SUDAH berbagai cara ditempuh orang-orang film untuk membenahi perfilman nasional. Diskusi, seminar, mengadu ke DPR, dan entah apa lagi. Ternyata hasilnya masih nol. Bahkan inilah klimaksnya: film nasional anjlok. Kemerosotan itu tak hanya dari segi mutu -- yang memang sudah lama dirasakan -- tetapi juga produksinya. Tahun ini baru delapan film yang diproduksi. Bagi yang jeli melihat "tanda-tanda zaman", kemerosotan itu sebenarnya sudah terbaca sejak tahun silam. Tahun 1990 produksi masih 117. Namun, di tahun 1991 tinggal 56 judul. Kenapa film Indonesia bangkrut dan ditinggalkan penontonnya? Menurut sutradara Teguh Karya, soalnya terletak pada kemampuan orang film menggarap film. Orang-orang film, kata Teguh, malas menambah wawasan. Padahal film adalah sintesa antara kesenian dan teknologi, yang sepatutnya dipelajari terus dan perkembangannya diikuti. Kemalasan itulah, ujarnya lagi, yang membuat "Visi film kita jelek sekali. Masyarakat sendiri merasa bodoh kalau nonton film Indonesia." Sehingga ketika film Indonesia dihadapkan pada film impor, orang film kelabakan mencari daya tarik dari segi hiburannya semata. Akhirnya segala cara dicomot, mulai dari adegan rambut ular sampai menjemput pacar dengan helikopter. Toh, caracara kampungan ini belakangan semakin memuakkan penonton. Malah, seperti kata Teguh, film seperti itu jadi bahan tertawaan karena kondisinya semakin jauh dari masyarakat. "Itu akibatnya kalau film hanya melulu dipandang sebagai barang dagangan. Tak memberi kedalaman pada kehidupan budaya masyarakatnya," kata sutradara yang kerap mendapat penghargaan Piala Citra itu. Sebaliknya, film impor semakin digemari karena lebih fasih menerjemahkan seni dan artistiknya. Celakanya, film bagus tak menjamin bakal mendapat tempat di kandang sendiri. Contohnya, film Langitku Rumahku. Film garapan sutradara Slamet Rahardjo itu cuma diputar sehari. Alasannya, sepi penonton. Kenyataannya, film itu memborong penghargaan mulai dari Festival Film Indonesia sampai festival-festival film di Rusia, Belanda, Polandia, Peru, Korea, dan Australia. Terakhir, pekan silam, film itu menjadi duta Indonesia pada pekan film internasional bertema La Liberte et L'homme -- pekan film tentang kemerdekaan bagi kemanusiaan -- di Tokyo, Jepang. Bahwa penonton Indonesia tak punya apresiasi, dibantah kritikus film Salim Said. Ia menyebutkan selera penonton semakin membaik. Inilah dampak filmfilm bagus kelas impor yang memang layak tonton. Sebaliknya, film lokal yang bermutu makin langka. Tinggallah kini film-film asal jadi, yang temanya tak bergeser dari soal mistik atau banyolan -- yang kadang menghina kecerdasan penonton. Film Indonesia pun menjadi asing di negeri sendiri. Inilah, yang kata Slamet Rahardjo, ditakutinya. "Prediksi saya menjadi kenyataan. Dunia perfilman Indonesia kehilangan segalanya. Tak cuma kepercayaan diri, yang lebih tragis adalah kehilangan penonton," ujar Slamet. Kondisi ini semakin parah, antara lain, karena praktek monopoli kelompok tertentu yang merajai bioskop-bioskop kelas utama. Di situlah tuan rumah film-film impor. Jika pun film nasional di putar di sana, kelasnya adalah film banyolan, seolah-olah menunjukkan itulah wakil film Indonesia. Bukan kelas film Langitku Rumahku, misalnya, yang diputar. Kerja sama PT Satria Perkasa Estetika Film dan PT Camilia Internusa Film dengan MPEAA (Motion Picture Export Association of America) tahun silam makin merunyamkan kondisi. Memang betul, film-film impor yang bagus lebih cepat sampai di sini, tetapi bukan rahasia lagi bahwa MPEAA menekan kedua partner perusahaan film AS yang mempunyai akses ke kelompok bioskop 21 itu untuk secepat dan sebanyak mungkin memutar film-filmnya. Kalau sudah begini, di mana film Indonesia diputar? Apalagi kabar terakhir, MPAA (Motion Picture Association of America) kembali menuntut distribusi langsung dengan membuka kantor perwakilannya di Indonesia. Padahal, ketika tahun silam tuntutan itu muncul, pemerintah memberi jalan keluar lewat kerja sama tadi. Menurut Alex Leo, Direktur Jenderal Radio, Televisi dan Film Departemen Penerangan, pihaknya telah mengutus Direktur Pembinaan Film dan Rekaman Video Narto Erawan membicarakan masalah tersebut dengan pihak United States Trade Representative (Departemen Perdagangan AS). Hasilnya belum ketahuan. Amerika konon tetap bersikeras pada tuntutannya mendistribusikan film langsung ke Indonesia. Jika tak dipenuhi, mereka mengancam akan memasukkan Indonesia ke dalam foreign country list, daftar negara yang harus diamati USTR. Itu artinya, ekspor nonmigas ke AS bakal ada masalah. Tentang nasib film Indonesia sekarang, menurut Alex Leo, itu soal biasa, dari dulu juga turun naik. Film nasional, kata Alex lagi, tak ada yang melebihi atau setidaknya sama dengan film impor. "Jadi kalau mau laku, bikinlah film bagus. Jangan pemerintah saja yang disalahkan," katanya kepada wartawati TEMPO Sri Wahyuni. Tapi bagaimana mau bikin film bagus kalau kebebasan berekspresi dikebiri? Ini kata orang-orang film. Mulai dari judul sampai tema tak pernah tidak terjamah sensor. Maka, kata Slamet, mana bisa tema demit seperti Ghost atau film seperti Pretty Woman dibikin di sini. Malah kebebasan berekspresi lebih banyak di televisi, misalnya, pada sinetron. "Sinetron ceritanya lebih dekat dengan urusan keseharian. Ada SDSB, ada penggusuran tanah, ada sindiran buat pejabat. Di film, mana bisa," kata Slamet. Memang serba runyam. Sri Pudyastuti R. dan Siti Nurbaiti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini