Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SORE itu sekitar pukul 17.30 pengusaha pelayaran Joni Wijaya, 46 tahun, dengan tenang pulang dari kantornya di Jalan Sungai Sumbu, Jakarta Utara. Mengendarai Honda Accord warna biru ia melintas di Jalan Lodan. Mendadak mobilnya dipepet dan dihadang sebuah mobil Toyota Kijang. Joni, yang semula kaget, menjadi tenang ketika seorang berseragam polisi lalu lintas keluar dari mobil itu. Polisi berpangkat sersan satu itu menyapa Joni dengan sopan. "Selamat sore, Pak. Boleh melihat SIM dan STNK?" pintanya. Joni lalu membuka dashboard. Namun, sebelum laci terbuka, sebuah hantaman keras membentur bagian belakang kepalanya. Prak.... Joni langsung terkulai dengan kepala robek. Tubuh Joni segera ditarik "sang polisi" yang kemudian diketahui bernama Basril Rudy dan Agus Samalo, 50 tahun -- yang menghantam Joni dengan gagang pistol -- ke jok belakang mobil Kijang. Di mobil itu sudah menunggu Niko dan Bahrun. Setelah itu, selama dua hari Joni disekap penculik. Tubuhnya sempat babak belur. Ia baru dilepas setelah membayar penculik sebanyak Rp 68 juta. Hanya, anehnya, kasus itu tak pernah dilaporkan Joni ke polisi. "Saya diancam, dan tak mau repot," alasan Joni tak melaporkan masalahnya itu. Kasus yang terjadi pada 1 Mei 1989 tersebut baru terungkap setelah Bahrun diringkus polisi gara-gara kasus ganja. Entah kenapa Bahrun mengoceh di depan polisi. Berkat ocehan itu, pada Januari lalu, polisi berhasil membongkar kasus menarik itu. Pekan-pekan ini, keempat penculik digiring Jaksa Soeryadi W.S. ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Agus, yang didakwa jaksa sebagai "sutradara" kejahatan itu, segera mengambil alih kemudi Honda Accord begitu Joni dilarikan kawanan itu dengan mobil Kijang. Mereka meluncur bersama-sama ke arah Jakarta Barat. Di perjalanan, Basril memborgol tangan Joni dan memaksa korban telungkup di jok mobil dengan todongan pistol di pelipisnya. "Kalau kau bergerak atau berteriak, senjata ini akan berbicara," ancam Niko. Di sebuah rumah di Jalan Thalib, Jakarta Barat, Joni kemudian disimpan. Rumah ini rupanya sudah dipersiapkan kawanan itu. Sekitarnya sepi, dan lampu terasnya tak begitu terang. Mungkin karena itu tak ada saksi mata yang menyaksikan ketika kawanan itu menggiring Joni, dengan tangan diborgol dan kepala berkerudung jaket, memasuki rumah itu. Di kamar rumah itu, tangan dan kaki Joni diborgol. Di situ pula tawar-menawar antara Joni dan penculik terjadi. Semula kawanan itu minta uang tebusan Rp 150 juta -- agar nyawa Joni selamat. "Mana saya punya uang sebanyak itu?" kata Joni memelas ketika itu. Akhirnya Joni sepakat membayar Rp 120 juta. "Saya takut, mereka akan nembak saya," kata Joni. Sebagai uang muka, penculik merampas uang kontan di laci mobil Joni sebanyak Rp 2 juta. Uang itu langsung dibagi-bagi. Basril, Niko, dan Bahrun menerima masing-masing Rp 300 ribu. Sisanya masuk saku Agus. Sisa uang tebusan diberikan Joni dalam bentuk cek BCA Rp 44 juta dan cek BBD Rp 30 juta. Semula kawanan itu menolak karena tak sesuai dengan jumlah yang dijanjikan Joni. Tapi Joni sudah angkat tangan. "Ya segitu, sisa uang saya di bank," katanya. Kawanan itu pun menerima. Keesokan harinya Agus bersama Basril meluncur ke BCA. Setelah uang Rp 44 juta cair, mereka berempat, kata Joni, tertawa-tawa di ruang depan. Sedang cek BBD, entah kenapa, tak mereka cairkan. Gantinya Joni disuruh menelepon ke rumahnya untuk minta disediakan uang tebusannya. "Saya katakan pada Agus bahwa saya hanya punya uang 19.500 dolar. Itu pun uang sekolah anak saya di Amerika," kata Joni ketika itu. Dengan mengendarai mobil Accord, malam itu juga, Joni diantar Agus dan Niko ke rumahnya di Jalan Tomang Raya. Joni dilepas kawanan itu sendirian ke dalam rumah, sementara Agus dan Niko tetap menunggu di dalam mobil. "Kenapa, ketika itu Anda tak lari?" tanya hakim. "Saya takut mereka bisa menembak saya. Dan ancaman selanjutnya," jawab Joni, yang duduk sebagai saksi di persidangan. Karena takut itu, dengan patuh Joni kembali ke mobil, sambil menyerahkan uang US$ 19.500 dolar. Di tengah perjalanan, Agus "berbaik hati" mengembalikan US$ 500 dolar pada Joni. "Saya kasihan," katanya menjawab pertanyaan hakim. Setelah berputar-putar sebentar, sekitar pukul 22.30, Agus dan Niko minta diturunkan di terminal Tanah Abang. Joni pun lalu kembali ke rumahnya. Rupanya, kawanan itu sudah puas dengan uang tebusan yang seluruhnya sekitar Rp 68 juta. Bahrun mendapat jatah Rp 7,8 juta, Basril Rp 10,8 juta, Niko Rp 13 juta, dan jatah paling besar diterima Agus Samalo, yaitu Rp 36,4 juta. Penculikan itu, menurut Agus, dilakukannya karena ia dendam pada Joni. Pada 1977, cerita Agus, perusahaannya, yang bergerak dalam pengiriman minyak, bangkrut gara-gara ulah Joni. "Saya rugi Rp 3 milyar," kata Agus yang keturunan Cina itu. Rencana pun disusun. Sebulan sebelum penculikan, Agus meminjam pistol dan menyewa teman-temannya untuk bergabung. Di persidangan dia mengaku pistol itu milik bekas bawahannya. Setelah kasus penculikan itu, cerita Agus, Joni sebenarnya telah menjanjikan akan memberinya modal untuk usaha. Namun, sampai terbongkarnya kasus penculikan itu, janji tetap belum terpenuhi. Benarkah Joni kenal Agus? "Ah, itu cuma ocehan mereka saja," kata Joni pada TEMPO. Bagaimanapun kasus penculikan itu nampaknya masih penuh teka-teki. Apalagi para penculik tampak akrab dengan Joni di persidangan. Mereka bertegur sapa dan mengerling mata jika bertatap muka. Ada apa sebenarnya? Gatot Triyanto dan Dwi S. Irawanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo