Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PUTUSAN praperadilan itu melecut Kejaksaan Tinggi Jawa Timur bekerja lebih cepat. Untuk kedua kalinya, Rabu pekan lalu, jaksa menggelar perkara penyelewengan dana hibah oleh pengurus Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Jawa Timur pada 2012. Sore harinya, Kepala Seksi Penyidikan Pidana Khusus Dandeni Herdiana mengumumkan penetapan Ketua Umum Kadin Jawa Timur La Nyalla Mattalitti sebagai tersangka. "Kami punya alat bukti terbaru untuk menetapkan tersangka," kata Dandeni.
Persis satu pekan sebelumnya, Pengadilan Negeri Surabaya mengabulkan gugatan praperadilan yang diajukan Wakil Ketua Umum Kadin Jawa Timur Diar Kusuma Putra. Pengadilan membatalkan dua surat perintah penyidikan yang diterbitkan Kejaksaan pada 27 Januari dan 15 Februari 2016. Merespons pembatalan surat perintah penyidikan itu, Dandeni dan tim penyidik langsung menggelar rapat ekspose perkara pada Jumat dua pekan lalu.
Dandeni tak habis pikir mengapa Pengadilan Negeri Surabaya memenangkan gugatan Diar dengan alasan ne bis in idem. Hakim menyatakan penyelewengan dana hibah itu tak dapat dituntut lagi lantaran pelakunya telah diputus bersalah.
Diar memang sudah dihukum satu tahun dua bulan penjara karena terbukti menyelewengkan dana hibah Kadin Jawa Timur pada 2011-2014. Namun bentuk penyelewengannya berbeda. Dalam perkara terdahulu yang merugikan negara Rp 26 miliar, Diar dan Wakil Ketua Umum Kadin Jawa Timur lainnya, Nelson Sembiring, terbukti menyelewengkan dana hibah melalui kegiatan akselerasi antarpulau dan usaha mikro kecil-menengah. Sedangkan kali ini Kejaksaan mengusut dugaan penyalahgunaan dana hibah untuk pembelian saham Bank Jatim dalam penjualan perdana pada 2012.
Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur Maruli Hutagalung hadir dalam rapat gelar perkara Rabu pekan lalu. Setelah mendengar paparan Dandeni dan penyidik, Maruli meyakini timnya telah mengantongi lebih dari dua alat bukti korupsi penggunaan dana hibah sebesar Rp 5,3 miliar. Dengan dasar perbedaan obyek perkara, Maruli memerintahkan Dandeni menerbitkan kembali surat perintah penyidikan. "Putusan praperadilan tidak mempengaruhi penyidikan, bukti sudah jelas," ujar Maruli.
Tim Dandeni bergerak cepat dengan memanggil ulang beberapa saksi fakta dan ahli, serta mengumpulkan kuitansi transaksi untuk dijadikan bukti. Hasil kerja maraton selama sepekan kembali meyakinkan Kejaksaan untuk menetapkan La Nyalla sebagai tersangka. Jaksa menjerat La Nyalla dengan Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi. Ancaman hukumannya minimal satu tahun dan maksimal 20 tahun penjara.
La Nyalla tak tinggal diam. Tim kuasa hukumnya mendaftarkan gugatan praperadilan atas penetapan tersangka itu ke Pengadilan Negeri Surabaya, Jumat pekan lalu. "Kami punya hak untuk mempraperadilankan putusan yang salah," ucap La Nyalla ketika ditemui Tempo di Hotel Sultan, Jakarta, Rabu malam pekan lalu.
KECURIGAAN penyidik Kejaksaan atas keterlibatan La Nyalla Mattalitti menguat sejak mereka mengusut kasus yang menjerat Diar Kusuma Putra dan Nelson Sembiring. Dua pengurus teras Kadin Jawa Timur itu diduga menyalahgunakan dana hibah Rp 48 miliar pada 2011-2014. Menurut penyidik Kejaksaan, sebagai Ketua Umum Kadin Jawa Timur, La Nyalla seharusnya bertanggung jawab atas penggunaan dana hibah tersebut.
Keterangan Diar dan Nelson, baik dalam penyidikan maupun persidangan, menyatakan hal sebaliknya. Menurut mereka, La Nyalla tidak mengetahui penggunaan dana hibah tersebut. Alasannya, La Nyalla telah melimpahkan kewenangan kepada mereka berdua selama 2011-2014. Walhasil, pada Desember 2015, Pengadilan Negeri Surabaya hanya memvonis bersalah Diar dan Nelson. Diar dihukum satu tahun dua bulan kurungan dengan kewajiban mengembalikan duit Rp 9,6 miliar kepada negara. Sedangkan Nelson dihukum lima tahun delapan bulan penjara dan harus mengembalikan kerugian negara Rp 17 miliar.
Meski begitu, penyidik Kejaksaan tak berhenti menelisik. Penyidik akhirnya menemukan sejumlah bukti dugaan keterlibatan La Nyalla. Misalnya, jaksa menemukan tanda terima dana hibah yang ditandatangani La Nyalla pada Juli 2012.
Kejaksaan membuka penyelidikan baru terhadap penggunaan dana hibah pada 30 Desember 2015. Dasarnya antara lain Pasal 19 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011. Pasal itu menjelaskan yang harus bertanggung jawab terhadap penggunaan dana hibah adalah yang mengajukan proposal atau penerimanya.
Pada awal 2016, penyelidik mulai memanggil saksi, termasuk La Nyalla. Kejaksaan menaikkan status pemeriksaan ke penyidikan pada 27 Januari 2016. Kejaksaan berfokus pada penelisikan dugaan tindak pidana korupsi penggunaan dana hibah untuk pembelian saham perdana Bank Jatim tahun 2012. Setengah bulan kemudian, Kejaksaan menerbitkan surat perintah penyidikan atas dugaan tindak pidana pencucian uang terhadap kasus yang sama.
Kedua surat perintah penyidikan itu belum mencantumkan nama tersangka. Namun jaksa sudah menyiapkan daftar nama saksi yang akan diperiksa. Mereka antara lain pemimpin PT Mandiri Sekuritas Surabaya, Linawati; pemimpin Cabang Utama Bank Jatim pada 2015, Tri Udji Arti; Bendahara Kadin Jawa Timur Edy Kusdaryanto; dan Kepala Biro Administrasi Perekonomian Pemerintah Provinsi Jawa Timur Moch Ardi.
Kuasa hukum Diar, Amir Burhanudin, mempersoalkan dibukanya lagi penyidikan kasus dana hibah ini. Menurut dia, penggunaan dana untuk pembelian saham sudah diperiksa dalam perkara sebelumnya. "Kenapa tidak sekalian saja dibuktikan pada pemeriksaan sebelumnya?" kata Amir.
Saksi ahli dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Jawa Timur, Bambang Nurcahyo, menguatkan dugaan awal Kejaksaan. Auditor BPKP menyebutkan ada jejak pemindahan buku atas nama La Nyalla Mattalitti dari rekening hibah Kadin. Urut-urutannya: uang hibah dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur sebesar Rp 10 miliar masuk ke rekening hibah Kadin pada 1 Juli 2012. Lima hari kemudian, pada 6 Juli, tercatat uang keluar sebesar Rp 5,3 miliar. Setelah memeriksa semua catatan transaksi rekening selama 2012, tim BPKP tak menemukan dana masuk ke rekening Kadin senilai dana keluar pada 6 Juli 2012. "Tujuan pemindahan buku tersebut untuk pembelian saham perdana atas nama La Nyalla," ujar Bambang, awal Maret lalu.
Ketika diperiksa penyelidik, La Nyalla Mattalitti mengakui telah meminjam dana Kadin untuk pembelian saham perdana Bank Jatim. Namun Ketua Majelis Pimpinan Wilayah Pemuda Pancasila Jawa Timur itu mengatakan duit pinjaman sudah dikembalikan kepada Diar Kusuma Putra. La Nyalla, menurut Dandeni Herdiana, berdalih tidak tahu bahwa duit tersebut berasal dari dana hibah. "Saya pikir dana itu dari uang pribadi Diar," kata Dandeni menirukan keterangan La Nyalla.
Dalam pembukuan keuangan Kadin, Kejaksaan memang menemukan catatan bahwa La Nyalla pernah meminjam dana kepada Diar Kusuma Putra dan Nelson Sembiring sebesar Rp 5,3 miliar pada 2012. Lagi-lagi Diar dan Nelson membela bosnya. Kepada penyidik, mereka menerangkan bahwa La Nyalla sudah mengembalikan pinjaman Rp 5,3 miliar itu disertai kuitansi yang ditandatangani keduanya.
Menurut Dandeni, kalau La Nyalla meminjam uang dari Kadin, seharusnya dia membayar kepada Bendahara Kadin, bukan kepada Diar dan Nelson. Maka bukti pengembaliannya akan ditandatangani Bendahara Kadin, bukan oleh Diar atau Nelson. Yang mencurigakan, berdasarkan penelusuran penyidik Kejaksaan, bukti pengembalian baru dibuat Diar dan Nelson ketika perkara dana hibah ini bergulir di persidangan.
Dari pembelian saham Bank Jatim itu, menurut pelacakan penyidik, La Nyalla telah meraup keuntungan Rp 1,1 miliar. Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi Jawa Timur Romy Ariezyanto mengatakan seharusnya La Nyalla menyetorkan keuntungan itu ke kas negara. "Itu seharusnya jadi penerimaan negara bukan pajak," ujar Romy.
Setelah menjadi tersangka, La Nyalla malah menyalahkan Diar. Menurut dia, Diar yag menggunakan namanya untuk pembelian saham perdana Bank Jatim. Ketika bank pelat merah itu menawarkan saham perdananya kepada publik (initial public offering/IP0), La Nyalla mengaku sedang berada di luar negeri. Padahal penawaran saham perdana bank daerah itu sudah memasuki tenggat. La Nyalla mengaku baru mendapat laporan dari Diar setelah dia pulang ke Surabaya. Saat itu pula La Nyalla membuat surat pengakuan utang. "Kalau saya nakal, ngapain saya bikin surat pengakuan utang?" kata La Nyalla.
Menurut La Nyalla, keuntungan dari pembelian saham Bank Jatim juga dinikmati pengurus Kadin Jawa Timur lainnya. "Bukan saya yang menikmati," ujar La Nyalla, yang juga Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia.
La Nyalla kini mengaitkan kasus hukumnya dengan perseteruan antara PSSI dan pemerintah. Dia menyebut penetapan status tersangka sebagai akal-akalan Kejaksaan serta Kementerian Pemuda dan Olahraga untuk mendepaknya dari kepengurusan PSSI. Karena itu, La Nyalla mengklaim telah menjadi korban kriminalisasi. "Kaitan perkara ini dengan PSSI, bisa kami buktikan nanti," ucap La Nyalla.
La Nyalla mengaku tahu sudah dijadikan target operasi sebelum berangkat menghadiri kongres Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) di Zurich, Swiss, pada Februari lalu. Informasi itu, kata dia, didapatkan dari keluarganya yang bekerja di Kejaksaan Agung. "Di Kejaksaan Agung itu banyak keluarga saya. Di sana itu pecah sendiri," ujar La Nyalla.
Jaksa Agung Muhammad Prasetyo menepis tudingan La Nyalla. Menurut Prasetyo, pengusutan kasus penggelapan dana hibah Kadin Jawa Timur bebas dari campur tangan pemerintah pusat. "Tidak ada intervensi politik. PSSI kan urusannya sekarang. Kadin sudah dari dulu," kata Prasetyo kepada Istman M.P. dari Tempo.
Senada dengan Prasetyo, Kementerian Pemuda dan Olahraga memastikan tak punya sangkut paut dengan kasus hukum yang menjerat La Nyalla. "Kami sama sekali tidak ada kaitan," ujar juru bicara Kementerian Pemuda dan Olahraga, Gatot Sulistiantoro Dewa Broto. "Kalau menuding ada konspirasi, silakan dibuktikan."
Linda Trianita, Siti Jihan Syahfauziah (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo