BEKAS anggota DPR yang dipidana 4 tahun penjara karena korupsi, Ir. Willy Arnold Najoan, mendapat anugerah: diampuni Presiden. Berdasarkan keputusan grasi itu, Willy, yang sudah menjalani hukuman selama 20 bulan di LP Manado, akhir bulan lalu dilepaskan dari tahanan. Selain tidak perlu meneruskan hukuman penjaranya, Willy juga dibebaskan dari kewajiban membayar denda Rp 20 juta. Keputusan Presiden itu hanya akan dibatalkan bila dalam waktu tiga tahun Willy melakukan tindak pidana. Kelihatan lebih kurus daripada dua tahun lalu - ketika perkaranya dihebohkan - WilIy, 42, akhir pekan lalu sudah berada di Jakarta, menumpang di rumah salah seorang famili Pengacara Albert Hasibuan. "Saya merasa kaget mendengar keputusan itu. Hari itu, Rabu 24 Juli, saya mendapatkan kebebasan kembali," ujar Willy yang masih kelihatan rapi dengan setelan biru-birunya. Sebelum menerima putusan grasi, September 1984 ia sudah mendapat keputusan rehabilitasi sebagai pegawai negeri dari Menteri Pertanian. Anggota DPR dari Fraksi Karya Pembangunan itu, Juni 1983, diadili di hadapan sebagian rakyat pemilihnya di Pengadilan Negeri Manado. Ia merupakan salah seorang tersangka hasil operasi antikorupsi yang dilancarkan kejaksaan ketika itu. Jaksa Amir Effendi Hutapea, yang membawanya ke sidang, menuduh Willy menyelewengkan uang negara Rp 1,5 milyar ketika menjadi kepala Dinas Perkebunan Sulawesi Utara dan pimpinan Proyek Peremajaan, Rehabilitasi, dan Perluasan Tanaman Ekspor di daerah itu, antara 1979 dan 1982. Jaksa Amir beranggapan bahwa Willy bertanggung jawab atas kegagalan proyek peremajaan 12.500 ha perkebunan kelapa di daerah itu. Sebab, menurut Jaksa, sebagai pimpinan proyek, ia tidak memelihara kebun itu sesuai dengan ketentuan - misalnya pemberian pupuk. Ia juga dituduh tidak bisa mempertanggungjawabkan pengeluaran-pengeluaran proyek. Willy, yang juga sarjana pertanian, dianggap pula bersalah menyelewengkan subsidi pemerintah untuk petani-petani kelapa dan lain-lain yang mencapai Rp 1,5 milyar. Sebab itu, ia dituntut hukuman 8 tahun penjara ditambah denda Rp 20 juta. Majelis hakim yang mengadili perkara itu menerima sebagian tuntutan Jaksa. Katanya, hanya Rp 700 juta kerugian negara yang diakibatkan kesalahan Willy secara langsung. Sisanya, menurut hakim, merupakan kerugian tidak langsung. Sebab itu, hakim hanya memvonis 5 tahun penjara ditambah denda Rp 20 juta (TEMPO, Nasional, 3 Desember 1983). Keputusan Pengadilan Negeri Manado itu belakangan diperbaiki pengadilan tinggi di daerah itu. Hukuman Willy dikurangi menjadi 4 tahun ditambah denda Rp 20 juta. Keputusan itu, 27 April 1984, dikuatkan Mahkamah Agung. Sejak saat itu, keputusan mempunyai kekuatan hukum yang pasti. Tiga hari setelah vonis Pengadilan Negeri Manado, Willy, ayah empat anak, langsung memohon mundur dari DPR. Berdasarkan keputusan Presiden, 19 Desember 1983, permohonannya dikabulkan. Sekarang, menurut pengacaranya, Albert Hasibuan, Willy, yang dikenal memilikl banyak kebun cengkih, kelapa, dan perusahaan kopra di Sulawesi Utara, tidak mungkin lagi balik ke DPR. "Sudah tertutup kemungkinan itu. Sebab, salah satu syarat anggota DPR adalah belum pernah dihukum," ujar Albert, yang juga anggota Komisi III DPR RI. Banyak yang menganggap aneh keputusan menteri pertanian, 3 September 1984, yang ditandatangani sekjen Departemen Pertanian: rehabilitasi status Willy sebagai pegawai instansi itu dengan pangkat pembina, golongan IV/a. Padahal, waktu itu, Willy masih berada di LP Manado sebagai terhukum. Sekjen Departemen Pertanian, Syarifudin Baharsyah, membenarkan bahwa instansinya menarik Willy dari Sulawesi Utara ke kantor pusat. Keputusan itu diakuinya pula sengaja mendahului keputusan grasi, "Agar proses grasinya bisa lebih mudah," ujar Syarifudin. Tapi ia menolak untuk menjawab mengapa seorang terpidana korupsi masih bisa dipertahankan sebagai pegawai negeri. "Memang banyak yang mempertanyakan hal itu, tapi saya tidak ingin menjawabnya," ujar Syarifudin. Tapi, memang, Willy bukan satu-satunya terpidana korupsi yang mendapat grasi. Bekas direktur kredit Bank Bumi Daya, Raden Sonson Natalegawa, almarhum, Juni 1984 mendapat pengampunan Presiden atas sisa hukumannya. Saat itu Natalegawa, yang dinyatakan terbukti korupsi dalam kasus Pluit itu, sudah 23 bulan menjalani hukuman dari vonis 2 tahun 6 bulan yang harus dijalaninya. Sayangnya, Natalegawa tidak lama menikmati kebebasannya. Dua bulan lalu ia meninggal dunia. Lebih beruntung adalah direktur akunting PT Tobusco, Yoyiro Kitajama. Warga negara Jepang itu dihukum 2 tahun 6 bulan penjara karena memanipulasikan pajak perusahaannya Rp 811 juta. Ia tidak usah masuk penjara karena permohonan grasinya, tahun lalu, dikabulkan: hukumannya diubah menjadi hukuman bersyarat dengan masa percobaan 2 tahun. Berdasarkan keputusan itu, Kitajama pulang ke negerinya. Karni Ilyas Laporan Yulia S. Majid & Musthafa Helmy (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini