Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Hasil laboratorium palsu?

Mayor darwin armyn nasution, pemeriksa ahli di bidang dokumen kehakiman di labkrim mabak, diajukan ke mahmil, dituduh memberikan kesaksian palsu dalam perkara pemalsuan tanda tangan. (krim)

5 November 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

OKNUM polisi yag melanggar hukum dikejar terus. Belum lama ini sejumlah tamtama dan bintara dipecat di Bandung dan Semarang. Minggu ini di Jakarta seorang perwira menengah, Mayor Darwin Armyn Nasution, 47, diajukan ke mahkamah militer. Perwira pemeriksa ahli di bidang- dokumen kehakiman di laboratorium Kriminologi (Labkrim) Mabak ini didakwa memberi kesaksian palsu yang merugikan empat pelapor dalam perkara pemalsuan tanda tangan yang sudah diputuskan pengadilan negeri di Jakarta, Serang, dan Cianjur sejak 1977 sampai 1979. Kecuali satu yang sudah diberi kasasi, semua perkara itu kini masih menunggu keputusan Mahkamah Agung. Kasasi berikutnya bisa jadi akan mempertimbangkan pula hasil sidang Mahmilti II Bagian Barat yang dimulai Selasa pekan lalu. Tak heran kalau beberapa saksi pelapor tampak cukup berharap pada putusan sidang. Masih berseragam Polri. Darwin - yang sejak empat tahun lalu dia sudah dinonaktifkan - dengan pembela Letkol Pol. S. Dalimunthe mendengarkan tuduhan oditur Kolonel Soetopo. Dia antara lain dituduh memberikan keterangan palsu sehingga empat pengadilan negeri memutuskan vonis yang merugikan para pelapor. Salah satu contoh, menurut Oditur, kasus antar direktur PT Sari Jaya, kontraktor Pertamina. Sjamsul Bachri, salah seorang direktur PT itu, mengadukan H. Salam Dani, direktur utama PT itu, karena memalsukan tanda tangannya. Untuk itu, lewat jaksa penuntut, dia meminta Darwin yang ketika itu bekerja di Labkrim Mabak memeriksa tanda tangan yang diduga palsu tadi. Pemeriksaan Darwin belakangan ini ternyata memperkuat tuduhan Syamsul. Namun, Salam yang dituduh memalsukan, lewat pengacaranya membantah hasil pemeriksaan Darwin dengan mengajukan hasil pemeriksaan tandingan dari laboratorium POM ABRI. Laboratorium terakhir ini terus mengatalkan Salam tidak memalsu. Namun karena bersandar pada ketentuan bahwa pengadilan harus berpatok pada hasil pamariksaan labkrim Polri, Hakim Slamet Riyanto, yang mengadili perkara itu tahun 1979, memutuskan Salam kalah. Direktur Utama yang baru naik haji itu pun dihukum penjara lima bulan. Dia naik banding. Namun, sementara itu hasil pemeriksaan yang berbeda tadi tercium oleh dua anggota DPR: Brigjen (pur) Piola Isa dan Brigjen Agus Djamili (keduanya sekarang hakim agung). Merekalah, menurut Oditur - karena ketaksamaan hasil pemeriksaan itu bisa disalahgunakan - yang menganjurkan Oditur Jenderal (Orjen) ABRI Imam Soekarsono memprakarsai penyelesaiannya. Imam setuju dan mulai melakukan pendekatan pada Darwin dan atasannya. Kepada terdakwa, kata Oditur, Orjen bahkan memberikan petunjuk-petunjuk agar perbedaan dapat dimusyawarahkan. Karena Darwin merasa diperlakukan tidak adil, 16 Maret 1981 ia mengadukan semua hal yang dianggapnya merupakan tekanan lewat sepucuk surat yang ditujukan pada Menhankam/Pangab, Pangkopkamtib, Jaksa Agung, dan lain-lain dengan tembusan kepada Kaporli. Menteri Kehakiman, dan Ketua Mahkamah Agung. Surat itu, menurut Oditur, oleh Orjen dianggap sebagai suatu penghinaan terhadap atasan. Maka, tak syak lagi, Darwin kontan diadukan ke Mahmilti 13 November 1982. Nasib Darwin yang sudah lebih 15 tahun bekerja di Labkrim Polri yang berdiri sejak 1956 itu akan ditentukan minggu-minggu ini. Sarjana farmasi lulusan UGM Yogyakarta yang berkepala botak itu sampai minggu lalu masih tetap bersikukuh pada hasil pemeriksaann. "Itu semua putusan pengadilan. Saya hanya memberikan hasil pemeriksaan,'' katanya. Ia menambahkan, "bisa saja dua dokter memeriksa satu penyakit dan hasilnya berbeda satu sama lain. Sebab, mungkin sistem dan metodenya juga beda," kata pria asal Tapanuli Selatan itu dengan tenang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus