LEDAKAN bom mobil rupa-rupanya sudah merupakan acara tetap dalam perang Libanon. Ketika patroli Israel melintasi Desa Arnoun di daerah penyangga, Rabu pekan lalu, sebuah Mercedes-Benz tiba-tiba melaju dan meledak. Sopirnya, Ali Ghazi Taleh, 22, tewas. Begitu pula empat penduduk sipil Libanon dan dua tentara Israel. Dari Beirut, Partai Nasionalis Sosial Syria mengaku bertanggung jawab untuk ledakan yang menambah rawan di Selatan, daerah yang berbatasan langsung dengan Israel itu. Untuk mengamankan kawasan ini, Israel )auh-lauh hari sudah melatih dan mempersenjatai Tentara Libanon Selatan (SLA) lengkap dengan komandannya Brigjen Antoine Labad. Tapi masyarakat Syiah Libanon menentang kebijaksanaan Israel itu, demikian pula pemerintah Syria. Mereka bertekad membersihkan bumi Libanon dari tentara atau sekutu Israel yang mana pun. Dalam hal ini golongan Syiah mendapat dukungan penuh dari Syria, satu-satunya negara Arab yang berperan sangat menentukan di sana. Dan Partai Nasionalis Sosial Syria, yang belakangan sangat aktif mendalangi berbagai ledakan bom mobil di negeri itu, tidak menyembunyikan cita-cita besar mereka, yakni sebuah Syria Raya, mencakup Syria, Palestina (sebelum terbentuknya Israel), Yordania, Irak, Kuwait, dan Siprus. Tidak jelas apakah presiden Syria Hafez Assad mempunyai cita-cita yang sama atau tidak, yang pasti bahkan selbagai orang kuat ia tidak cukup "berotot" untuk mewujudkannya. Pemimpin Syria ini berambisi menciptakan perdamaian di Libanon, tapi tampaknya ia menghadapi hambatan yang tiada habis-habisnya. Walaupun sisa-sisa gerilyawan PLO (Organisasi Pembebasan Palestina) tergusur dari Beirut, Juli lampau, perang antar kelompok masih berkecamuk. Mungkin karena itu pula Hafez Assad memperkuat laskar sekutunya, Amal Syiah, dengan 46 tank tempur T-54 buatan Soviet. Tanpa pasukan tank, bisa dipastikan Amal tidak akan sanggup menggulung SLA yang sudah lama diperkuat Israel dengan 40 tank Sherman. Tak mau kalah, Druze juga mempunyai 30 tank T-55 buatan Soviet. Perimbangan kekuatan seperti itu menunjukkanbahwa perang saudara masih akan berlanjut di Libanon, apalagi kubu-kubu Islam dan Kristen akhir-akhir ini terancam perpecahan di kalangan mereka sendiri. Konflik intern tampaknya semakin ruwet dan rujuk nasional kian sulit dijangkau. Di samping itu, masalah Palestina yang tidak kunjung selesai. Dengan menumpas 200 sisa-sisa gerilyawan PLO di Beirut, bukan berarti riwayat kepemimpinan Arafat sudah tamat. Organisasi yang tercerai-berai itu belakangan malah tampak rukun dan menjagokan Arafat. Pengepungan terhadap kamp-kamp pengungsi di Sabra, Shatila, dan Bourj-alBrajneh, yang kejam dan berlumuran darah, justru membangkitkan kembali semangat persatuan di kalangan orang-orang Palestina. Unsur PLO di Damaskus, yang semula pro-Syria, tak urung ikut melancarkan protes kepada Hafez Assad. Akibatnya, presiden Syria itu - sebagai tokoh paling menentukan dalam kemelut Libanon kini - menjadi agak terpojok padahal masih banyak urusan lain yang mesti ditanganinya, termasuk tujuh warga AS yang hilang di Beirut sejak setahun berselang. Kuat dugaan bahwa mereka ada di bawah pengawasan keluarga Moussawi di Baalbek, yang sangat dipengaruhi semangat revolusi Islam Iran. Untuk pembebasan orang-orang Amerika yang diculik itu, kabarnya telah dilakukan berbagai pendekatan diplomatik. Pemimpin Syiah di Beirut, Syeikh Fadlallah, juga ikut menyumbangkan jasanya, tapi tanpa hasil. Mungkin sekadar untuk menenteramkan hati Presiden Ronald Reagan, Radio Beirut dua pekan lalu memberitakan bahwa tiga pembajak pesawat TWA 847 akan segera diajukan ke pengadilan. Ada disebut-sebut nama Ahmed Garbiyeh dan Ali Younes sebagai dua teroris yang membajak pesawat Amerika itu dan membunuh seorang penumpangnya, Robert Stethem. Dan masih ada seorang lagi bernama Ali Atwa yang tertinggal di Athena tapi kemudian menggabung dengan teman-temannya di Aljir. Apakah ketiga pembajak akan diadili masih tanda tanya. Soalnya, selama perang saudara 10 tahun di Libanon, hampir semua lembaga negara tidak lagi berfungsi. Jangankan pengadilan, Presiden Amin Gemayel sendiri diramalkan berada dalam posisi goyah. Terutama sejak lawan utamanya, bekas presiden Sulaiman Franjieh dari Kristen Maronit, mengadakan pembicaraan serius dengan Elie Hobeika, pemimpin laskar Kristen. Andai kata Hobeika yang pada mulanya sekutu Gemayel tiba-tiba bekerja sama dengan Franjieh, maka bukan tidak mungkin Gemayel - yang dianggap presiden boneka itu - akan tergusur dan menghilang dari peredaran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini