SIDANG perkara bank gelap di Pengadilan Negeri Purwokerto berlangsung tersendat-sendat. Sebab saksi, Notaris Tjandrawathy T. yang hari itu hendak didengar keterangannya menolak menjawab pertanyaan jaksa dan hakim, dengan alasan mempunyai hak ingkar. Sebelumnya, notaris itu juga menolak menandatangani berita acara pemeriksaan, dan mengirim surat ke pengadilan, minta agar tidak dijadikan saksi. Itulah pertama kali terjadi: hak ingkar profesi digunakan di pengadilan. Sikap notaris itu, pada sidang pekan lalu, membuat kesal Jaksa Yushar Yahya, yang menuntut perkara Oey Boen Lian (OBL). "Saya menghormati hak ingkar Saudara, tapi sepanjang pertanyaan menyangkut kepentingan umum, saya minta Saudara menjawab," kata jaksa di persidangan. Beberapa pertanyaan Yushar kemudian memang dijawab Tjandrawathy. Tapi sebagian tetap ditolak. Kepala Kejaksaan Negeri Purwokerto, Idris Noor, menyesalkan sikap yang ditampilkan notaris wanita itu. Sebab Tjandrawathy, 37 tahun, merupakan saksi kunci dalam perkara OBL. Tersangka yang semula diduga terlibat dalam kematian seorang gadis Christiana Lina Dewi, diadili dengan tindakan membuka bank gelap. Dalam kasus yang tengah diadili itu antara lain, OBL dituduh menipu saksi Kusman dengan menyuruhnya menandatangani akta peminjaman uang Rp 3 juta. Padahal yang diterima Kusman sebenarnya hanya Rp 2 juta (TEMPO, 23 Juli). "Akta itu dibuat di notaris, seakan-akan perbuatan itu sesuai hukum. Praktek Semacam itu sudah bertahun-tahun dilakukan tersangka," ujar Idris. Tapi harapan kejaksaan untuk membongkar tuntas praktek OBL itu kandas terbentur sikap Tjandrawathy. Dengan cekatan notaris itu menunjuk pasal 170 KUHAP tentang hak beberapa profesi, seperti notaris, dokter, atau pendeta, yang dapat dibebaskan jadi saksi. Selain itu, dalam Peraturan Jabatan Notaris juga ditentukan, pemegang profesi dilarang membocorkan isi akta yang dibuatnya. Rahasia jabatan itu, menurut Tjandrawathy, menyangkut semua yang dikemukakan pihak-pihak kepada notaris. "Itu sebabnya saya tidak mau menyebut jumlah uang yang tercantum dalam akta," tambah ibu dari dua orang anak itu kepada TEMPO. Tentang apa yang dituduhkan kepada OBL, yaitu praktek bank gelap, "saya tidak tahu menahu". Sikap notaris wanita itu dibenarkan oleh koleganya di Jakarta, Ridwan Susilo, yang sempat jadi saksi dalam kasus Endang Wijaya. "Tidak benarnya sebuah perjanjian yang dibuat notaris, karena kliennya berbohong atau menipu, bukan tanggung jawab notaris," ujar Ridwan. Tapi ia mengaku terpaksa melepaskan hak ingkarnya dalam kasus Pluit dengan tertuduh Endang Wijaya itu. "Soalnya, perkara itu merupakan kasus subversi dan korupsi, jadi hak ingkar tidak berlaku," katanya. Pendapat bekas ketua Ikatan Notaris Indonesia (INI), yang sekarang duduk di Dewan Penasihat INI, L. Tobing, senada dengan Ridwan. Dalam kasus OBL itu, katanya, hakim tidak perlu memanggil notaris sebagai saksi. "Sebab dalam membuat akta seperti itu, notaris hanya memeriksa formalnya saja, tidak materinya," kata Tobing lagi. Tentang hak ingkar notaris, katanya, terserah kepada notaris sendiri -- "akan digunakan atau tidak, akan digunakan seluruhnya atau sebagian-sebagian". "Hak ingkar notaris itu ada karena undang-undang jadi undang-undang khusus pula yang bisa menembusnya," tambah Tobing lagi. Berbeda dengan Tobing, Dosen Notaris FH-Undip, Soetardjo Soemoatmodjo, mengatakan bahwa hakim bisa memaksa notaris membuka mulut. Namun hakim yang memeriksa kasus itu, Abunasor Machfudz, tidak berniat memaksa Tjandrawathy itu. Soalnya seberapa jauh hakim bisa mematahkan hak ingkar itu, "masih persoalan hukum," kata Abunasor merendah. Namun ditambahkannya, "tentu untuk kepentingan yang lebih tinggi, hak itu bisa diterobos." Kecuali, kata Abunasor lagi, pemegang hak ingkar itu berstatus terdakwa. "Haknya bisa diganyang," kata hakim itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini