Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menghitamkan spidol hitam

Sensor terhadap pers akan dihapuskan. pers bebas mengutip pendapat orang asal tak bertentangan dengan kode etik jurnalistik. penilaian ada di kejaksaan agung. di lembaga tersebut berdiri semacam clearing house.

1 September 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETIAP prajurit tahu bahwa perang sudah setengah dimenangkan bila pusat penerangan musuh dapat direbut. Karena itu, sudah terpola untuk lebih dahulu merebut sumber informasi -- apakah berupa pemancar televisi, radio, ataupun kantor surat kabar. Di Indonesia, bentrok fisik sudah lewat, tapi bidang informasi belum sepenuhnya lolos dari incaran. Di akhir tahun 1960-an, misalnya, informasi yang mengandung aksara Cina langsung menjadi sasaran spidol hitam. Maklum, saat itu, kita masih dilanda trauma berat akibat pemberontakan Partai Komunis Indonesia dukungan Beijing. Dan memang ada instruksi Kejaksaan Agung tahun 1969, yang maksudnya mencegah pemasukan barang cetakan berhuruf dan berbahasa Cina. Terkadang yang disensor adalah hal-hal sepele dan sudah menjadi rahasia umum di Indonesia. Itu yang dialami harian International Herald Tribune dan The Straits Times pada tahun 1988. Kedua harian terkenal itu dianggap nakal karena memuat berita mengenai L.B. Moerdani yang pensiun sebagai panglima ABRI. Tapi memang, ada kalanya media bisa "kurang ajar". Masih ingat, bukan, kelancangan David Jenkins, wartawan Sydney Morning Herald, ketika mengulas bisnis keluarga Presiden Soeharto? Namun, barangkali saja, segala bentuk sensor itu akan jadi bagian dari masa lampau, dalam waktu yang tidak terlalu lama. Lo? "Tak akan ada lagi," kata Menko Polkam Sudomo kepada wartawan di Surabaya, pekan lalu. Rapat Koordinasi bidang Politik dan Keamanan, awal Agustus lalu, memang membahas penghapusan sensor terhadap pers. Yang dimaksud Sudomo bukan cuma teknik penghitaman tulisan, tapi juga kebiasaan instansi Pemerintah untuk "mengimbau" agar sebuah peristiwa tidak diberitakan. "Tidak ada gunanya, sebab orang yang ingin tahu bisa mendapatkan keterangan melalui berbagai cara. Malah fotokopinya yang beredar." Sudomo menegaskan bahwa pers bebas mengutip pendapat orang, asalkan tidak bertentangan dengan kode etik jurnalistik versi Persatuan Wartawan Indonesia. Pada saat yang sama, ia memperingatkan bahwa kebebasan pers sebaiknya tidak dianalogikan dengan sistem liberal di Barat. "Kalau beritanya tidak benar, tidak perlu disiarkan," katanya lebih lanjut. "Kode etik jurnalistik seharusnya mengacu kepada kepentingan negara." Dalam khazanah kita, segala yang bertentangan dengan GBHN, Pancasila, UUD '45, dan persatuan umat beragama boleh dianggap mengganggu ketertiban umum. Semua itu diatur oleh UU PNPS No. 4, 1967 dan UU No. 21 tahun 1982. "Tapi penilaian sepenuhya dilakukan oleh Kejaksaan Agung," tutur Soeprijadi, Kepala Humas Kejaksaan Agung. Di lembaga ini pula berdiri semacam clearing house, yang tugasnya menyaring barang cetakan yang boleh atau tidak boleh terbit di Indonesia. Anggotanya antara lain Badan Koordinasi Intelijen Negara, Badan Intelijen Strategis, Departemen Penerangan, dan Departemen Agama. Masih ingat buku Adik Baru? Tahun lalu, Kejaksaan Agung melarang buku yang memuat pelajaran tentang seks bagi anak-anak itu. Tahun ini, "buah terlarang"nya adalah dua buku yang mengulas keterlibatan Bung Karno dalam peristiwa Gerakan 30 September. Sensor memang masih bernapas. "Kami bukan melarang. Sekadar mengingatkan untuk kepentingan bersama," kata Kepala Puspen ABRI Brigjen. Nurhadi Purwosaputro. Kata-kata Sudomo memang belum bergema. "Selama aturan belum dicabut, sensor akan terus dilaksanakan," kata Nurhadi. Mungkin karena itu, belakangan ini, beberapa majalah asing seperti tersentuh tangan jail. Majalah The Economist edisi dua pekan lalu, misalnya, kehilangan halaman 17 dan 18-nya. Padahal, tepat di halaman tersebut, kabarnya, ada cerita tentang hubungan Presiden Soeharto dengan panglima-panglima barunya. Hal serupa dialami majalah Far Eastern Economic Review. YS, Diah Purnomowati, Moebanoe Moera, dan Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus