Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Ganda dicari, mulyadi tewas ganda dicari,mulyadi tewas

Mulyadi panjaitan yang dikira ganda, diciduk dan dihajar polisi. ia tewas ditahanan. penangkapan tsb diduga karena perkelahian kelompok pemuda di perumnas mandala,medan.kasus tsb masih diperiksa.

15 September 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ganda Dicari, Mulyadi Tewas Seorang pedagang rokok eceran digebuk oknum-oknum berpakaian preman di depan istri dan anaknya. Ia tewas di tahanan polisi. Salah tangkap? MALAM hampir pagi hari Minggu pekan lalu. Sekitar 20 sosok orang, sebagian memegang handy talky dan pistol, mengelilingi rumah Mulyadi Panjaitan, di Jalan Camar II/161 Perumnas Mandala, Medan. Lalu, belasan di antara mereka melompati pagar besi rumah itu. Mereka berulang-ulang menggedor pintu rumah sambil berteriak, "Buka pintu. Kami dari polisi." Ratna Sitompul, 29 tahun, istri Mulyadi, terbangun karena terkejut mendengar letusan pistol. "Kalau pintu tak dibuka, kami akan menembak kalian dari luar," suara teriakan itu lagi. Ratna yang gemetar dengan ketakutan membuka pintu. Begitu pintu dibuka, seperti berebut, belasan sosok berpakaian preman itu masuk ke dalam rumah. Mereka segera memeriksa WC, dapur, dan ruang tidur. Ratna terkesima. "Mana si Ganda, mana?" kata orang-orang itu dalam nada marah. Tak berapa lama, adik Ratna, Hendrik Sitompul, 25 tahun, keluar kamar dan memanjat tembok belakang. Dia mencoba hengkang. Tiga kali polisi melepaskan tembakan peringatan, Hendrik turun dari tembok itu. Dia menyerah. Ketegangan semakin memuncak ketika seorang berpakaian preman yang berada di ruang tidur menyenter ke kolong ranjang. "Oi . . ., ini dia si Ganda," teriak orang itu. Semua teman yang berteriak tadi datang ke tempat tersebut. Mereka menarik kaki yang disebut Ganda itu. Ternyata, orang itu bukan si Ganda, tapi Mulyadi, 31 tahun. Begitu tubuh ayah dua anak itu lepas dari kolong tempat tidur, ia dipermak. Tinju dan terjangan menghajar Mulyadi, di depan Ratna dan anaknya Doni, 9 tahun, dan Melda, 8 tahun. Ratna cuma bisa menangis. "Saya sangat takut," kata Doni kepada TEMPO. Setelah itu, Mulyadi diseret ke jalan raya di depan rumah tersebut. Dua tetangga Mulyadi, Charles Tambunan dan Liber Sihombing, dipanggil kawanan itu untuk memastikan bahwa yang mereka bawa itu si Ganda. "Oo . . . itu bukan si Ganda. Itu Mulyadi," kata Charles dan Liber. Tapi, entah apa alasan-nya, Mulyadi, Hendrik Sitompul, Charles,- dan Liber dibawa juga ke Polsek Percut Sei Tuan, Medan, dengan mobil patroli. Paginya, Ratna datang ke Polsek itu, membawa pakaian dan makanan untuk suaminya. Namun, dia tidak diperkenankan bertemu dengan Mulyadi, yang sehari-hari berjualan rokok eceran itu. Tengah hari, Ratna dijemput anggota Polsek tersebut untuk bertemu Kapolsek, Kapten Soeripto. Dari Soeripto itulah, Ratna tahu, Mulyadi sudah tewas pukul 7 pagi. "Pukul 2 sore nanti, mayat Mulyadi akan kami antar," kata Soeripto. Sampai pukul 5 sore Soeripto tak memenuhi janjinya. Ratna bergegas ke kamar mayat RS Pirngadi Medan, untuk mengambil jenazah suaminya. Wanita itu menemukan mayat suaminya lebam-lebam, ujung jari membiru, tulang leher patah. Bekas darah masih melekat pada mata dan hidung, dan bekas sepatu tampak di punggungnya. Juga nampak bekas jahitan memanjang dari leher sampai ke bawah pusar. "Mayat sudah begitu ketika kami menerimanya pukul 9 pagi tadi dari polisi," kata petugas kamar mayat kepada Ratna. Dengan ambulans, Ratna membawa mayat suaminya ke rumahnya. Setelah jenazah itu sampai ke rumahnya, Ratna cabut ke Pom ABRI. Sambil meraung-raung, Ratna berguling-guling di halaman kantor Pom ABRI. "Saya tak tahu apa dosa suami saya. Ketika dibawa ia sehat, lalu pulang jadi mayat," kata Ratna, yang sering meratap bila ditanya tentang suaminya. Ketika dia mengadu itu, utusan polisi datang ke rumahnya, menemui mertuanya, Kapten Purnawirawan M.R. Panjaitan, untuk menyerahkan uang duka Rp 1 juta. Uang tersebut diterima ayah mendiang. Cuma, ketika utusan itu minta surat penyerahan yang ditandatangani istri mendiang, Ratna menolak. "Masa, uang duka pakai teken meneken," kata Ratna kepada TEMPO. Menurut Ratna, suaminya memang suka menenggak minuman beralkohol. Tapi pada malam itu, katanya, bisa dibilang suaminya tidak berpisah dengannya. Kecuali pada pukul 9 malam, Mulyadi keluar dari rumah ke jalan raya, menonton perkelahian anak muda setempat. Tak lama, Mulyadi pulang ke rumah. Selesai menonton siaran TV mereka tidur. Sampai subuhnya, terjadilah peristiwa itu. Tapi Kepala Dinas Penerangan Polda Sum-Ut, Letkol. Jusuf Umar, membantah bahwa polisi menghabisi Mulyadi. "Ini ekses perkelahian kelompok pemuda di daerah itu," kata Umar. Menurut Umar, Mulyadi, Hendrik, Charles, dan Liber terlibat perkelahian tersebut. Puluhan pemuda dengan senjata tajam dan pentungan, katanya, baku hantam di waktu subuh itu. Tak jelas lagi, siapa lawan siapa kawan. Pada saat huru-hara itu terjadi, Sersan Satu Saryono, anggota Polsek Medan Baru, lewat di situ. Dia, bersama Marbun dan Zulfikar, yang tak tahu-menahu soal keributan itu, justru dipentung dan dibacok dengan kelewang. Kendati Saryono sudah mengatakan bahwa dia itu anggota polisi, toh para pemuda tersebut tak mempedulikan. Penegak hukum itu dihajar hingga tubuhnya biram-biram dan dua gigi depannya rompal. Cerita perkelahian itu belakangan diketahui anggota Polsek Percut Sei Tuan, yang jaraknya sekitar tiga kilometer dari tempat keributan. Merekalah sosok yang berpakaian preman tadi. Tapi ketika itu perkelahian sudah bubar. Mereka hanya menemui Saryono tergeletak tak berdaya di tempat itu. Dan dari penyelidikan puluhan polisi, diketahui bahwa Mulyadi dan ketiga temannya yang menggebuk -Saryono. Tiga dari keempat orang itu diserga-p Mulyadi dibekuk dari rumahnya. "Kondi-sinya ketika itu sudah lemah. Mulutnya bau minuman," kata Kapoltabes Medan, Letkol. Sofyan Jacoeb. Rencananya, Mulyadi- mau dibawa ke rumah sakit. "Tapi ap-a daya, Mulyadi meninggal di jalan, keti-ka dibawa dengan mobil patroli," kata Sofyan. Menurut Sofyan, tidak tertutup kemungkinan anak buahnya bertindak di luar batas. "Bila itu yang terjadi, percayalah, saya akan menindak mereka," katan-ya. Karena itu, pekan-pekan ini, semua polisi yang berpakaian preman tadi diperih- provos. MS & Sarluhut Napitupulu (Biro Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus