DUA anak, Soraya dan Anita, masing-masing 3 dan 2 tahun, bergabung dengan ayahnya sebagai penggugat. Kedua bocah tersebut, di bawah perwalian ayahnya, memberi kuasa kepada Lembaga Advokasi Anak Indonesia (LAAI) Medan untuk maju ke pengadilan. Ayah mereka, Syafruddin Rusli, pekan lalu mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan, dalam upaya mempertahankan perkawinannya dengan Zulhaini Siregar. ''Rasanya ingin menangis mendengar anak-anak memanggil-manggil ibunya pulang,'' ujar Syafruddin. Kepentingan ini agaknya yang dijadikan dasar pemberian kuasa pada LAAI. Pangkal persoalan itu, gugatan cerai yang diajukan Zulhaini Siregar ke Pengadilan Agama Medan, 28 Februari lalu. Syafruddin Rusli alias Icap tak setuju pada perceraian itu karena anak mereka masih kecil-kecil. ''Saya sudah minta maaf dan mengajak berdamai, tapi pendirian Zulhaini tak berubah,'' ujar Icap. Namun, yang membuat Icap maju ke PTUN Medan adalah turunnya dua surat rekomendasi yang dijadikan penguat gugatan cerai itu. Satu, dari Badan Penasihat Perkawinan Perselisihan dan Perceraian (BP-4) Kecamatan Medan Kota, dan satu lagi izin cerai dari atasan sang istri, Kepala Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya (LLAJR) Tingkat I Sumatera Utara. Icap merasa dua rekomendasi itu tak berdasar.''BP-4 tak pernah membimbing menasihati kami. Jadi, dari mana mereka bisa mengambil kesimpulan kami sudah tak bisa rukun lagi?'' Icap menyatakan pula, tak pernah berdialog dengan atasan Zulhaini. Karena itu, Icap bersama kedua anaknya minta agar PTUN Medan membatalkan kedua surat rekomendasi itu. Adanya kedua rekomendasi itu, menurut pihak Icap, justru mempertajam konflik perkawinannya. ''Zulhaini semakin tidak patuh sebagai istri, bahkan menjadi berani melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan tugas seorang istri sebagaimana yang diwajibkan agama, undang-undang, dan adat,'' kata Maiyasyak Johan, pengacara Icap. Gugatan itu tak membuat Zulhaini alias Zul bergeming. Ia bertahan tetap ingin bercerai karena merasa tidak sanggup lagi menjadi istri Icap, yang disebutnya ringan tangan. Ia terutama merasa tidak bisa mengikuti perintah suaminya agar ia berhenti bekerja. Perselisihan ini yang menjadi penyulut utama olengnya biduk rumah tangga mereka yang telah mereka bina selama enam tahun. Zulhaini, yang kini tinggal bersama orang tuanya, menyangkal semua pernyataan Icap. Ia menyatakan, atasannya pernah mengajak Icap bermusyawarah. Begitu juga, pihak BP-4 telah berusaha mendamaikan mereka. Kepala BP-4 Medan Kota, Paraduan Siregar, membenarkan pernyataan Zul. ''Mereka bertengkar dan kami sudah menasihatinya. Kenapa ia bilang tak pernah diberi nasihat?'' ujar Siregar. Namun, Kepala Dinas LLAJR Sumatera Utara, H. Hasyim NT, ketika dihubungi TEMPO, tidak bersedia memberikan konfirmasi. Zulhaini menyatakan pula, sangat menyesalkan tindakan Icap dan pengacaranya melibatkan anak-anak. ''Kalau Icap bisa menyatakan diri sebagai wali anak-anak, saya juga punya hak atas perwalian anak-anak,'' katanya. Karena itu, menurut sarjana ekonomi ini, pemberian kuasa pada LAAI itu tidak sah. Maiyasyak Johan menangkis pernyataan ini dengan menyatakan, dalam masyarakat patrilineal, katanya, yang menjadi kepala rumah tangga adalah sang ayah. ''Si ibu baru bisa menjadi kepala rumah tangga jika suaminya telah tiada,'' ujarnya. Inilah untuk pertama kalinya anak-anak di bawah lima tahun diwakili kepentingannya oleh LAAI di pengadilan. Tapi benarkah dalam hal ini hak-hak mereka yang sedang diperjuangkan? Aries Margono dan Munawar Chalil (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini