. Itu artinya gua paling mahal!" Dengan gaya cuek alias tak pedulian itulah Ria sering menanggapi desas-desus negatif mengenai dirinya. Dan para penggunjing tampaknya kian bersemangat, karena tanpa adanya sanggahan dari Ria, mereka menganggap semua sas-sus itu benar adanya. Ria Irawan memang beken suka bicara ceplas-ceplos. Ia seakan tak peduli dengan efek negatif yang bisa timbul. Bahkan ia juga terasa tidak pernah berusaha membangun citra positif di depan publik dengan cara menjaga tutur kata. Humor-humornya yang berbau porno bisa meluncur di mana saja -- lebih-lebih di depan teman-teman dekatnya. Satu-satunya gosip yang membuat dia belingsatan adalah ketika ia dituduh memalsu suara dalam rekaman kaset bersama Rano Karno. Sekarang, apa yang ingin kau katakan, Ria? "Saya tahu dan percaya, semakin banyak orang yang tidak menyukai saya, membenci saya, semakin banyak juga orang yang bersimpati kepada saya. Sepuluh orang yang membeci saya, segitu juga saya dapat yang sebaliknya," katanya. Lalu, sambil melipat kedua kakinya ke atas kursi, Ria meneruskan bicaranya. "Orang yang sedang jatuh belum tentu gagal. Untuk mengukur kegagalan seseorang, dilihat dari bagaimana ia mengatasi kejatuhannya," katanya. Sampai di mana bobot Ria Irawan mampu menghayati kutipan untaian kata mutiara itu, tentu terpulang pada garis tangannya sendiri. "Jika ia bisa salat tahajud dan berzikir dengan khusyuk, insya Allah, akan jelas hikmahnya bagi Ria mengalami musibah ini," kata seorang kiai yang tak mau disebut namanya, di Jakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus