TUBUH kurus gadis cilik berbaju compang-camping itu penuh bekas
pukulan. Kedua kakinya lumpuh, bengkak, dan bernanah. Sambil
merintih ia merangkak dengan tangannya yang tak bertenaga.
Tubuhnya begitu lemah, sehingga belum sampai 100 meter dari
rumahnya ia tak sanggup lagi bergerak.
Para tetangganya di Jalan Kapasari, Surabaya, segera menghubungi
polisi yang kemudian membawa gadis itu, Fen Fen, 12, ke RS Dr.
Soetomo. Kejadian pada Selasa dua pekan lalu itu sangat
menggeramkan penduduk di Jalan Kapasari. Apalagi ketika Fen Fen
bercerita bahwa penderitaannya tak lain akibat ulah ayah
kandungnya sendiri, Budi alias Tjioe Ing Boen, 35. Budi pun
segera ditahan. Ia mengaku, sering menghajar anaknya itu "karena
kesal".
Sekitar tiga tahun lalu, Fen Fen kedapatan mengemis sambil
menggendong adik tirinya yang masih kecil. Melihat itu, Budi,
bekas salesman yang belakangan ngobyek apa saja untuk menghidupi
lima anak dan istri mudanya, jadi berang. Fen Fen segera
dihajar. Ia tak diperkenankan meninggalkan rumah mereka yang
sempit, bertingkat dua, dan penuh balok serta tong berserak di
sana-sini, hingga orang menyebutnya "rumah hantu".
Tapi Fen Fen, yang sempat sekolah sampai kelas 1 SD, sesekali
mencuri waktu keluar rumah. Dan sang ayah makin rajin saja
menghajarnya. Entah sudah berapa banyak gagang sapu yang patah,
sampai-sampai, "saya tak mau beli sapu lagi," tutur Liang Ia
Tjen, Ibu tiri Fen Fen.
Gadis itu mengaku, ia mengemis karena sering kelaparan. Ayah dan
ibu tirinya memang sering keluar rumah tanpa meninggalkan
makanan yang cukup. Padahal, selain Fen Fen, masih ada empat
anak kecil lain, yaitu adik-adik tirinya. Maka, kata Fen Fen,
"saya baru makan kalau sedang memberi makan anjing-anjing
herder."
Di rumah itu memang ada belasan anjing herder yang merupakan
barang dagangan. Sekali waktu, bila nasib lagi baik, Budi bisa
menjualnya sampai Rp 400 ribu seekor. Fen Fenlah yang
bertugas memberi makan anjing-anjing itu.
Dua anak Budi dari istri pertamanya yang sudah dicerai tahun
1975 - Yung Yung, 16, dan Lie Lie, 14, juga sering mendapat
perlakuan kasar. Yung Yung pernah digunduli, dan Lie Lie pernah
dihajar sampai terpincang-pincang. Tak tahan mengalami siksaan
begitu, keduanya minggat dari rumah sekitar tiga tahun-lalu.
Yang tak kalah menderita adalah A Tjun, istri pertama Budi.
"Saya tak terima anakanak saya ditelantarkan," katanya sambil
menangis. Ia mengharapkan Fen Fen kembali padanya. Tapi Budi
ngotot mempertahankan anak itu. "A Tjun itu bekas hostes,
hidupnya tak keruan. Fen Fen nanti ikut rusak," katanya.
Untuk ini, komandan Koresta 1013 Surabaya, Letkol Soeseno
Partowijono, menyodorkan alternatif. Budi akan tetap ditahan dan
diajukan ke pengadilan bila tetap menghendaki Fen Fen.
Sebaliknya, ia akan dibebaskan bila merelakan Fen Fen diasuh
ibunya. Soeseno juga berniat membawa Budi ke psikiater sebab,
menurut tetangganya, laki-laki itu memang seperti orang yang
kurang waras.
Sekah waktu, misalnya, seorang tetangga yang kasihan melihat Fen
Fen mengajak ke rumah dan memberinya makanan. Tak dinyana Budi
malahan mengajak duel. "Dia tak bisa bermasyarakat," keluh para
tetangganya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini