Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Pemberian grasi kepada mantan Gubernur Riau Annas Maamun, 79 tahun, menjadi polemik. Sejumlah pegiat antikorupsi menilai pemberian grasi oleh Presiden Jokowi kepada terpidana korupsi itu tak bisa dibenarkan dengan alasan apapun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Kejahatan korupsi telah digolongkan sebagai kejahatan luar biasa, karena itu pengurangan hukuman dalam bentuk dan alasan apa pun tidak dapat dibenarkan," kata peniliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, 26 November 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Jokowi memangkas hukuman koruptor alih fungsi lahan hutan itu dari 7 tahun menjadi 6 tahun. Jokowi berdalih memberikan remisi itu atas dasar kemanusiaan. "Sudah uzur umurnya dan sakit-sakitan terus. Sehingga dari kacamata kemanusiaan, itu diberikan," kata dia di Istana Bogor, 27 November 2019.
Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh presiden. Seseorang yang mendapatkan grasi dari presiden ialah orang yang bersalah namun memohon ampun kepada kepala negara. Tindak pidana atau kesahalahan orang itu tidak hilang tetapi pelaksanaan pidana seperti hukuman penjaranya saja yang diampuni. Grasi dimohonkan seseorang atau terpidana kepada presiden.
Pemberian grasi kepada Annas menuai polemik. Sejumlah kalangan mempertanyakan komitmen pemberantasan korupsi Jokowi. "Kesimpulan bahwa Presiden Jokowi tak punya komitmen antikorupsi bukan tanpa dasar," kata Kurnia.
Polemik mengenai pemberian potongan masa hukuman juga muncul dalam kasus Robert Tantular. Robert mendapatkan bebas bersyaratnya pada Juli 2018. Robert mulai dipenjara pada 2008. Syarat bebas bersyarat adalah terpidana telah menjalani hukuman selama dua per tiga masa hukuman. Robert mendapatkan akumulasi hukuman selama 21 tahun penjara dalam kasus penipuan dan pencucian uang.
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan saat itu menyatakan bahwa Robert bisa bebas bersyarat karena masa penjaranya dikorting selama 74 bulan dan 110 hari. Harusnya Robert menjalani masa hukuman selama 21 tahun, namun nyatanya ia hanya menjalani 10 tahun penjara atau kurang dari setengah masa hukuman.
Bedanya, pemotongan masa hukuman Robert dilakukan lewat mekanisme remisi, bukan grasi. Remisi adalah pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana yang dianggap berkelakuan baik dan sudah menjalani masa penjara lebih dari 6 bulan.
Robert mendapatkan banyak jenis remisi selama di penjara, di antaranya remisi umum hari kemerdekaan Republik Indonesia, remisi khusus hari raya keagamaan, dan remisi tambahan berupa donor darah. Ditjen Pemasyarakatan mengklaim pemberian remisi sudah sesuai dengan aturan perundang-undangan.
Banyaknya remisi yang diterima Robert ini membuat Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif terheran-heran. Syarif menilai Kementerian Hukum dan HAM tidak ketat dalam pemberian remisi. “Kami minta pada Ditjen Pemasyarakatan dan Kemenkumham.”
Syarif mengaku permintaannya kepada Ditjen PAS dan Kemenkum HAM bukan untuk membalas dendam. Tapi remisi terhadap pelaku tindak pidana tertentu seperti Annas Makmun dan Robert Tantular, harus diberikan dengan ketat. “Untuk narapidana kekerasan terhadap anak dan perempuan, korupsi, terorisme, atau narkoba itu harus ketat sekali pemberiannya," ujar dia, pada Desember 2018 lalu.
Tempo mencatat, kasus korupsi bukan satu-satunya perkara yang membuat Annas Makmun menjadi sorotan. Annas terlibat kasus pelecehan seksual hingga memaki jurnalis.