SEPANJANG jalan antara Jakarta-Cibinong-Bogor setiap malam ramai
oleh ribuan wanita. Ada yang berdiri di pinggir jalan,
berombongan jalan kaki, dan ada yang berdesakan dalam beberapa
kendaraan. Mereka adalah buruh wanita yang memutar puluhan
pabrik di kawasan itu.
Tak ada yang berubah pada Hukum Perburuhan -- khususnya larangan
mempekerjakan wanita pada malam hari.
Itulah sebabnya, dari keadaan seperti yang terlihat di jalan
raya itu, Direktur Jenderal Bina Hubungan Ketenagakerjaan dan
Pengawasan Norma Kerja, Oetoyo Oesman, mengumumkan: Selama
setahun terjadi 3.888 kasus pelanggaran terhadap ketentuan
perlindungan tenaga kerja wanita. Dalam konperensi persnya dua
pekan lalu, Oetoyo menyebutkan, sekitar 288 kasus di antaranya
merupakan pelanggaran ketentuan larangan mempekerjakan wanita di
pabrik antara pukul 22.00 sampai 05.00 pagi.
"Itu sudah diproses verbal dan 45 kasus sudah siap ke
pengadilan," ujar Oetoyo kepada TEMPO.
Pelanggaran dalam bentuk lain tidak kurang pula jumlahnya.
Menurut catatan Oetoyo, banyak perusahaan yang tidak menyediakan
kendaraan bagi buruh wanita yang pulang malam. Lebih dari 700
kasus lainnya, berupa pelanggaran terhadap hak cuti hamil,
melahirkan, atau haid. "Menurut pengamatan kami, pelanggaran
yang paling banyak terjadi di daerah Jawa Barat," ujar Oetoyo
Oesman.
Namun, di samping segala kesalahan yang ditumpahkan ke pihak
pengusaha, diakui Oetoyo, banyak ketentuan perburuhan yang
memang tidak bisa dilaksanakan. Misalnya, soal mempekerjakan
anak-anak di bawah umur. Tahun lalu tercatat 9.000 anak-anak
berumur sekitar 12-13 tahun terpaksa memburuh di berbagai daerah
di Indonesia. Kebanyakan dari mereka anak perempuan. Kenyataan
itu rupanya tak terhindarkan. Keadaan keluarga si buruh sendiri,
menurut Oetoyo, memaksa undang-undang berlaku lain. "Kini sedang
diusahakan suatu rancangan undang-undang untuk mengatasi situasi
rumit itu," ujar Oetoyo lagi.
Itulah sebabnya Menteri Tenaga Kerja Sudomo tampak bersikap
luwes. Bulan lalu Sudomo mengisyaratkan sebuah kelonggaran bagi
pengusaha untuk tidak mengikuti undang-undang perburuhan sebagai
ketentuan mati. Pembatasan jam kerja atau usia terendah buruh,
katanya, boleh saja dilanggar: asal menguntungkan dan tidak
membahayakan kesehatan serta masa depan karyawan (TEMPO, 9
Juli).
Menteri Sudomo menyatakan, menghadapi dua pilihan yang sama
berat, antara menegakkan undang-undang perburuhan dan mengikuti
perkembangan masyarakat. "Kita memangperlu menegakkan
undang-undang, tapi tidak perlu ketat," kata Sudomo menyebutkan
jalan tengah yang dipilihnya. Alasannya, perkembangan masyarakat
menyebabkan undang-undang jadi tertinggal. "Kalau kita
membolehkan sesuatu yang dilarang undang-undang, bukan berarti
kita melanggar, tapi untuk menyesuaikan," dalih Sudomo.
Berbeda dengan pernyataan Oetoyo Oesman, laksamana yang sejak
tahun ini memasuki bidang baru itu, tidak keberatan mengenai
wanita bekerja malam. "Boleh saja, asal dijemput dan diantar.
Soalnya, hanya perlu dikontrol, apa ketentuan itu dilaksanakan
atau tidak," tambah Sudomo lagi.
Untuk mencegah banyaknya keluhan atau protes buruh, Sudomo
mengajurkan, agar perusahaan menjelaskan dulu segala
kemungkinan yang akan dialami calon pegawainya. Misalnya,
mengenai hak dan kewajiban karyawan serta masa depannya.
Sebaliknya, buruh juga harus berusaha mendapatkan semua
keterangan itu. "Bila tidak sesuai, jangan bekerja di situ,"
ujar Sudomo.
Bagi buruh, ternyata, tidak gampang melaksanakan saran Sudomo.
Misalnya, 2.600 orang buruh wanita perusahaan elektronik,
Fairchild, di Cibubur yang tak jauh dari Jakarta. Sejak empat
bulan lalu, setiap bulan mereka mendapat giliran kerja malam,
antara pukul 22.00 sampai 06.00. Imbalan untuk perubahan itu,
menurut seorang buruh wanita di situ, mereka dapat biaya
pengobatan, jemputan, dan bonus yang dinaikkan menjadi Rp 2.600
sebulan selain yang Rp 300 sehari. "Meskipun begitu, sebagian
besar dari kami keberatan dipekerjakan pada malam hari," ujar
wanita berusia 26 tahun dan telah mengabdi di Fairchild sejak 7
tahun lalu.
Untuk memprotes rupanya tidak ada jalan bagi mereka. Pihak
perusahaan tidak mengizinkan ada serikat buruh di pabrik itu dan
hanya membuka sebuah kotak surat untuk menampung semua keluhan.
"Tapi semua keluhan kami tidak digubris," ujar wanita itu. Lebih
sulit lagi bagi para buruh itu, Departemen Tenaga Kerja
ternyata, bukan pula alamat yang tepat bagi mereka untuk
mengadu. "Sebab pabrik telah mendapat izin untuk mempekerjakan
buruh pada malam hari," tambah buruh itu. Minta berhenti
mungkin, satu-satunya jalan bagi para buruh itu. Tapi, "saya
bekerja di sini karena tidak punya pilihan lain," keluh buruh
wanita lain yang mengaku tamatan SLTA.
Tidak ada pilihan lain seperti itu, diakui pula oleh salah
seorang staf direksi di perusahaan itu. "Tiga bulan mereka
bekerja di sini, langsung diangkat sebagai karyawan dan standar
gaji serta bonus yang mereka terima lebih baik dari pabrik
lainnya di sepanjang Jalan Raya Bogor ini," ujar pejabat
perusahaan itu. Menurut staf direksi yang tak mau disebut
namanya itu, perusahaannya mendapat izin untuk mempekerjakan
karyawan wanita pada malam hari. "Izin yang sama juga didapat
oleh semua pabrik di sepanjang jalan ini," ujarnya.
Kelonggaran izin seperti itulah yang dikeluhkan Ketua FBSI Agus
Sudono. "Undang-undang itu dibuat untuk dilaksanakan," ujar
Sudono. Ia tetap berprinsip bahwa setiap pelanggaran terhadap
undang-undang perburuhan, termasuk mempekerjakan wanita pada
malam hari, harus ditindak. Tapi siapa yang harus menindak?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini