ADA kebiasaan baik di Jakarta segala kegiatan penggusuran atau
pengosongan rumah secara paksa tidak akan dilaksanakan sepanjang
bulan puasa. Namun minggu lalu keluarga Filandow, penghuni rumah
di Jalan Alaydrus 46, Jakarta Pusat, mengadu ke IDI (Ikatan
Dokter Indonesia).
Persoalannya cukup runyam. Mendadak kamar tidurnya di rumah itu.
14 Agustus bulan puasa kemarin, diserbu dan diacak-acak oleh
segerombolan petugas DKI dan polisi. Barang-barangnya digusur
dari sana secara paksa dan "sangat tidak berperikemanusiaan,"
keluh dr Filandow. Penyebab sebenarnya hanya sengketa perumahan
biasa saja. Begmi.
Dokter Filandow, yang berpraktek gigi, kulit & kelamin, telah
menghuni rumah di Jalan Alaydrus yang disewa dari PT Maskapai
Bangunan Abdullah bin Husin Alaydrus, sejak 1945. Pada 1958 ia
mempcroleh Surat lin Perumahan (SIP) dari kantor Urusan
Perumahan Daerah (UPD) DKI untuk beberapa ruangan. Ruangan lain
diisi oleh suami isteri Thio Tjeng Siang. Janda Thio tetap
menghuni sebagian ruangan sampai 1975, walaupun suaminya telah
meninggal sejak 1970.
Entah mengapa, sejak September 1975, janda Thio meninggalkan
rumah Alaydrus dan tinggal di Jalan Cemara. Yang jelas
kesempatan ini digunakan. sebaik-baiknya oleh Filandow untuk
menguasai seluruh ruangan. Alasannya, berdasarkan peraturan
daerah yang ada, hak kepenghunian Janda Thio telah gugur begitu
ia tidak menghuni ruangannya beberapa bulan berturut-turut. Tapi
Filandow memang mengakui, ia tidak pernah mendapat izin Maskapai
Alaydrus, sebelum mengurus SIP baru. Mungkinkah seseorang boleh
menghuni ruangan dari sebuah rumah tanpa seizin pemiliknya?
"Saya kira boleh," ujar Nyonya Filandow. "Kita hanya merasa
perlu berurusan dengan pemerintah yang mengeluarkan SIP saja."
Apapun ketentuannya, yang jelas sejak Agustus 1977 Filandow
telah memegang SIP untuk seluruh rumah yang dikeluarkan oleh
pejabat UPD waktu itu, drs Her Darmadi. Segala kewajiban
membayar listrik sampai Ipeda dipikul oleh Filandow. Bahkan
keluarga dokter ini dapat pula memperoleh sepucuk surat dari
Maskapai Alaydrus, yang diteken oleh Hamsah Alaydrus sebagai
direktur maskapai. Isinya merestui kepenghuniannya.
Mendadak belakangan muncul gugatan di UPD. Sebab Maskapai
Alaydrus, yang diwakili oleh direktur lain, Ahmad Alaydrus,
menuntut pemutusan hubungan sewa-menyewanya dengan Filandow.
Juga dituntutnya agar keluarga dokter itu mcngosongkan ruangan
yang dulu diambil alih dari janda Thio. Alasannya, menurut
Ahmad, "dokter itu telah menyerobot ruangan janda Thio seenaknya
sendiri!" Padahal kata Ahmad, maskapainya hanya mengenal janda
Thio saja sebagai penyewa. "Filandow, yang saya ketahui, hanya
tinggal menumpang saja kepada kakaknya, yaitu janda Thio.
"Setelah mengusir kakaknya dari sana, lalu apakah dia boleh
seenaknya sendiri menguasai rumah" ujar Ahmad. "Lalu kami,
pemilik rumah, mau dianggap apa?"
Bagaimana dengan surat Hamsah Alaydrus yang mengakui Filandow
sebagai penghuni? Memang ada sengketa di antara ahli waris
Alaydrus yang mengurus rumah-rumah sepanjang Jalan Alaydrus. Itu
tidak soal. Yang mengherankan, Ahmad ternyata dapat menunjukkan
SIP lain, atas nama janda Thio untuk ruangan-ruangan yang pernah
dipakai janda itu. SIP itu dikeluarkan juga oleh Her Darmadi, 20
Oktober 1977, tak lama setelah SIP serupa dikeluarkan oleh
pejabat yang sama untuk Filandow.
Ketidakberesannya sebuah instansi UPD dapat mengeluarkan 2 SIP,
sebuah untuk seluruh rumah bagi Filandow dan satu lagi sebagian
ruangan atas nama jdnda Thio yang bernama The Pien Nio atas
rumah yang sama?
Sengketa kedua pemegang SIP berjalan biasa saja. Her Darmadi, 23
Juni, memenangkan Filandow. Ahmad, kare na masih bersengketa
dengan Hamsah perihal kepengurusan maskapai, belum diakui
sebagai penggugat yang baik.
R. Abdullah
Namun keputusan itu tidak lama dinikmati oleh Filandow. Sebab,
sebulan setelah keputusan Her Darmadi, muncul keputusan baru
dari penggantinya. R. Abdullah. Kali ini, 24 Juli, Abdullah
memenangkan Ahmad. Jelas, setelah ada dua SIP untuk sebuah
rumah, kini timbul pula dua keputusan yang saling bertentangan.
Biarlah keputusan tinggal keputusan -- maklum lain pejabat, bisa
lain pula keputusannya, bukan? Hanya, seperti yang disesali
Filandow, dalam memutus perkara yang terakhir tersebut, ternyata
Kepala UPD yang baru tidak memberi kesempatan bagi tergugat
untuk membela diri. "Saya tidak tahu ada gugatan baru. Tahu-tahu
menerima keputusan yang mengalahkan saya," ujar Filandow. Tidak
hanya itu. Menurut Sutikno SH, pembela Filandow, pihaknya
dihalang-halangi ketika hendak mengajukan banding. Permohonan
bandingnya, kata Sutikno, hanya dilayani UPD seperti menerima
surat resmi biasa saja -- bukan sebagaimana layaknya menerima
perkara banding.
Setelah keputusan terakhir UPD menerbitkan pula perintah
pengosongan. Segalanya berjalan cepat. Cukup dengan peringatan
pertama -- tidak sampai peringatan ketiga -- petugas telah
menggu sur Filandow, 14 Agustus lalu dari be berapa ruangan yang
dituntut Ahmad.
Begitulah ruwetnya masalah peradilan bagi sengketa perumahan,
yang diurus oleh pemerintah daerah -- mulai penyelesaian di
tingkat pertama oleh UPD sampai banding oleh gubernur sendiri.
Sehingga Ali Sadikin, ketika masih menjabat Gubernur DKI
Jakarta, perlu bernazar. Jika urusan sengketa perumahan dapat
diurus oleh lembaga peradilan umum, ia akan mengundang kenduri!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini