Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Santri-santri di dalam sel

Sebuah pesantren di malang, khusus menampung orang gila untuk disembuhkan. menurut pimpinan pesantren abdul hayyi, penyembuhan itu berdasarkan aliran ma'rifat. (pan)

5 November 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KOTA Malang di Jawa Timur memang selalu tenang, terutama di malam hari. Tapi di suatu kawasan kota ini, di Jalan Ciliwung, hampir tiap malam terdengar suara gaduh. Terkadang diselingi jeritan histeris dan suara orang memukuli segala benda. Itulah Pesantren Baitur Rohman. Atau lazim juga disebut pesantren gila. Sebab, di malam hari, terutama tengah malam, para santri dikumpulkan di dekat sumur yang ada di kompleks perguruan. Satu per satu santri ini diguyur air sumur oleh Kiai Haji Abdul Hayyi, pimpinan pesantren. Sambil mengguyur itu, Kiai komat-kamit membaca zikir. Sementara itu, santri yang diguyur tingkahnya macam-macam. Ada yang tenang-tenang saja. Ada yang dengan mata melotot, seperti menantang Kiai. Ada yang berteriak-teriak memaki. Kiai beserta pembantunya tak peduli dan tetap mengguyur tubuh-tubuh itu. Benar, para santri itu adalah orang sakit ingatan. Karena itu, pesantren itu dijuluki pesantren gila. Upacara tengah malam itu, menurut K.H. Abdul Hayyi, 60, "untuk membersihkan mudghah". Semacam upacara pembersihan dosa-dosa sehingga mereka kembali ke jalan yang lurus. "Lurus" yang dimaksud Kiai, "mendekatkan diri kepada Allah dan santri dibimbing mengucapkan Allah berkali-kali." Bacaan salawat dan zikir itu ditingkatkan pelan-pelan, sesuai dengan tingkat kesembuhannya. Yang sudah bisa mematuhi perintah tergolong hampir sembuh. Yang berteriak dan memaki-maki berarti masih gawat dan untung kalau masih bisa diguyur. Kelompok ini masih sukar dituntun berzikir. Sementara itu, di ruang penampungan mirip penjara, santri yang gawat ditempatkan di belakang terali besi. Untuk menuntunnya ke sumur malam hari, harus menunggu sampai yang lainnya selesai melakukan pembersihan. Kalau tidak, apalagi bila penjagaan tidak kuat, si sakit itu bisa lari dan memukul benda apa saja di dekatnya. Tingkat penyembuhan santri gawat serupa itu tak tentu. "Ada yang cuma seminggu sudah sembuh, tetapi ada yang setahun mondok belum juga sembuh," kata A. Kholiq, pembantu Kiai Hayyi. Kompleks pesantren yang didirikan tahun 1954 itu tidak luas. Tak sampai satu hektar. Ada bangunan bertingkat, tempat santri putra. Tingkat atas dihuni santri yang sudah sembuh atau yang tidak gawat lagi. Tingkat bawah dihuni santri yang masih sering bikin ulah. Pondok putri tak jauh dari pondok putra. Di bagian ini ada beberapa kamar mirip sel tahanan, tempat santri yang gawat. Di lorong sel ini, menunggu keluarganya yang diharuskan "ikut menjalani keprihatinan untuk penyembuhan santri," seperti dikatakan A. Kholiq. Di dalam pondok ada masjid, tak begitu besar. Tak pernah dipakai salat Jumat. Barangkali karena untuk mengawasi santri yang tingkahnya tak keruan saja sudah sulit, apalagi menuntun mereka bersembahyang Jumat. Menurut Kiai Hayyi, penyembuhan itu berdasarkan aliran ma'rifat. Pesantren itu sendiri tak memiliki kurikulum - dan mungkin tak diperlukan karena fungsinya lebih menekankan kepada penyembuhan sakit ingatan. "Pesantren ini khusus buat mereka yang mengalami kesulitan rohani. Di sinilah tempat bagi mereka yang mau latihan ibadah," kata kiai yang sudah ompong itu. Ada aturan khusus untuk santri baru. Mereka harus datang pertama kali di malam Jumat. Dan paling sedikit harus diam di pondok selama seminggu. Walaupun, misalnya, hanya dua hari santri sudah normal, ia harus tetap diam di pondok sampai Jumat berikutnya - dan setiap tengah malam tetap diguyur air sumur. Memang tak ada risiko kalau keluarga santri memaksa pulang sebelum seminggu mondok. Tetapi pesantren akan menolak menerima jika suatu saat "kumat". Dengan kedatangan seperti itu, jumlah santri pesantren ini tak tetap. Setiap malam Jumat dan hari Jumat esoknya, ada saja santri yang keluar masuk. "Tetapi rata-rata jumlah santri sampai 200 orang," kata Pudji Agung, seorang pembantu Kiai Hayyi yang lain. Pesantren ini pun tak mengenal catatan dari mana santri itu berasal dan apa yang menyebabkannya gila. Yang dicatat cuma nama. Menurut Kiai Hayyi, apa pun penyebab gilanya, penyembuhannya tetap dengan "pembersihan rohani" seperti yang dilakukan tengah malam itu. Gila karena judi, santet, diceraikan suami, dan narkotik, "obat"-nya tetap sama. Berapa harus membayar selama mondok? "Ini pesantren gratis," kata Kiai Hayyi dengan tegas. "Tetapi saya tak menolak jika diberi imbalan sekadarnya. Toh, untuk kelangsungan pesantren juga," katanya lebih lanjut. Menurut seorang pembantu Kiai, ada yang membayar sampai Rp 100.000 untuk mondok dua minggu, tetapi ada pula yang hanya memberi imbalan beras 50 kg untuk mondok sebulan. Pesantren ini berkembang sekarang. Kini sedang dibangun lagi ruang untuk santri putra yang diperkirakan menelan biaya sekitar Rp 100 juta. Dalam bangunan ini disediakan 10 ruang dengan jeruji besi yang kukuh dan kunci gembok ganda. Maksudnya untuk pasien yang benar-benar gawat. "Kalau pengertian berkembang adalah perluasan dan penambahan asrama, itu berarti semakin banyak orang tak waras. Tentunya tak enak didengar," kata pembantu Kiai yang tak mau disebutkan namanya. Tidak semua santri yang sudah sembuh otomatis pulang. Ada yang ingin mondok. Lebih lama untuk lebih mendalami ajaran Kiai Hayyi. Untuk golongan ini, disediakan juga tempat, tentunya terpisah dari santri yang masih sakit. Dan syarataya adalah wajib menjalankan baiat: taat kepada peraturan yang diterapkan pesantren dan mengikuti zikir. Apa itu misalnya? "Kalau mau tahu saudara saya baiat dulu," ujar Kiai kepada M. Baharun dari TEMPO yang mengunjungi pesantren ini dua pekan lalu. Menurut kiai yang berasal dari Bangil, Pasuruan, ini, siapa pun yang ingin tahu sistematika zikir di Pesantren Baitur Rohman harus dibaiat terlebih dahulu. "Seperti orang mau menonton pertunjukan, harus membeli karcis dulu," kata Kiai sambil tertawa terbahak-bahak. Dengan begitu, memang banyak hal yang tertutup di pesantren ini, untuk peninjau yang tak mau dibaiat. Misalnya tak jelas, berapa jumlah santri, berapa jumlah pembantu Kiai, bagaimana pesantren dikelola, untuk salat apa saja masjid yang ada di pondok. Juga tentang sumur yang dipakai "pembersihan rohani" di tengah malam, apakah ada bedanya dengan sumur-sumur yang lain. Tentang buku pegangan, Kiai menyebut hanya ada dua macam: buku biru dan buku cokelat. Dalam buku biru dipaparkan pokok-pokok sendi keimanan, pedoman-pedoman beribadah dan cara berkhalwat bagi para jemaah yang sekaligus perkenalan kepada mereka yang menuntut Islam. Buku ini semacam buku untuk para pemula yang intinya, antara lain, berbicara tentang kesucian sembahyang, dan puasa. Buku cokelat diberikan kepada santri yang sudah mengenal buku biru. Atau santri yang sebelum gila sudah pernah mempelajari Islam, dan ingin mondok lebih lama. Isi buku ini lebih banyak mengajak para santri lebih memahami ajaran Islam. Santri yang datang ke pesantren ini tak semuanya beragama Islam. Mungkin karena fungsi pesantren yang lebih dikenal sebagai tempat penyembuhan - walau di mulut Jalan Ciliwung itu tertulis jelas: Yayasan Pendidikan Islam .... Kiai Hayyi tak menyebutkan sudah berapa banyak menerima santri yang nonIslam. Kepada mereka ini, sepanjang masih bisa dituntun untuk berbicara alias tak gawat benar, ditawarkan mengucapkan kalimat syahadat. Kalau tak mau, pengasuh pesantren tak memaksanya. Tetapi tetap dituntun untuk menjalani segala aturan di Pondok misalnya berzikir. "Kalau jiwanya sudah murni dan berhasil sembuh, secara otomatis santri itu sudah masuk Islam," ujar Abdul Kholiq, pembantu Kiai yang paling aktif. Kiai Hayyi, yang sehari-hari berdagang besi tua, mengaku paling sulit menyembuhkan orang yang gila sejak lahir. "Untuk mukim saja tak apa tetapi saya tak menjamin dia bisa sembuh," katanya. Namun, tak diungkapkan berapa banyak orang gila bawaan sejak lahir yang dirawat di sana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus