Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Fakta Baru Penembakan Siswa SMK di Semarang: Pelanggaran HAM

Komnas HAM menemukan indikasi pelanggaran HAM dalam penembakan siswa SMK di Semarang. KPAI menemukan pelanggaran serupa.

6 Desember 2024 | 09.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Konferensi pers kasus penembakan siswa SMK berinisial GRO oleh anggota polisi Polrestabes Semarang, di Polda Jawa Tengah, 27 November 2024. Dok. Polda Jawa Tengah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Kepolisian Daerah Jawa Tengah belum menetapkan tersangka polisi penembak siswa SMK di Semarang.

  • Komnas HAM menemukan indikasi pelanggaran hak asasi manusia dalam penembakan siswa di Semarang.

  • Komisi Perlindungan Anak Indonesia menemukan kekeliruan polisi menangani anak yang diduga terlibat kejahatan.

KEPOLISIAN Daerah Jawa Tengah belum menetapkan Ajun Inspektur Dua Robig Zaenudin sebagai tersangka penembakan yang menewaskan siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 4 Semarang, Gamma Rizkynata Oktafandy. Dalam rapat bersama Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat pada Selasa, 3 Desember 2024, petinggi Polda Jawa Tengah menyatakan penetapan tersangka akan diputuskan setelah penyidik mendapat keterangan ahli dan olah tempat kejadian.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Penyidik masih mengumpulkan bukti. Jika bukti kami rasa sudah cukup, baru statusnya dinaikkan," kata Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Jawa Tengah Komisaris Besar Artanto, Rabu, 4 Desember 2024. Saat ini, kata Artanto, pemeriksaan terhadap Robig masih fokus pada dugaan pelanggaran etik. "Sidang etik akan digelar secepatnya,” kata dia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kapolrestabes Semarang Komisaris Besar Irwan Anwar (kedua dari kiri) bersama Kabid Propam Polda Jawa Tengah Kombes Aris Supriyono (kiri) mengikuti rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR yang membahas kasus penembakan siswa SMK oleh polisi, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 3 Desember 2024. TEMPO/M. Taufan Rengganis

Penembakan terjadi pada 24 November 2024 sekitar pukul 00.20 WIB. Gamma, remaja 17 tahun itu, mengembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Umum Pusat Dr Kariadi, Semarang, beberapa jam setelah penembakan. Peluru mengenai pinggulnya dan bersarang di perut.  

Awalnya, dari kesaksian Robig, Kepala Kepolisian Resor Kota Besar Semarang Komisaris Besar Irwan Anwar mengatakan Robig terpaksa menembak karena diserang oleh pelaku tawuran. Adapun tawuran itu melibatkan dua kelompok, yaitu geng Tanggul Pojok dan geng Seroja.

Keterangan berbeda disampaikan oleh Kepala Bidang Profesi dan Pengamanan Polda Jawa Tengah Komisaris Besar Aris Supriyono. Menurut penyelidikan polisi, penembakan itu terjadi setelah sepeda motor Robig diserempet sepeda motor yang digunakan Gamma. Saat itu Robig dalam perjalanan pulang setelah selesai bertugas.

Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, mengatakan seharusnya tidak sulit menetapkan Robig sebagai tersangka karena penyidik sudah mengantongi semua alat bukti. “Korban meninggal sudah ada, alat bukti hasil autopsi sudah ada, hasil forensik ada, uji balistik, dan senjata api yang digunakan juga ada,” kata Bambang. “Tak ada lagi alasan lagi untuk tidak menetapkan tersangka.” 

Penanganan yang lambat ini menimbulkan kecurigaan bahwa kepolisian sengaja mengulur-ulur waktu. Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur bahkan menduga ada upaya untuk menutup-nutupi kasus ini. Indikasinya terlihat saat Kapolrestabes Semarang dan jajarannya mendatangi keluarga korban serta menyebutkan Gamma terlibat tawuran sehingga terpaksa ditembak. “Ini kerap menjadi modus kepolisian untuk menghapus jejak kejahatan anggotanya,” kata Isnur. “Penghalang-halangan pengungkapan tindak pidana (obstruction of justice) adalah pelanggaran HAM serius dan kejahatan.”

Pernyataan Kepala Kepolisian Kota Besar Semarang Komisaris Besar Irwan Anwar:

  • GRO adalah anggota geng Tanggul Pojok dan hendak tawuran dengan geng Seroja.
  • Ketika kedua geng ini bertemu, Ajun Inspektur Dua Robig Zaenudin datang untuk melerai.
  • Robig diserang oleh kelompok remaja tersebut. Karena terdesak, Robig melepaskan tembakan dan mengenai tubuh GRO.

Pernyataan Kepala Bidang Propam Kepolisian Daerah Jawa Tengah Komisaris Besar Aris Supriyono:

  • Penembakan oleh Ajun Inspektur Dua Robig Zaenudin bukan karena ingin membubarkan tawuran, melainkan karena bersenggolan sepeda motor di jalan.
  • Insiden terjadi saat Robig hendak pulang. Di jalan, dia berpapasan dengan empat sepeda motor yang tengah kejar-kejaran. Robig kesal karena sepeda motornya tersenggol.
  • Robig menunggu kendaraan yang kejar-kejaran itu berputar balik. Terjadi penembakan yang menewaskan GRO.

Temuan KPAI:

  • Tidak ada geng motor bernama Seroja dan Tanggul Pojok. Kedua nama tersebut merupakan nama kampung di Semarang. Penduduk di Tanggul Pojok banyak yang tidak saling kenal.
  • Tidak ada tawuran pada Ahad malam, 24 November 2024, saat terjadi penembakan.
  • Tidak ada penyerangan yang dilakukan oleh Gamma Rizkynata Oktafandy atau remaja lain terhadap Ajun Inspektur Dua Robig Zaenudin.
  • Penembakan dilakukan dalam jarak kurang dari 1 kilometer tanpa ada tembakan peringatan terlebih dulu.
  • Dalam penanganan kasus ini, kepolisian melanggar hak anak yang berkonflik dengan hukum, yakni kepolisian memperlihatkan anak yang berkonflik dengan hukum di hadapan umum tanpa pendamping, baik ketika konferensi pers atau dalam rekonstruksi perkara.

Pernyataan Isnur sejalan dengan temuan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang telah menelusuri penembakan itu pada 28-30 November 2024. “Tindakan RZ (Robig Zaenudin) telah memenuhi unsur-unsur pelanggaran HAM berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM,” kata Koordinator Subkomisi Pemantauan Uli Parulian Sihombing.

Adapun bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Robig adalah pelanggaran hak hidup, sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat 1 UU HAM. Penembakan yang dilakukan Robig menyalahi prosedur dan mengakibatkan satu nyawa melayang. “Saudara RZ tidak sedang menjalankan tugas dan tak dalam posisi terancam,” kata Uli.

Selain itu, perbuatan Robig melanggar hak atas perlindungan anak yang diatur dalam Pasal 52 ayat 1 UU HAM. Sebab, ketiga korban masih berusia di bawah 18 tahun sehingga berstatus sebagai anak-anak. “Sebagai aparatur negara, anggota Polri, seharusnya tidak menembak anak-anak,” kata Uli. “Kepolisian dilarang menggunakan senjata api ketika berhadapan dengan anak-anak.”  

Pra-rekonstruksi rangkaian peristiwa penembakan siswa SMK oleh polisi di Semarang, Jawa Tengah, 26 November 2024. ANTARA/I.C. Senjaya

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga memperoleh temuan serupa. Diyah Puspitarini, komisioner KPAI yang mengampu kluster kekerasan fisik dan psikis anak, menyatakan tidak ada geng motor bernama Seroja serta Tanggul Pojok. Dua nama tersebut adalah nama perkampungan. "Jadi tidak tepat istilah gangster disematkan," kata Diyah menanggapi pernyataan Kapolrestabes Semarang Komisaris Besar Irwan Anwar.

KPAI juga menemukan fakta, sebelum ada penembakan, tidak pernah terjadi tawuran. "Belum terjadi bentrokan, baru kejar-kejaran sepeda motor," ujarnya. Diyah juga tidak menemukan fakta tentang penyerangan yang dilakukan Gamma dan kawan-kawannya terhadap Robig. Dengan demikian, alasan Robig melepaskan tembakan untuk membela diri dipertanyakan.

KPAI justru menemukan fakta bahwa penembakan itu dilakukan dalam jarak kurang dari 1 kilometer dan tanpa ada peringatan lebih dulu. "Tidak ada teriakan pemberhentian ataupun tembakan peringatan," ucap Diyah. 

Peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Iftitah Sari, mengatakan lemahnya akuntabilitas masih menjadi masalah utama di institusi kepolisian. Karena itu, tidak mengherankan muncul upaya untuk menutupi kasus semacam ini. “Dalam peristiwa Kanjuruhan saja, tidak ada pelaku lapangan yang dihukum,” katanya. “Supaya kejadian seperti ini tidak terus berulang memang harus ada perubahan secara sistemik.”  

Iftitah Sari menyatakan, dalam penyidikan terhadap tindak pidana yang dilakukan polisi, terdapat kecenderungan konflik kepentingan. Alih-alih membongkar kejahatan koleganya, penyidik justru memberikan pelindungan. “Sehingga penyelidikan tidak akan obyektif dan transparan mengingat hubungan kolegial serta hierarki internal yang ada di institusi kepolisian,” katanya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Intan Setiawanty dan Jamal Abdun Nashr dari Semarang berkontribusi dalam penulisan artikel ini

Ade Ridwan Yandwiputra

Ade Ridwan Yandwiputra

Lulusan sarjana Ilmu Komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Institut Bisnis dan Informatika Kosgoro 1957. Memulai karier jurnalistik di Tempo sejak 2018 sebagai kontributor. Kini menulis untuk desk hukum dan kriminal

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus