JOHN Steven Fagan, penghuni rumah di Jalan Pengembak Nomor 25, Sanur, Bali, itu tak berkutik ketika disergap delapan petugas. Penyergapan dipimpin Kadit Serse Polda Nusa Tenggara, Kolonel Moh. Kassah, bersama Harry Fullet, petugas DEA (Drug Enforcement Administration), Amerika Serikat. Walau jalannya penangkapan berjalan lancar, tetapi istrinya sempat protes. "Kenapa suami saya ditangkap?" tanya Liliana kepada Kassah. Fagan tampak tenang. Liliana justru yang shock. Ia mengaku tak tahu sama sekali kegiatan suaminya sebelumnya. Pada pagi yang masih sepi, Selasa pekan lalu, itu Fagan hanya menolak mengaku sebagai warga Amerika Serikat, yang namanya seperti disodorkan petugas. Kemudian ia mengeluarkan paspor Kanada yang mencantumkan namanya sebagai John Andrew Mc Clean. Sambil melihat paspor yang disodorkan itu, ternyata polisi tak mudah dikelabui. Setelah tujuh jam diperiksa di Markas Polisi di Denpasar, lelaki berbadan atletis, yang didampingi Konsul AS di Bali, itu baru mengakui namanya yang sebenarnya John Steven Fagan. Selama ini ia memang dikejarkejar Interpol, karena terlibat penyelundupan 30 ton mariyuana ke AS sepanjang tahun 1984-1989. Barang terlarang dari Muangthai dan Colombia itu diangkutnya ke negerinya. Fagan juga mengakui dirinya anggota sindikat Zerro Mancuso yang berpusat di Muangthai. Begitu rapi ia menutupi jejaknya. Untuk menghindari pengejaran petugas, Fagan sering berpindah tempat: ke Spanyol, Gibraltar, dan Maroko. Dalam pengembaraannya, lelaki yang lahir pada 16 September 1953 itu menggunakan berbagai nama palsu, seperti William Yoseph, Sean, Rose, dan nama yang tadi itu. Fagan yang berkumis serta berambut ikal itu hampir tiga tahun menetap di Bali. Ia masuk melalui Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Selama tinggal di Pulau Dewata, Fagan mengawini teman kumpul kebonya, Liliana Partida Martinez, 35 tahun, warga AS berdarah Meksiko. Dari hasil perkawinan secara adat Bali itu, pasangan ini mendapat seorang anak perempuan yang kini berusia 14 bulan. Usaha pengejaran Fagan ke Bali oleh Interpol, menurut Kolonel Kassah, dilakukan sejak tahun lalu. "Semula ia dicurigai bersembunyi di Spanyol sehingga pencarian di Bali dikendorkan," kata tamatan DEA itu kepada TEMPO. Kassah yang pernah tugas di Sub-Direktorat Narkotika Mabes Polri itu pada 9 April lalu menerima telepon dari DEA yang menginformasikan bahwa Fagan bersembunyi di Bali. Sejak itu pengejaran digalakkan kembali. Sepuluh hari kemudian datang utusan DEA dengan membawa foto dan ciri lengkap gembong penyeludup ganja itu. Foto itu mereka peroleh dari arsip Pengadilan Reno, Nevada. Utusan DEA itu juga membawa surat tugas dengan kategori "Red Notice" dari Interpol. Rupanya, Fagan lari dari Spanyol ke Bali bersama wanita yang lalu dinikahinya itu. Dan pembuka tabir adalah identitas istrinya sendiri, yang ternyata tidak dipalsukan. Setelah mengamati foto perempuan itu, petugas melacak sasaran. Sebelum Fagan diciduk, polisi lebih dahulu menguntit Liliana. Dengan mengenakan celana pendek krem dan baju hijau bergaris, Jumat siang pekan lalu Fagan dinaikkan ke atas mobil Kijang yang dikemudikan Kolonel Kassah meluncur ke arah Bandara Ngurah Rai. Fagan, yang saat itu hanya ditemani sebuah kopor berwarna biru tua, berusaha menutupi wajahnya dengan selendang batik. Sepuluh menit sebelum terbang dengan Garuda GA 800, John Steven Fagan dengan berselimutkan kain batik menaiki tangga pesawat. Ia dikawal ketat, duduk di bangku belakang dengan diapit petugas dari Polda Nusa Tenggara. Rencananya berangkat dari Ngurah Rai pukul 13.40. Pesawat dari Jakarta jurusan ke Los Angeles itu diundur hingga pukul 14.10. Saat pesawat ini mampir ke Biak, Irian Jaya, terjadi pergantian petugas dari Polda kepada Interpol. "Petugas interpol yang akan mengawal Fagan sebelumnya harus sudah menyerahkan foto dan sidik jari," kata Kassah. Hal itu dilakukan untuk menghindari kemungkinan adanya anggota sindikat narkotika itu menyelusup dan menggagalkan deportasi. Mengapa Fagan buru-buru dideportasi? Kepada TEMPO, Kapolda Nusa Tenggara, Mayor Jenderal Moch Hindarto mengatakan bahwa kalau tidak melakukan pelanggaran apa pun selama tinggal di Bali dia tidak bisa ditahan di sini. "Saat penggeledahan di rumahnya tidak ditemukan ganja," katanya. Begitu pula alasan petugas sehingga tidak mendeportasikan istri dan anak Fagan. Selama di Bali, pasangan itu tampaknya ingin memberikan kesan manis. "Mereka banyak membantu kami," kata seorang tetangga Fagan di kawasan "kampung bule" itu -- sebagian besar rumah-rumah di situ dihuni orang asing. Fagan menetap di rumah kontrakan seharga Rp 40 juta per tahun. Lelaki yang dikenal ramah itu, menurut Kassah, selama di Bali juga bertindak sebagai konsultan arsitek di salah satu perusahaan di Denpasar. Padahal, menurut pengakuan Fagan sendiri, selama di AS ia hanya sebagai tukang kayu. Sedangkan Liliana selama di Bali bekerja sebagai guru senam di salah satu hotel di kawasan Sanur. Ketika rumahnya didatangi TEMPO, ibu muda itu buru-buru menutup rapat pintunya. Kekayaan Fagan sebagai penyelundup mariyuana ternyata tidak disimpan di Bali. Rekening terakhirnya di salah satu bank hanya tercatat sekitar Rp 11 juta. Tapi di Spanyol, menurut pengakuan Fagan, dia memiliki vila supermewah dan penggilingan gandum. Kenapa memilih Bali sebagai tempat persembunyian? "Di Bali aman. Di samping banyak turis asing, pengawasannya juga lemah," kata Fagan di depan pemeriksanya. Wah bisa gawat, kalau Bali jadi tempat pelarian penjahat internasional kelas kakap. Gatot Triyanto dan Silawati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini