RATUSAN orang itu nekat. Senin pagi lalu, mereka berjubel dan berdesakan, menutup pemandangan di sepanjang pagar gedung Pengadilan Negeri Bogor. Aneka tingkah orang, dan berbagai kelas sosial, melongok, ingin melihat wajah Pak De -- seorang tua yang selama ini tak terkenal. Tapi hadirin kecewa -- di bawah mendung menggantung, ketika gerimis bertabur. Sebaliknya, polisi seperti "terhibur". Mereka senyum, karena berhasil mengecoh. Pengawalan dan penjagaan memang ekstraketat. Pintu-pintu pagar setinggi satu meter ditutup rapat. Sejumlah petugas, baik berseragam dinas maupun preman, bergerombol di pintu bagian dalam. Yang lain siap siaga di luar. Wartawan pun sengaja dikecoh. "Kami kucing-kucingan dan bersiasat, terutama dengan wartawan. Biar mereka kecele," ujar Mayor Primanto, seorang pengawal Pak De dari Polda Metro Jaya. Bersama Letda Nyoman, mereka meluncur dari Semanggi, pukul 08.00. "Hanya kami bertiga yang berangkat, termasuk Pak De," ujar Primanto. Dengan kecepatan 60 km/jam, tidak melalui jalan tol, mereka berputar lewat Parung. Pukul 10.15, sebuah jip Jimny hitam nyelonong ke halaman Pengadilan Negeri Bogor. Bagai orang sangat penting, dan "antik", Pak De disambut dengan kawalan ketat. Ia langsung dibawa ke ruang tunggu. Sebelum memasuki ruang sidang, Siradjudin berhenti sejenak di depan sebuah ruangan. Tangan kanannya melambai. Tapi matanya menatap pada tiga orang, di situ: Fatmah, istrinya, Kuspriyanto, anaknya, dan seorang gadis, cucunya. "Doakan saya," ucapnya kepada istrinya. Siradjudin, pada sidang pertama, Rabu 25 Februari lalu, tampaknya begitu yakin. Menurut pahamnya, nasibnya akan tertolong. Kepada salah seorang anggota keluarganya, ia mengamsal, karena hari persidangan itu jatuh di Rebo Pon. Rabu, hari kelahiran Fatmah, dan Pon, hari pasaran Romo. Lelaki tua yang sempat kawin-cerai beberapa kali itu niscaya yakin, peristiwa yang terjadi tepat pada hari kelahiran seseorang akan mendatangkan keberuntungan. Atau sebaliknya? Karena itu, ia sekali lagi berharap, "Semoga doaku dan doamu terkabul" (lihat Romo si Dukun Janggo). Kepada salah seorang anggota tim pembelanya, Siradjudin pernah mengungkapkan betapa ia diperlakukan tidak sewenang-wenang dalam tahanan. Ia juga menyaksikan betapa kedua anaknya, Kuspriyanto dan Farid, bernasib sama. Lantas ia putuskan untuk mengaku: dialah pembunuh Dice dan Endang. Kepada kedua anaknya itu, demikian cerita berlalu, dia menyatakan, "Akui saja. Saya, ya, sayalah pembunuhnya." Benar-tidaknya cerita ini memang sulit dibuktikan. Pak De selama ini dijaga begitu ketat. Tak seorang boleh menemuinya, termasuk tim pembelanya, kecuali kalau dikawal polisi. Karena itu, pekan ini dan pekan pekan mendatang, hanya pengadilanlah yang akan menentukan nasib Pak De. Pak De alias Romo, yang tak lain Muhammad , Siradjudin, 55, konon, seorang dukun terkenal di kalangan "atas". Namanya merebak setelah terbunuhnya Dice Budimulyono -- hingga dukun bekas militer ini kesohor. Orang lalu bertanya ada apa di balik kematian peragawati 36 tahun itu. Polisi mempersangka, dialah pembunuh Dice, peragawati cantik itu. Peristiwanya, 8 September 1986 malam, di Jalan Dupa, Kalibata, Jakarta Selatan. Menurut polisi, sekitar 40 hari setelah pembunuhan Dice, Sirajudin juga membunuh Nyonya Endang Sukitri. Wanita 46 tahun ini adalah pemilik toko bahan bangunan, CV Panca Jaya, Depok. Kata polisi, pada 20 Oktober 1986, perempuan ini dihabisi Siradjudin di sebidang tanah berbukit, di malam sepi, di Kampung Pedurenan, Desa Harjamukti, Cimanggis, Bogor. Meskipun pembunuhan terhadap Endang belakangan, kasus ini disidangkan lebih dulu di Pengadilan Negeri Bogor. Jaksa Sutantyo, S.H. menuding terdakwa melakukan penganiayaan, penganiayaan berat, dan pembunuhan direncanakan -- semuanya menyebabkan kematian (TEMPO, 28 Februari). Atas tuduhan ini, Senin lalu tim penasihat hukum, antara lain Palmer Situmorang, S.H. dan Mr Soemarno P. Wirjanto, dari Lembaga Bantuan Hukum, menolak BAP (Berita Acara Pemeriksaan). Karena, terutama, dalam pemeriksaan polisi terdakwa tak pernah didampingi pembela, seperti diisyaratkan KUHAP. Selain itu, mereka juga menggarisbawahi, "Banyak BAP saksi yang tidak ditandatangani. Bahkan mungkin ada tanda tangan saksi yang dipalsukan." BAP kasus kematian Endang, kata pembela, mengandung masalah yang sama dengan BAP kasus Dice -- yang ditolak Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Yaitu tidak semua BAP ditandatangani. Lalu, mereka menilai bahwa BAP itu tidak sah. Jaksa Sutantyo, S.H. menangkis keberatan tim pembela. Bahwa terdakwa tidak didampingi penasihat hukum, katanya, hal itu sesuai dengan pernyataan terdakwa sendiri, pada 17 Desember 1986. Mengenai tidak ditandatanganinya sebagian BAP, jaksa berkata, "Rupanya, penasihat hukum meneliti BAP dengan kaca mata kuda, sehingga paraf di sudut lembar masing-masing tidak terlihat." Bukan cuma "kaca mata kuda", sebenarnya. Sebab, bila tuduhan jaksa terbukti, jelas, godam yang bakal menimpa Romo cukup berat: hukuman mati. Betulkah Kepala Kejaksaan Negeri Bogor, Suyono, S.H. menjanjikan akan menuntut Pak De hanya enam bulan saja? Sutantyo membantah. "Itu tidak benar. Tidak benar sama sekali," katanya tegas. Sidang yang dipimpin Ketua Majelis, Suhartono, S.H. akan dilanjutkan Rabu pekan ini. Tapi ada tanya: mengapa kasus terbunuhnya Endang cepat disidangkan padahal Dice dibunuh lebih dulu? Kasus pembunuhan Endang dapat prioritas ke sidang, begitu kata sebuah sumber,karena ada hal-hal yang kuat untuk bukti. Misalnya darah yang terdapat pada kapak ternyata sama dengan darah Endang. Begitu pula percikan darah di celana blue jeans Pak De. Yaitu sama-sama Golongan A. Tapi ada beberapa kelemahan, baik dalam hal barang bukti maupun keterangan saksi. Kesaksian Gunam bin Karim, 32, yang satu jam sebelum kematian Endang, katanya, melihat dua lelaki dan seorang perempuan, malam itu, berada di bukit kecil tempat korban terbunuh. Ketika itu, Gunam sempat nyalip ke salah seorang lelaki pengendara motor itu. Bahkan ia sempat menegur, "Mogok, Pak ?" Kejadian itu berlangsung pada jarak sekitar dua meter, di malam yang begitu gelap. Lelaki yang ditegurnya itu mengenakan helm. Masuk akalkah Gunam begitu mudah mengenal lelaki itu dengan jelas? Dalam BAP disebutkan, Gunam, yang juga diperiksa di kantor polisi sebagai saksi, disilakan melihat seorang lelaki tua dari balik kaca tembus searah. Dan kepada polisi, tukang ojek berambut kribo ini menyatakan: orang tua yang sedang diperiksa di kantor polisi itu, yaitu Pak De, adalah juga lelaki yang dilihatnya pada 20 Oktober malam sekitar satu jam sebelum terbunuhnya Endang. Tapi ketika ditemui Jumat lalu, Gunam menyatakan serba tidak tahu. Apa merk, nomor, dan warna sepeda motornya? Apa "orang tua" itu sesungguhnya si lelaki yang dilihatnya malam itu? "Tidak tahu. Tidak kelihatan," kata tukang ojek yang siang itu sedang memperbaiki kamar mandi di rumahnya. Sejak mula, penasihat hukum terdakwa, Palmer Situmorang, S.H. menyatakan, Pak De berada di rumah, ketika Endang terbunuh. Hal itu berdasarkan kesaksian Suganda -- ketika Ketua RW 01 Susukan ini diperiksa Polres Bogor, didampingi Palmer. Sebelum pukul 21.00, Suganda datang ke rumah. Ketika itu, katanya, Pak De sedang menyetel kaset dakwah. Lalu, katanya lagi, mereka sama-sama menyaksikan acara tv, Dunia Dalam Berita. Kemudian ngobrol sampai pukul 23.00. "Pak RW datang memenuhi perintah Camat, supaya mendatangi tokoh-tokoh masyarakat, dalam rangka menyukseskan pemilu," tutur Palmer. Nah, mana yang mustahak, mana yang benar? "Sabar. Tunggu saja putusan hakim," kata Pak De. Sabar boleh saja, Romo. Tapi Suganda -- yang bisa jadi saksi itu -- sudah menghilang sejak beberapa minggu lalu. Budiman S. Hartoyo, Laporan Eko Yuswanto & Moebanoe Moera (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini