ADA 49 pengendara mobil dijatuhi vonis di Pengadilan Negeri Bandung, Sabtu pekan lalu. Semuanya tercatat melanggar ketentuan lalu lintas. Tidak aneh memang. Tapi ada dua di antaranya yang menarik perhatian masyarakat. Mereka dihukum karena mencoba menyuap polisi yang ternyata menolak sogokan. Hukuman keduanya memang tidak berat. Hanya hukuman percobaan. ''Tapi yang penting mereka sudah diberi pelajaran, supaya jangan membiasakan prit jigo lagi,'' kata Hakim H. Hadinata. Kejadian yang tidak biasa itu adalah bagian dari gebrakan Kepolisian Wilayah Kota Besar (Polwiltabes) Bandung. Dan ini mengejutkan masyarakat. Soalnya, sudah menjadi tradisi, pengendara mobil yang tertangkap merasa aman-aman saja bila menyuap petugas sebagai ganti tilang. Nah, Februari dan Maret silam, mendadak polisi bersikap sebaliknya. Menolak sogokan, dan malah langsung menciduk pengendara yang mencoba melunturkan iman mereka dengan uang suap. Keadaan berbalik itu yang menimpa Wawan, 25 tahun, 6 Maret lalu. Sopir angkutan kota jurusan KebonkelapaSoreang itu tertangkap ketika mengangkut penumpang di perempatan Jalan Otista, yang jelas-jelas ada rambu larangan berhenti. Wawan memberikan SIM dan STNK, seraya menyelipkan uang Rp 1.000, kepada polisi yang menangkap. Nahas, tilang tetap dikenakan dan Wawan malah digiring ke markas polisi. Hal sama terjadi pada Sadi, 25 tahun. Pada 8 Maret ia mengawali kerja rutinnya selaku pengantar kue. Ketika terhadang lampu merah di Jalan Veteran, Sadi main tancap saja. Di ujung perempatan ia ditahan. Sadi berhenti dan langsung menyodorkan uang Rp 1.000. ''Damai saja, Pak, nggak usah ditilang,'' katanya. Sadi pun lalu diboyong. Mudah diduga, ''penguatan iman'' polisi itu ada hubungannya dengan usaha membangun citra baik polisi. Ini diakui Kapolwiltabes Bandung, Kolonel Waliran, yang merasa cap negatif polisi di kalangan masyarakat sudah keterlaluan. Soalnya, bagi masyarakat hanya ''polisi tidur'' dan ''polisi patung'' yang tak bisa disuap. Nah, polisi yang nakal dan suka pungli di jalan sudah ditindak, bahkan ada yang akan diadili. ''Sekarang giliran masyarakat yang ditertibkan,'' kata Waliran. Namun, sesampainya perkara ke pengadilan, godamnya ternyata tak menunjang. Hakim Hadinata hanya menghukum Wawan 15 hari penjara dalam masa percobaan 2 bulan. Sementara Hakim Zaenal Hakim memvonis Sadi 15 hari penjara, dengan masa percobaan 1 bulan. Kedua hakim dan jaksa penuntut mengatakan hukuman itu cukup setimpal, baik untuk memberi pelajaran kepada kedua terdakwa maupun peringatan buat masyarakat. Jika terdakwa berikutnya juga akan divonis seremeh itu, bisakah gebrakan itu memositifkan citra polisi? Menurut Kolonel Waliran, vonis itu sepenuhnya wewenang pengadilan. ''Divonis saja sudah bagus. Tadinya, maksud kami kan sekadar mendidik masyarakat agar sadar bahwa kebiasaan menyuap itu termasuk tindak pidana,'' kata Waliran. Artinya, kini pengadilan dilirik untuk mengatasi kebiasaan menyuap yang menghancurkan citra polisi. Tapi upaya itu pun tampaknya tidak akan cepat membawa hasil. Agak berlebihan mengharap para pengendara akan kapok. Kedua terdakwa tersebut, misalnya, ketika mendengar vonis, malah mengaku merasa lega. ''Alhamdullillah. Semula saya kira bakal langsung dipenjara, bukan percobaan,'' tutur Wawan dan Sadi, yang sama-sama mengaku sedang apes sampai bisa diadili. Dan yang lebih parah, celotehan para pengunjung sidang. ''Coba kalau nyuapnya sepuluh ribu, kan nggak diadili,'' ujar salah seorang di antaranya. Happy Sulistyadi dan Taufik Abriansyah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini