Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Hak-hak wanita di malam hari

Kasus pelanggaran hukum perburuhan, terutama yang menyangkut tenaga wanita. menteri tenaga kerja sudomo memberikan kelonggaran bagi pengusaha untuk tidak mengikuti uu perburuhan sebagai ketentuan mati. (hk)

6 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPANJANG jalan antara Jakarta-Cibinong-Bogor setiap malam ramai oleh ribuan wanita. Ada yang berdiri di pinggir jalan, berombongan jalan kaki, dan ada yang berdesakan dalam beberapa kendaraan. Mereka adalah buruh wanita yang memutar puluhan pabrik di kawasan itu. Tak ada yang berubah pada Hukum Perburuhan -- khususnya larangan mempekerjakan wanita pada malam hari. Itulah sebabnya, dari keadaan seperti yang terlihat di jalan raya itu, Direktur Jenderal Bina Hubungan Ketenagakerjaan dan Pengawasan Norma Kerja, Oetoyo Oesman, mengumumkan: Selama setahun terjadi 3.888 kasus pelanggaran terhadap ketentuan perlindungan tenaga kerja wanita. Dalam konperensi persnya dua pekan lalu, Oetoyo menyebutkan, sekitar 288 kasus di antaranya merupakan pelanggaran ketentuan larangan mempekerjakan wanita di pabrik antara pukul 22.00 sampai 05.00 pagi. "Itu sudah diproses verbal dan 45 kasus sudah siap ke pengadilan," ujar Oetoyo kepada TEMPO. Pelanggaran dalam bentuk lain tidak kurang pula jumlahnya. Menurut catatan Oetoyo, banyak perusahaan yang tidak menyediakan kendaraan bagi buruh wanita yang pulang malam. Lebih dari 700 kasus lainnya, berupa pelanggaran terhadap hak cuti hamil, melahirkan, atau haid. "Menurut pengamatan kami, pelanggaran yang paling banyak terjadi di daerah Jawa Barat," ujar Oetoyo Oesman. Namun, di samping segala kesalahan yang ditumpahkan ke pihak pengusaha, diakui Oetoyo, banyak ketentuan perburuhan yang memang tidak bisa dilaksanakan. Misalnya, soal mempekerjakan anak-anak di bawah umur. Tahun lalu tercatat 9.000 anak-anak berumur sekitar 12-13 tahun terpaksa memburuh di berbagai daerah di Indonesia. Kebanyakan dari mereka anak perempuan. Kenyataan itu rupanya tak terhindarkan. Keadaan keluarga si buruh sendiri, menurut Oetoyo, memaksa undang-undang berlaku lain. "Kini sedang diusahakan suatu rancangan undang-undang untuk mengatasi situasi rumit itu," ujar Oetoyo lagi. Itulah sebabnya Menteri Tenaga Kerja Sudomo tampak bersikap luwes. Bulan lalu Sudomo mengisyaratkan sebuah kelonggaran bagi pengusaha untuk tidak mengikuti undang-undang perburuhan sebagai ketentuan mati. Pembatasan jam kerja atau usia terendah buruh, katanya, boleh saja dilanggar: asal menguntungkan dan tidak membahayakan kesehatan serta masa depan karyawan (TEMPO, 9 Juli). Menteri Sudomo menyatakan, menghadapi dua pilihan yang sama berat, antara menegakkan undang-undang perburuhan dan mengikuti perkembangan masyarakat. "Kita memangperlu menegakkan undang-undang, tapi tidak perlu ketat," kata Sudomo menyebutkan jalan tengah yang dipilihnya. Alasannya, perkembangan masyarakat menyebabkan undang-undang jadi tertinggal. "Kalau kita membolehkan sesuatu yang dilarang undang-undang, bukan berarti kita melanggar, tapi untuk menyesuaikan," dalih Sudomo. Berbeda dengan pernyataan Oetoyo Oesman, laksamana yang sejak tahun ini memasuki bidang baru itu, tidak keberatan mengenai wanita bekerja malam. "Boleh saja, asal dijemput dan diantar. Soalnya, hanya perlu dikontrol, apa ketentuan itu dilaksanakan atau tidak," tambah Sudomo lagi. Untuk mencegah banyaknya keluhan atau protes buruh, Sudomo mengajurkan, agar perusahaan menjelaskan dulu segala kemungkinan yang akan dialami calon pegawainya. Misalnya, mengenai hak dan kewajiban karyawan serta masa depannya. Sebaliknya, buruh juga harus berusaha mendapatkan semua keterangan itu. "Bila tidak sesuai, jangan bekerja di situ," ujar Sudomo. Bagi buruh, ternyata, tidak gampang melaksanakan saran Sudomo. Misalnya, 2.600 orang buruh wanita perusahaan elektronik, Fairchild, di Cibubur yang tak jauh dari Jakarta. Sejak empat bulan lalu, setiap bulan mereka mendapat giliran kerja malam, antara pukul 22.00 sampai 06.00. Imbalan untuk perubahan itu, menurut seorang buruh wanita di situ, mereka dapat biaya pengobatan, jemputan, dan bonus yang dinaikkan menjadi Rp 2.600 sebulan selain yang Rp 300 sehari. "Meskipun begitu, sebagian besar dari kami keberatan dipekerjakan pada malam hari," ujar wanita berusia 26 tahun dan telah mengabdi di Fairchild sejak 7 tahun lalu. Untuk memprotes rupanya tidak ada jalan bagi mereka. Pihak perusahaan tidak mengizinkan ada serikat buruh di pabrik itu dan hanya membuka sebuah kotak surat untuk menampung semua keluhan. "Tapi semua keluhan kami tidak digubris," ujar wanita itu. Lebih sulit lagi bagi para buruh itu, Departemen Tenaga Kerja ternyata, bukan pula alamat yang tepat bagi mereka untuk mengadu. "Sebab pabrik telah mendapat izin untuk mempekerjakan buruh pada malam hari," tambah buruh itu. Minta berhenti mungkin, satu-satunya jalan bagi para buruh itu. Tapi, "saya bekerja di sini karena tidak punya pilihan lain," keluh buruh wanita lain yang mengaku tamatan SLTA. Tidak ada pilihan lain seperti itu, diakui pula oleh salah seorang staf direksi di perusahaan itu. "Tiga bulan mereka bekerja di sini, langsung diangkat sebagai karyawan dan standar gaji serta bonus yang mereka terima lebih baik dari pabrik lainnya di sepanjang Jalan Raya Bogor ini," ujar pejabat perusahaan itu. Menurut staf direksi yang tak mau disebut namanya itu, perusahaannya mendapat izin untuk mempekerjakan karyawan wanita pada malam hari. "Izin yang sama juga didapat oleh semua pabrik di sepanjang jalan ini," ujarnya. Kelonggaran izin seperti itulah yang dikeluhkan Ketua FBSI Agus Sudono. "Undang-undang itu dibuat untuk dilaksanakan," ujar Sudono. Ia tetap berprinsip bahwa setiap pelanggaran terhadap undang-undang perburuhan, termasuk mempekerjakan wanita pada malam hari, harus ditindak. Tapi siapa yang harus menindak?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus