OKNUM polisi yag melanggar hukum dikejar terus. Belum lama
ini sejumlah tamtama dan bintara dipecat di Bandung dan
Semarang. Minggu ini di Jakarta seorang perwira menengah,
Mayor Darwin Armyn Nasution, 47, diajukan ke mahkamah
militer. Perwira pemeriksa ahli di bidang- dokumen kehakiman
di laboratorium Kriminologi (Labkrim) Mabak ini didakwa
memberi kesaksian palsu yang merugikan empat pelapor dalam
perkara pemalsuan tanda tangan yang sudah diputuskan pengadilan
negeri di Jakarta, Serang, dan Cianjur sejak 1977 sampai 1979.
Kecuali satu yang sudah diberi kasasi, semua perkara itu kini
masih menunggu keputusan Mahkamah Agung. Kasasi berikutnya bisa
jadi akan mempertimbangkan pula hasil sidang Mahmilti II Bagian
Barat yang dimulai Selasa pekan lalu. Tak heran kalau beberapa
saksi pelapor tampak cukup berharap pada putusan sidang.
Masih berseragam Polri. Darwin - yang sejak empat tahun lalu
dia sudah dinonaktifkan - dengan pembela Letkol Pol. S.
Dalimunthe mendengarkan tuduhan oditur Kolonel Soetopo. Dia
antara lain dituduh memberikan keterangan palsu sehingga empat
pengadilan negeri memutuskan vonis yang merugikan para pelapor.
Salah satu contoh, menurut Oditur, kasus antar direktur PT Sari
Jaya, kontraktor Pertamina. Sjamsul Bachri, salah seorang
direktur PT itu, mengadukan H. Salam Dani, direktur utama PT
itu, karena memalsukan tanda tangannya. Untuk itu, lewat jaksa
penuntut, dia meminta Darwin yang ketika itu bekerja di Labkrim
Mabak memeriksa tanda tangan yang diduga palsu tadi. Pemeriksaan
Darwin belakangan ini ternyata memperkuat tuduhan Syamsul.
Namun, Salam yang dituduh memalsukan, lewat pengacaranya
membantah hasil pemeriksaan Darwin dengan mengajukan hasil
pemeriksaan tandingan dari laboratorium POM ABRI. Laboratorium
terakhir ini terus mengatalkan Salam tidak memalsu.
Namun karena bersandar pada ketentuan bahwa pengadilan harus
berpatok pada hasil pamariksaan labkrim Polri, Hakim Slamet
Riyanto, yang mengadili perkara itu tahun 1979, memutuskan
Salam kalah. Direktur Utama yang baru naik haji itu pun
dihukum penjara lima bulan.
Dia naik banding. Namun, sementara itu hasil pemeriksaan yang
berbeda tadi tercium oleh dua anggota DPR: Brigjen (pur) Piola
Isa dan Brigjen Agus Djamili (keduanya sekarang hakim agung).
Merekalah, menurut Oditur - karena ketaksamaan hasil
pemeriksaan itu bisa disalahgunakan - yang menganjurkan Oditur
Jenderal (Orjen) ABRI Imam Soekarsono memprakarsai
penyelesaiannya.
Imam setuju dan mulai melakukan pendekatan pada Darwin dan
atasannya. Kepada terdakwa, kata Oditur, Orjen bahkan memberikan
petunjuk-petunjuk agar perbedaan dapat dimusyawarahkan. Karena
Darwin merasa diperlakukan tidak adil, 16 Maret 1981 ia
mengadukan semua hal yang dianggapnya merupakan tekanan lewat
sepucuk surat yang ditujukan pada Menhankam/Pangab,
Pangkopkamtib, Jaksa Agung, dan lain-lain dengan tembusan kepada
Kaporli. Menteri Kehakiman, dan Ketua Mahkamah Agung. Surat itu,
menurut Oditur, oleh Orjen dianggap sebagai suatu penghinaan
terhadap atasan. Maka, tak syak lagi, Darwin kontan diadukan ke
Mahmilti 13 November 1982.
Nasib Darwin yang sudah lebih 15 tahun bekerja di Labkrim Polri
yang berdiri sejak 1956 itu akan ditentukan minggu-minggu ini.
Sarjana farmasi lulusan UGM Yogyakarta yang berkepala botak itu
sampai minggu lalu masih tetap bersikukuh pada hasil
pemeriksaann. "Itu semua putusan pengadilan. Saya hanya
memberikan hasil pemeriksaan,'' katanya. Ia menambahkan, "bisa
saja dua dokter memeriksa satu penyakit dan hasilnya berbeda
satu sama lain. Sebab, mungkin sistem dan metodenya juga beda,"
kata pria asal Tapanuli Selatan itu dengan tenang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini