Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Fen fen di rumah hantu

Seorang gadis 12 tahun (surabaya) disiksa oleh ayah kandungnya hingga lumpuh. kini ayahnya ditahan oleh polisi. koresta 1013 surabaya. (krim)

5 November 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TUBUH kurus gadis cilik berbaju compang-camping itu penuh bekas pukulan. Kedua kakinya lumpuh, bengkak, dan bernanah. Sambil merintih ia merangkak dengan tangannya yang tak bertenaga. Tubuhnya begitu lemah, sehingga belum sampai 100 meter dari rumahnya ia tak sanggup lagi bergerak. Para tetangganya di Jalan Kapasari, Surabaya, segera menghubungi polisi yang kemudian membawa gadis itu, Fen Fen, 12, ke RS Dr. Soetomo. Kejadian pada Selasa dua pekan lalu itu sangat menggeramkan penduduk di Jalan Kapasari. Apalagi ketika Fen Fen bercerita bahwa penderitaannya tak lain akibat ulah ayah kandungnya sendiri, Budi alias Tjioe Ing Boen, 35. Budi pun segera ditahan. Ia mengaku, sering menghajar anaknya itu "karena kesal". Sekitar tiga tahun lalu, Fen Fen kedapatan mengemis sambil menggendong adik tirinya yang masih kecil. Melihat itu, Budi, bekas salesman yang belakangan ngobyek apa saja untuk menghidupi lima anak dan istri mudanya, jadi berang. Fen Fen segera dihajar. Ia tak diperkenankan meninggalkan rumah mereka yang sempit, bertingkat dua, dan penuh balok serta tong berserak di sana-sini, hingga orang menyebutnya "rumah hantu". Tapi Fen Fen, yang sempat sekolah sampai kelas 1 SD, sesekali mencuri waktu keluar rumah. Dan sang ayah makin rajin saja menghajarnya. Entah sudah berapa banyak gagang sapu yang patah, sampai-sampai, "saya tak mau beli sapu lagi," tutur Liang Ia Tjen, Ibu tiri Fen Fen. Gadis itu mengaku, ia mengemis karena sering kelaparan. Ayah dan ibu tirinya memang sering keluar rumah tanpa meninggalkan makanan yang cukup. Padahal, selain Fen Fen, masih ada empat anak kecil lain, yaitu adik-adik tirinya. Maka, kata Fen Fen, "saya baru makan kalau sedang memberi makan anjing-anjing herder." Di rumah itu memang ada belasan anjing herder yang merupakan barang dagangan. Sekali waktu, bila nasib lagi baik, Budi bisa menjualnya sampai Rp 400 ribu seekor. Fen Fenlah yang bertugas memberi makan anjing-anjing itu. Dua anak Budi dari istri pertamanya yang sudah dicerai tahun 1975 - Yung Yung, 16, dan Lie Lie, 14, juga sering mendapat perlakuan kasar. Yung Yung pernah digunduli, dan Lie Lie pernah dihajar sampai terpincang-pincang. Tak tahan mengalami siksaan begitu, keduanya minggat dari rumah sekitar tiga tahun-lalu. Yang tak kalah menderita adalah A Tjun, istri pertama Budi. "Saya tak terima anakanak saya ditelantarkan," katanya sambil menangis. Ia mengharapkan Fen Fen kembali padanya. Tapi Budi ngotot mempertahankan anak itu. "A Tjun itu bekas hostes, hidupnya tak keruan. Fen Fen nanti ikut rusak," katanya. Untuk ini, komandan Koresta 1013 Surabaya, Letkol Soeseno Partowijono, menyodorkan alternatif. Budi akan tetap ditahan dan diajukan ke pengadilan bila tetap menghendaki Fen Fen. Sebaliknya, ia akan dibebaskan bila merelakan Fen Fen diasuh ibunya. Soeseno juga berniat membawa Budi ke psikiater sebab, menurut tetangganya, laki-laki itu memang seperti orang yang kurang waras. Sekah waktu, misalnya, seorang tetangga yang kasihan melihat Fen Fen mengajak ke rumah dan memberinya makanan. Tak dinyana Budi malahan mengajak duel. "Dia tak bisa bermasyarakat," keluh para tetangganya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus