SEKITAR 15 kepala keluarga, yang semula secara turun-temurun mendiami 11 hektar tanah di Desa Titipapan Paya Rumput, Medan, kini bagaikan orang terbuang. Mereka, beserta keluarga, terpaksa tinggal berserakan di sekitar Kota Medan, setelah empat tahun lalu digusur dari tempat itu oleh Polda Sumatera Utara, yang merasa lebih berhak atas tanah itu. Tapi rupanya mereka pantang menyerah. Melalui Pengacara Mahyoedanil, pekan-pekan ini 13 orang kepala keluarga yang terusir itu menggugat Polda ke pengadilan. Ke-15 kepala keluarga itu sebenarnya sudah sejak enam windu lalu 1940, secara turun-temurun menempati areal bekas perkebunan tembakau itu. Di tanah itu mereka tinggal dan hidup dari bertanam sayur-mayur serta kelapa. "Hidup kami tak sampai kekuranganlah," tutur Hasan Halim, 54 tahun salah seorang penggarap. Bertahun-tahun tak ada yang mengusik tanah yang mereka tempati. Bahkan pada Agustus 1963, mereka memperoleh hak penggunaan tanah itu dari Panitia Land Reform Sumatera Utara. Semua kedamaian itu berakhir pada 1984. Pada suatu dinihari, tiga buah truk berisi petugas dari Polda mendekati permukiman tersebut. Masih belum hilang kantuk mereka di pagi itu, tiba-tiba para petugas itu telah berlompatan dari ketiga truk tadi dan segera memerintahkan semua penduduk agar tidak keluar rumah. Setelah itu, semua penduduk dikumpulkan dan semua peralatan rumah tangga mereka dikeluarkan dari rumah masing-masing dan ditumpuk di halaman. Protes mereka di pagi itu percuma, hilang tertelan deruman dua buldozer yang meluluh-lantakkan ke-16 rumah mereka. Beberapa orang penggarap bahkan pingsan terkena gas air mata. Barang-barang milik mereka diangkut ke rumah-rumah darurat, yang disediakan Polda di Desa Terjun, sekitar 1 km dari lokasi. Tapi tak satu pun dari para penggarap mau menghuni lokasi penampungan itu. Mereka lebih suka tinggal bertaburan di kota Medan dan bekerja serabutan. Sementara itu, areal bekas tempat tinggal mereka telah dipagar, dijaga ketat, dan kini berdiri bangunan gudang milik Polda. Sebenarnya, seminggu sebelum penggusuran, pihak Polda sudah memperingatkan penduduk agar segera meninggalkan areal itu. Sebab, Polda, yang sudah memiliki sertifikat No. 2 tahun 1974 atas tanah itu, merasa lebih berhak terhadap areal tersebut. Tapi penduduk rupanya tak peduli dan memilih tetap tinggal di tempat itu, sampai akhirnya digusur paksa. Kecuali tergusur, salah seorang penggarap, Mukijo, 39 tahun, sempat pula diseret ke meja hijau. Ia dituduh telah memalsukan tanda tangan para penggarap untuk menjual tanah tersebut. Tapi Januari 1987, Mukijo, yang sempat mendekam 2 bulan di tahanan Polda, divonis bebas Pengadilan Negeri Medan. Mukijo sebenarnya memang pernah menjadi kuasa penggarap untuk melakukan negoisasi pembayaran ganti rugi dengan Polda. Mukijo, ketika itu, bersedia dibayar ganti rugi Rp 1.500 per meter, kendati pasaran harga tanah saat itu di situ di atas Rp 3.000. Tapi pihak Polda hanya bersedia membayar ganti rugi Rp 50 per meter persegi. Sebab itu, ke-13 penggarap tersebut, termasuk Mukijo, akhirnya menggugat Polda, Agraria, serta kepala Desa Titipapan ke pengadilan. Selain menuntut pengembalian tanah, mereka juga menuntut agar pengadilan membatalkan sertifikat milik Polda. Sebaliknya, pihak Polda memohon agar pengadilan menolak gugatan itu. Sebab, "Perolehan tanah tersebut sama sekali tak ada hubungannya dengan para penggugat," kata kuasa hukum pihak Polda di persidangan. Polda telah memiliki sertifikat No. 2 tahun 1974 itu untuk tanah seluas 7,65 hektar di situ. Hak ini, menurut Polda, berasal dari tanah seluas 9,42 hektar yang diperoleh lewat permintaan Panglima Daerah Angkatan Kepolisian Sum-Ut dan pembebasan 1,6 hektar dari ahli waris dua penggarap, pada 1964. Pihak Agraria memang menyatakan sertifikat atas nama Polda itu sudah sah. Begitu juga batas-batas tanah milik Polda, di tanah gusuran itu, sesuai dengan gambar situasi tanah yang dibuat Juli 1974. Tapi Pengacara Mahyoedanil menganggap batas-batas tanah milik Polda itu tak jelas. Buktinya, pada sidang lapangan dua pekan lalu, pihak Agraria tak bisa menunjukkan batas-batas tanah yang disebutkan surat tanah. Selain itu, katanya, luas tanah yang digusur paksa Polda jauh melebihi luas tanah Polda di sertifikat. Hp. S. dan Affan Bey Hutasuhut (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini