KOTA Malang di Jawa Timur memang selalu tenang, terutama di
malam hari. Tapi di suatu kawasan kota ini, di Jalan Ciliwung,
hampir tiap malam terdengar suara gaduh. Terkadang diselingi
jeritan histeris dan suara orang memukuli segala benda.
Itulah Pesantren Baitur Rohman. Atau lazim juga disebut
pesantren gila. Sebab, di malam hari, terutama tengah malam,
para santri dikumpulkan di dekat sumur yang ada di kompleks
perguruan. Satu per satu santri ini diguyur air sumur oleh Kiai
Haji Abdul Hayyi, pimpinan pesantren. Sambil mengguyur itu, Kiai
komat-kamit membaca zikir. Sementara itu, santri yang diguyur
tingkahnya macam-macam. Ada yang tenang-tenang saja. Ada yang
dengan mata melotot, seperti menantang Kiai. Ada yang
berteriak-teriak memaki. Kiai beserta pembantunya tak peduli dan
tetap mengguyur tubuh-tubuh itu.
Benar, para santri itu adalah orang sakit ingatan. Karena itu,
pesantren itu dijuluki pesantren gila. Upacara tengah malam itu,
menurut K.H. Abdul Hayyi, 60, "untuk membersihkan mudghah".
Semacam upacara pembersihan dosa-dosa sehingga mereka kembali ke
jalan yang lurus. "Lurus" yang dimaksud Kiai, "mendekatkan diri
kepada Allah dan santri dibimbing mengucapkan Allah
berkali-kali."
Bacaan salawat dan zikir itu ditingkatkan pelan-pelan, sesuai
dengan tingkat kesembuhannya. Yang sudah bisa mematuhi perintah
tergolong hampir sembuh. Yang berteriak dan memaki-maki berarti
masih gawat dan untung kalau masih bisa diguyur. Kelompok ini
masih sukar dituntun berzikir.
Sementara itu, di ruang penampungan mirip penjara, santri yang
gawat ditempatkan di belakang terali besi. Untuk menuntunnya ke
sumur malam hari, harus menunggu sampai yang lainnya selesai
melakukan pembersihan. Kalau tidak, apalagi bila penjagaan tidak
kuat, si sakit itu bisa lari dan memukul benda apa saja di
dekatnya. Tingkat penyembuhan santri gawat serupa itu tak tentu.
"Ada yang cuma seminggu sudah sembuh, tetapi ada yang setahun
mondok belum juga sembuh," kata A. Kholiq, pembantu Kiai Hayyi.
Kompleks pesantren yang didirikan tahun 1954 itu tidak luas. Tak
sampai satu hektar. Ada bangunan bertingkat, tempat santri
putra. Tingkat atas dihuni santri yang sudah sembuh atau yang
tidak gawat lagi. Tingkat bawah dihuni santri yang masih sering
bikin ulah.
Pondok putri tak jauh dari pondok putra. Di bagian ini ada
beberapa kamar mirip sel tahanan, tempat santri yang gawat. Di
lorong sel ini, menunggu keluarganya yang diharuskan "ikut
menjalani keprihatinan untuk penyembuhan santri," seperti
dikatakan A. Kholiq.
Di dalam pondok ada masjid, tak begitu besar. Tak pernah dipakai
salat Jumat. Barangkali karena untuk mengawasi santri yang
tingkahnya tak keruan saja sudah sulit, apalagi menuntun mereka
bersembahyang Jumat.
Menurut Kiai Hayyi, penyembuhan itu berdasarkan aliran ma'rifat.
Pesantren itu sendiri tak memiliki kurikulum - dan mungkin tak
diperlukan karena fungsinya lebih menekankan kepada penyembuhan
sakit ingatan. "Pesantren ini khusus buat mereka yang mengalami
kesulitan rohani. Di sinilah tempat bagi mereka yang mau latihan
ibadah," kata kiai yang sudah ompong itu.
Ada aturan khusus untuk santri baru. Mereka harus datang pertama
kali di malam Jumat. Dan paling sedikit harus diam di pondok
selama seminggu. Walaupun, misalnya, hanya dua hari santri sudah
normal, ia harus tetap diam di pondok sampai Jumat berikutnya -
dan setiap tengah malam tetap diguyur air sumur. Memang tak ada
risiko kalau keluarga santri memaksa pulang sebelum seminggu
mondok. Tetapi pesantren akan menolak menerima jika suatu saat
"kumat". Dengan kedatangan seperti itu, jumlah santri pesantren
ini tak tetap. Setiap malam Jumat dan hari Jumat esoknya, ada
saja santri yang keluar masuk. "Tetapi rata-rata jumlah santri
sampai 200 orang," kata Pudji Agung, seorang pembantu Kiai Hayyi
yang lain.
Pesantren ini pun tak mengenal catatan dari mana santri itu
berasal dan apa yang menyebabkannya gila. Yang dicatat cuma
nama. Menurut Kiai Hayyi, apa pun penyebab gilanya,
penyembuhannya tetap dengan "pembersihan rohani" seperti yang
dilakukan tengah malam itu. Gila karena judi, santet, diceraikan
suami, dan narkotik, "obat"-nya tetap sama.
Berapa harus membayar selama mondok? "Ini pesantren gratis,"
kata Kiai Hayyi dengan tegas. "Tetapi saya tak menolak jika
diberi imbalan sekadarnya. Toh, untuk kelangsungan pesantren
juga," katanya lebih lanjut. Menurut seorang pembantu Kiai, ada
yang membayar sampai Rp 100.000 untuk mondok dua minggu, tetapi
ada pula yang hanya memberi imbalan beras 50 kg untuk mondok
sebulan.
Pesantren ini berkembang sekarang. Kini sedang dibangun lagi
ruang untuk santri putra yang diperkirakan menelan biaya sekitar
Rp 100 juta. Dalam bangunan ini disediakan 10 ruang dengan
jeruji besi yang kukuh dan kunci gembok ganda. Maksudnya untuk
pasien yang benar-benar gawat. "Kalau pengertian berkembang
adalah perluasan dan penambahan asrama, itu berarti semakin
banyak orang tak waras. Tentunya tak enak didengar," kata
pembantu Kiai yang tak mau disebutkan namanya.
Tidak semua santri yang sudah sembuh otomatis pulang. Ada yang
ingin mondok. Lebih lama untuk lebih mendalami ajaran Kiai
Hayyi. Untuk golongan ini, disediakan juga tempat, tentunya
terpisah dari santri yang masih sakit. Dan syarataya adalah
wajib menjalankan baiat: taat kepada peraturan yang diterapkan
pesantren dan mengikuti zikir. Apa itu misalnya? "Kalau mau tahu
saudara saya baiat dulu," ujar Kiai kepada M. Baharun dari
TEMPO yang mengunjungi pesantren ini dua pekan lalu. Menurut
kiai yang berasal dari Bangil, Pasuruan, ini, siapa pun yang
ingin tahu sistematika zikir di Pesantren Baitur Rohman harus
dibaiat terlebih dahulu. "Seperti orang mau menonton
pertunjukan, harus membeli karcis dulu," kata Kiai sambil
tertawa terbahak-bahak.
Dengan begitu, memang banyak hal yang tertutup di pesantren ini,
untuk peninjau yang tak mau dibaiat. Misalnya tak jelas, berapa
jumlah santri, berapa jumlah pembantu Kiai, bagaimana pesantren
dikelola, untuk salat apa saja masjid yang ada di pondok. Juga
tentang sumur yang dipakai "pembersihan rohani" di tengah malam,
apakah ada bedanya dengan sumur-sumur yang lain.
Tentang buku pegangan, Kiai menyebut hanya ada dua macam: buku
biru dan buku cokelat. Dalam buku biru dipaparkan pokok-pokok
sendi keimanan, pedoman-pedoman beribadah dan cara berkhalwat
bagi para jemaah yang sekaligus perkenalan kepada mereka yang
menuntut Islam. Buku ini semacam buku untuk para pemula yang
intinya, antara lain, berbicara tentang kesucian sembahyang, dan
puasa.
Buku cokelat diberikan kepada santri yang sudah mengenal buku
biru. Atau santri yang sebelum gila sudah pernah mempelajari
Islam, dan ingin mondok lebih lama. Isi buku ini lebih banyak
mengajak para santri lebih memahami ajaran Islam.
Santri yang datang ke pesantren ini tak semuanya beragama Islam.
Mungkin karena fungsi pesantren yang lebih dikenal sebagai
tempat penyembuhan - walau di mulut Jalan Ciliwung itu tertulis
jelas: Yayasan Pendidikan Islam ....
Kiai Hayyi tak menyebutkan sudah berapa banyak menerima santri
yang nonIslam. Kepada mereka ini, sepanjang masih bisa dituntun
untuk berbicara alias tak gawat benar, ditawarkan mengucapkan
kalimat syahadat. Kalau tak mau, pengasuh pesantren tak
memaksanya. Tetapi tetap dituntun untuk menjalani segala aturan
di Pondok misalnya berzikir. "Kalau jiwanya sudah murni dan
berhasil sembuh, secara otomatis santri itu sudah masuk Islam,"
ujar Abdul Kholiq, pembantu Kiai yang paling aktif.
Kiai Hayyi, yang sehari-hari berdagang besi tua, mengaku paling
sulit menyembuhkan orang yang gila sejak lahir. "Untuk mukim
saja tak apa tetapi saya tak menjamin dia bisa sembuh,"
katanya. Namun, tak diungkapkan berapa banyak orang gila bawaan
sejak lahir yang dirawat di sana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini