MASA depan abortus tampaknya akan merajalela. Alasannya, bukan hanya sang ibu tidak menghendaki anaknya lahir karena tidak jelas ayahnya. Tapi lebih dari itu, kini ada alasan lain, yakni kelainan genetik sudah dapat diketahui sejak dini. Didukung ilmu pengetahuan yang makin maju, seorang ibu atau ayah dapat mengetahui bakal bayi dalam kandungan itu cacat atau tidak sejak janin berusia sembilan minggu. Ini usia yang masih mungkin digugurkan. Dulu, kelainan genetik diketahui setelah kandungan berusia 16 18 minggu. Perkara kelainan genetik yang dapat diketahui (cacat bawaan) sejak dini inilah yang dilontarkan dalam simposium di Surabaya, Rabu pekan silam. Dalam simposium, yang sekaligus meresmikan berdirinya Yayasan Genetika Jawa Timur, itu berbicara antara lain, H.S.M. Soeatmadji dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, dan Hanny Sumampow dari Laboratorium Obstetri RSUD Soetomo -- keduanya di Surabaya. Dalam makalahnya berjudul Deteksi Dini Kelainan Bawaan dan Keturunan, Soeatmadji membahas metode amniocentesis untuk mendeteksi kelainan genetik. Menurut dia, prosedur diagnostik, kendati bukan baru, agaknya belum banyak diketahui masyarakat di sini. Di Amerika dan Eropa, amniocentesis dikembangkan tahun 1980. Di RSUD Soetomo diterapkan sejak 1990. Teknik ini, menurut Soeatmadji, dilakukan dengan memasukkan sebuah jarum berlubang menembus dinding perut si ibu hamil ke dalam kantong amniotik (ketuban) yang mengelilingi janin. Prosedur ini dilakukan untuk mendapat contoh cairan amniotik. Sel-sel dalam cairan ini diperiksa untuk mengetahui tanda kelainan bawaan, seperti cacat mental (down's syndrome). Lazimnya, amniocentesis dilakukan ketika cairan amniotik membludak, yaitu pada periode kehamilan 16-18 minggu. Menurut Hanny Sumampow, di RSUD Soetomo cara amniocentesis sudah dapat dilakukan pada periode kehamilan 14 minggu. "Bahkan, kalau mau lebih dini, teknik itu bisa dilakukan pada periode kehamilan sembilan minggu," kata Hanny. Yang menjadi persoalan adalah setelah kelainan si janin diketahui. Jika kelainannya dapat diobati, seperti di paru-paru, tentu dapat dilakukan pengobatan ketika bayi dalam kandungan. Namun, tidak semua kelainan itu dapat diobati, misalnya, cacat genetik. Menurut Julianto Witjaksono, ahli kandungan dan kebidanan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, hingga kini kelainan genetik belum ada obatnya. "Obatnya cuma satu, yaitu melakukan abortus," katanya. Tentu yang dimaksud Julianto adalah abortus berdasarkan alasan medis. Toh, tidak mendapat layanan pemeriksaan genetik. "Kalau cuma ingin tahu jenis kelamin anaknya, tidak dilayani. Itu tak etis," kata Soeatmadji. Wanita hamil yang ingin memperoleh pelayanan pemeriksaan genetik harus memenuhi indikasi medik. Teknik ini biasanya digunakan terhadap wanita yang sebelumnya telah melahirkan seorang bayi. Juga pada ibu yang keguguran dua kali sehingga khawatir bayinya cacat genetik. Teknik ini dapat pula dipakai pada wanita hamil berusia sudah di atas 35 tahun. Teknik amniocentesis ini bukan tanpa kelemahan. Karena caranya dengan memasukkan jarum suntikan ke dalam kantong amniotik, tak mustahil si bayi terluka. Tapi, di RSUD Soetomo belum pernah gagal. Selain risiko bayi terluka, metode ini relatif mahal. Untuk pemeriksaan dengan amniocentesis, pasien mengeluarkan biaya Rp 350 ribu. Di luar negeri biayanya mencapai Rp 3 juta. Di RSUD Soetomo baru 51 pasien yang menggunakan teknik ini. "Dan tidak ada yang abortus," kata Soeatmadji. Bambang Aji, Kelik M. Nugroho, dan Iwan Qodar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini