RESIDIVIS yang kini ramai digunjingkan orang adalah Siradjudin. Tak mungkin orang melupakan bekas tentara, yang lebih dikenal sebagai dukun di Kelurahan Susukan, Pasar Rebo, Jakarta Timur itu. Apalagi, Siradjudin, 55, yang senang memelihara misai lebat model Abang Jampang itu masih kelihatan gagah dan tegap. Bagi wanita tertentu, sosok Siradjudin, yang biasa dipanggil Romo atau Pak De, agaknya memang tergolong tipe ideal. Sebelum menikah dengan Fatmah atau Ely, istrinya yang sekarang, tercatat ada lima wanita yang pernah menjadi pendamping dalam hidupnya. Tetapi sekarang, karena wanita pula namanya kemudian mencuat secara tak terduga. Romo, tegasnya, dituduh sebagai orang yang bertanggung jawab atas terbunuhnya dua orang wanita: Dice Budimuljono dan Endang Sukitri. Dice, bekas peraawati, foto model dan pemilik salon Puri Citra Ayu di Kalibata, Jakarta Selatan. Endang, seorang pengusaha bahan bangunan yang tinggal di Depok II Tengah, Bogor (lihat Jejak Berdarah Lelaki Tua dari Susukan). Ketika sebuah sedan bernomor B 1911 ZW ditemukan terparkir di Jalan Dupa Jakarta Selatan, pada Senin malam 8 September 1986, kaitan Romo-Dice-Endang sungguh belum terbayang. Mobil bercat putih itu milik Dice. Yang si empunya, ternyata, sudah tergeletak tak bernyawa di belakang setir. Lima peluru pistol kaliber 22, yang ditembakkan dari jarak sangat dekat, telah mengakhiri hidup istri Budimuljono. Lelaki berusia 58 itu lumpuh karena darah tinggi. Begitu sukar mencari pembunuhnya? Karena bukti dan petunjuk yang minim, memang sulit bagi polisi untuk bisa segera menjawab tantangan itu. Sementara itu, muncul juga spekulasi. Misalnya, disebut-sebut nama Harry Harsojo Koosnadi, 46. Pria ganteng yang pernah bersama Dice menjadi model iklan film Fuji kepalang telanjur masuk daftar orang yang dicurigai berperanan. Namun, yang menarik, justru Dice dikatakan sedang menjalin hubungan dekat dengan seorang bekas pejabat, tetapi belakangan jadi pengusaha. Mereka dikabarkan, kadang-kadang, bertemu di sebuah rumah di Jalan Tumaritis, Jakarta Selatan. Pembantu di rumah kontrakan itu biasa memanggil keduanya dengan Ibu dan Bapak Handoyo. Itu sebabnya, "Pak Handoyo" pernah diminta keterangannya oleh petugas. Kedua nama ini belakangan terpaksa digugurkan dari "daftar curiga" itu, karena tak secuil pun petunjuk yang mengarah ke mereka. Kecurigaan terhadap anggota keluarga korban harus pula dipunahkan, dengan alasan serupa. Polisi, waktu itu, kian sulit menyidik. Kisah apa sebenarnya di balik pembunuhan ini? Asmara, sakit hati, harta balas dendam, atau sejumlah yang lain? Dan banyak yang percaya bahwa si pembunuh pasti seorang berdarah dingin. Malah, mungkin dia tahu betul bagaimana memainkan senjata api. Dan, saban menyebut nama Dice, yang terbayang berdiri di belakang peristiwa ini adalah orang dari kalangan atas. Lalu, tanpa disangka-sangka, muncullah sebuah antiklimaks. Itu pada Desember 1986 -- sekitar 3 bulan setelah kejadian. Kapolda Metro Jaya Mayjen Poedy Sjamsoedin, dengan berani menyibak pada wartawan tentang teka-teki kematian Dice yang selama ini terpendam penuh tanya. "Saya berani mengambil kesimpulan, dia adalah pembunuh Dice, dengan latar belakang perdukunan," kata Poedy, waktu itu. Kasus Dice tersibak seperti orang menyubak kulit pisang. Kemudian Romo dikaitkan dengan pembunuhan Nyonya Endang Sukitri. Dan persamaan kedua kasus itu, ternyata lebih banyak. Justru berangkat dari adanya persamaan itulah, kata Mayjen Poedy, dia dan anak buahnya bisa menemukan titik terang. Seterusnya, membongkar kasus Jalan Dupa yang sudah disebut. Persamaan itu, pertama: Endang menitipkan uang Rp 5 juta kepada Romo. Dice, seperti selintas tercatat dalam buku hariannya, menitip Rp 10 juta untuk dilipatgandakan. Kedua: sebelum kematiannya, Endang dan Dice sama-sama kepepet. Endang mau menjual rumah, Dice berniat menjual salon. Ketiga: Dice dan Endang di saat terakhir pergi diam-diam dengan tujuan yang tak diketahui anggota keluarganya. Keempat: keduanya terbunuh pada Senin malam. Kelima: Dice dan Endang sama-sama pernah menerima jimat dari Pak De. Keenam: keduanya dijanjikan akan menerima kembali uangnya yang sudah dibiak atau disim-salabimkan. Terakhir: Romo mengapa tak berani datang kemakam mereka? Kepada polisi, Romo mengakui bahwa dialah memang yang membunuh Dice, juga Endang. Tapi tak seorang ada di belakangnya, sebab pembunuhan itu, katanya, merupakan "proyek" pribadinya. Ia membunuh karena ingin menguasai uang yang sudah disetor oleh kedua korban. Di malam nahas, dari rumahnya di Jalan Guru Alip, Duren Tiga, Jakarta Selatan, Dice menuju rumah Romo. Dari sana mereka, berdua saja, naik mobil yang dikemudikan korban. Romo duduk di sebelah Dice. Mereka merencanakan menuju salon, tempat Dice akan menerima uang yang sudah dijampi-jampi. Tiba-tiba ia teringat ingin membeli buku di toko Gunung Agung. Mobil membelok ke sana, dan toko ternyata sudah tutup. Sedan lalu meluncur ke Kalibata. Di Jalan Dupa, Romo meminta Dice untuk berbalik arah. Lantas, di jalan yang sepi yang salah satu sisinya ditumbuhi pohonan karet, Romo berkata, "Kok, perasaan saya, ini mobil kempis ban kanannya." Dice menepi. Ia memarkir mobilnya beberapa meter dari pintu gerbang pabrik obat PT Dupa. Sewaktu Dice menoleh keluar, Romo, seperti diceritakan Poedy, melepas lima tembakan secara beruntun. Dice terkulai, habis. Romo lantas keluar mobil dan naik kendaraan umum pulang ke rumah. Di sana, Abas, petugas Satpam Bapindo yang pistolnya dipinjam Romo, telah menunggu sampai tertidur. Sukses dengan Dice, Romo menoleh pada Endang. Wanita itu, yang sering cekcok dengan suami keduanya, Sutopo (suami pertama meninggal), percaya bahwa Pak De bisa menyelesaikan semua persoalan yang dihadapinya. Ia, malah, tak menolak ketika Romo, pada 20 Oktober, mengajaknya berziarah ke kubur keramat di Desa Harjamuku. Kubur itu sendiri hanyalah gundukan tanah yang secara kebetulan ditemukan oleh Romo. Di bawah mendung yang bergayut, Romo menyuruh Endang bersimpuh sembari menabur kembang. Saat itulah Romo mencabut kapak dari balik jaket, sampai gespernya terlepas. Ia memukul kepala korban beberapa kali. Kapak maut, dibuang begitu saja dekat lokasi pembunuhan. Kapak dan gesper ini ditemukan polisi, esok hari, di TKP (tempat kejadian perkara). Barang bukti lain ditemukan: sebuah tas berisi beberapa pucuk surat yang ditulis Romo untuk korban, klise foto Romo beserta keluarga, faktur, sandal, dan dompet berwarna cokelat. Berdasar pemeriksaan Laboratorium Kriminologi Mabes Polri, dipastikan, kapak itulah yang menghabisi nyawa korban. Di situ tertempel darah golongan "A" dan rambut -- menurut polisi, identik dengan darah dan rambut korban. Bukti kuat bahwa Romo tersangkanya, karena di celananya, jeans, ditemukan berbercak darah yang sama dengan darah korban. Tapi, mengapa celana Romo baru disita pada Desember? Itu, sekitar satu setengah bulan setelah kejadian. Tak mungkin darah yang menempel pada celana sudah luntur atau hilang karena dicuci? "Ternyata, tidak," kata sebuah sumber. Celana itu masih utuh. Mungkin karena tersangka merasa bahwa dia dalam keadaan aman-aman saja. Kematian Dice yang lebih dulu terjadi dan ramai dibicarakan, dan polisi sudah bekerja keras, toh belum terungkapkan. Dengan perhitungan ini, tersangka kemungkinan merasa tak perlu menghapus jejak. Namun, "jejak" lain yang berharga, kata sumber di kepolisian, berupa pengakuan Koespriyanto, 25, anak tersangka. Koes, yang malam itu menunggu di pinggir jalan sembari menjaga sepeda motor, konon sempat mendengar Endang menjerit minta tolong. Tak lama, ayahnya, Pak De, muncul dan berkata, dalam bahasa Jawa, artinya kira-kira, "Sudah takdir yang Kuasa, Endang mati karena dikapak." Kata-kata lain, "Tak ada ceritanya orang habis membunuh kok datang membuka mayat dan ikut menyembahyangkan jenazahnya, bila hatinya tidak tabah. "Konon, ucapan itu terlontar dari mulut Romo setelah ia melayat, dan ikut menyembahyangkan jenazah Endang. Ucapan ini agak bertentangan dengan "persamaan ketujuh" kasus Dice-Endang, seperti diungkapkan Kapolda Metro Jaya itu. Kendati demikian, semua yang terpapar tadi baru berupa tudingan terhadap Romo. Seberapa jauh kebenarannya, masih perlu diuji. Pengujian antara lain datang dari Palmer Situmorang, salah seorang pembela. Pada malam kejadian, kata Palmer, Romo tak pergi ke mana-mana. Sementara itu, Farid, adik Koespriyanto, membantah bahwa kapak itu pernah dijumpai di kamarnya, lalu dipakai untuk menghabisi Endang. Keterangan tentang kapak ini pernah dilontarkan oleh Sutinah, 30. Bekas pembantu Nyonya Endang ini, yang dalam keadaan hamil, yang katanya karena perbuatan suami Endang, dititipkan di rumah Romo. "Kalau betul dia pernah melihat kapak di kamar itu, saya minta dikonfrontir," kata Farid. Pak De sendiri kepada polisi pernah menyatakan, kapak tersebut memang baru dibelinya beberapa hari menjelang ia mencabut nyawa korbannya itu. Tapi, apa memang ada dua kapak? Di mana yang satu lagi? Tak bisa disangkal, Romo kini menghadapi tuduhan yang berat. Usai dengan kasus Endang, ia masih harus duduk sebagai terdakwa dalam kasus Dice. Namun, ini bukan berarti bahwa Romo gampang disejajarkan dengan Kusni Kasdut atau Henky Tupanwael. Kedua tokoh dunia hitam yang belakangan ini dikenal sebagai perampok, pembunuh, dan sudah beberapa kali lolos dari lembaga pemasyarakatan. Mereka sudah menjalani eksekusi, hukuman mati. Romo, yang oleh jaksa dituduh melakukan pembunuhan berencana, belum tentu mudah divonis mati. Betapapun berat ganjaran tuduhan, belum tentu bisa dibuktikan. Seandainya dia divonis, masih ada kesempatan untuk naik banding, kasasi, mengajukan peninjauan kembali, serta minta grasi. Surasono, Laporan Eko Yuswanto & Moebanoe
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini