BERITA berikut ini adalah perjalanan bertele-tele sebuah perkara perdata di negara kita. Sebuah perkara yang sudah berusia 33 tahun, sampai pekan lalu, belum juga bisa diselesaikan dengan tuntas oleh lembaga peradilan. Bahkan, tiga kali perintah eksekusi atas sebuah gedung yang tersangkut dalam sengketa itu, sejak 1962, sampai akhir bulan lalu belum bisa di laksanakan. Sebab, setiap perintah dikeluarkan lembaga peradilan, keputusan pembatalan juga keluar dari peradilan yang lain. "Hikayat perdata" ini bermula dari pulihnya kembali keadaan setelah Perang Dunia II dan Revolusi. Pemerintah mengumumkan semua perusahaan bis antarkota, yang operasinya terhenti akibat perang, agar mendaftar kembali. Salah satu pengusaha yang mendaftar adalah Nyonya Nelly Chatarina Sanger alias Ong Boen Nio. Perusahaan otobisnya, Kingkong, yang dikenal melayani trayek Jakarta - Cirebon - Purwakarta - Cinangka itu, bangkrut karena dibeslah bala tentara Jepang. Sebab itu, ketika izin trayeknya dihidupkan kembali, 1948, Nyonya Nelly harus memulai dari nol. Untuk menghidupkan kembali perusahaan itu, Nelly mendapat partner Latief Kasimo d/h Liem Tjong Loei, pemilik toko onderdil Olimo yang kini beralamat gedung Hayam Wuruk nomor 121, Jakarta. Dalam perusahaan baru dengan nama NV Kingkong, Nyonya Nelly dan Latief, sebagai pemilik izin, sebagai pemilik modal, akan mendapat bagian keuntungan sama banyak. Selain itu, Nelly, sebagai pengelola perusahaan, diwajibkan menyetorkan uang hasil operasi bis setiap hari kepada Latief selaku direktur. Empat tahun kerja sama antara kedua pengusaha itu berjalan lancar. Pada 1952, Nelly, yang merasa sudah menyetorkan hasil operasi sebanyak Rp 1,3 juta, meminta Latief membuat perhitungan. Tapi, konon, Latief tidak menggubrisnya. Sebab itu, Nelly menyetop setorannya. Pada Oktober 1952, sengketa kedua pengusaha itu masuk pengadilan. Latief menggugat melalui Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta dengan alasan Nelly melalaikan kesepakatan untuk menyetor setiap hari. Sebaliknya, Nelly, dalam gugatan rekonpensinya, menuduh Latief yang ingkar janji: tidak membuat perhitungan atas setorannya. Delapan tahun kemudian, Hakim Mohammad Rochyani Soe'oed memutuskan, Nyonya Nelly memenangkan perkara itu. Untuk itu, pengadilan meletakkan sita eksekusi atas gedung milik Latief, yang dikenal dengan gedung Olimo. Toh, eksekusi tidak terlaksana. Padahal, hakim memutuskan bahwa keputusan bisa dijalankan lebih dulu walau pihak yang kalah naik banding. Rupanya, Latief mengajukan bantahan atas putusan itu. Kembali Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta menolak bantahan Latief. Dan Latief naik banding. Selain banding dalam perkara bantahan, Latief juga mengajukan banding dalam perkara pokok. Sampai di sini perkara menjadi berbelit-belit. Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta, 1962, menganggap banding Latief dalam perkara bantahan gugur demi hukum karena sebagai pembanding ia tidak membayar biaya perkara. Sebab itu, pengadilan memerintahkan gedung Olimo dieksekusi. Pengumuman lelang itu disiarkan melalui harian Sinar Harapan pada 11 Oktober 1962. Tapi lelang itu kemudian dibatalkan Hakim Nyonya Liem Tjeng Hien (yang belakangan menjadi notaris dengan nama Kartini MuIyadi) karena Latief buru-buru memberikan jaminan ke pengadilan sebesar Rp 1 juta, dan memberi alasan bahwa bandingnya dalam perkara pokok tidak gugur. Ternyata, banding Latief dalam perkara pokok itu ditolak Pengadilan Tinggi Jakarta pada 1966. Keputusan itu berkekuatan hukum tetap karena Latief tidak meminta kasasi - bahkan juga tidak mengindahkan panggilan dan teguran pengadilan setelah vonis itu. Baru April 1971 Latief memasukkan bantahan baru yang ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dengan alasan terjadi nebis in idem - dua kali memasukkan bantahan yang sama. Tapi Latief, lagi-lagi, banding. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat d/h Pengadilan Istimewa Jakarta, 14 Juni 1971, kembali mengumumkan lelang eksekusi atas gedung Olimo itu. Tapi, untuk kesekian kalinya, kandas. Ketua Mahkamah Agung Soebekti, 14 Agustus 1971, memerintahkan penundaan lelang berdasarkan permintaan Pengacara Prof. Sudargo Gautama. Anehnya, 1973, permohonan banding Latief dalam bantahan yang pertama - yang dinyatakan gugur oleh Pengadilan Istimewa Jakarta - diterima peradilan banding. Sementara itu, bantahan kedua, yang ditolak Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena nebis in idem, 1972, ditolak peradilan banding. Bahkan Majelis Hakim Agung yang diketuai Santoso Poedjosoebroto, 1973, memperkuat putusan-putusan itu dalam perkara bantahan kedua tersebut. Sebaliknya, Majelis Hakim Agung, yang juga diketuai Santoso Poedjosoebroto, memperkuat keputusan peradilan banding yang menerima bantahan pertama Latief. Artinya, kemenangan Nelly gugur. Karena itu pula Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mencabut sita eksekusi atas gedung Olimo pada 19 Juli 1975. Tiga bulan kemudian tanah itu dijual oleh Latief kepada Hasan Basuki - dan kini gedung itu ditempati United City Bank. Pada 1983, ahli waris Nelly - nyonya itu meninggal 1967 - melanjutkan perkara itu, dan meminta Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tetap meneruskan eksekusi atas gedung Olimo, karena banyak keputusan pengadilan yang bertentangan dalam kasus itu. Melalui Pengadilan Negeri Jakarta Barat, ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menetapkan bahwa eksekusi itu masih bisa dilaksanakan karena pencabutan sita eksekusi delapan tahun lalu itu tidak tepat. Sebab itu, ketua Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Hasan Machmud, menetapkan gedung Olimo dilelang pada 30 Juli 1984. Dua pekan sebelum lelang, pemilik gedung yang sekarang, Hasan Basuki, mengajukan bantahan melalui Pengacara Soenarto Soerodibroto. Hasan Machmud kembali menunda eksekusi. "Klien saya pemilik sah tanah itu sekarang karena dia membelinya setelah sita eksekusi diangkat pada 1975," kata Soenarto. Pengacara Latief, Lugito Hayadi, berpendapat bahwa Nyonya Nelly tidak berhak menggugat gedung Olimo. Sebab, Mendiang bersengketa dengan Latief sebagai direktur NV Kingkong. "Kalau NV - seperti juga PT - bangkrut, harta pemiliknya tidak bisa diganggu gugat," kata Lugito. Sebab itu, ia menganggap sah jual beli antara Latief, sekarang berusia 96 tahun, dan Hasan Basuki. Tapi keluarga ahli waris Nelly tidak puas. Melalui pengacaranya, Denny Kailimang, mereka meminta Mahkamah Agung meninjau putusan Hasan Machmud itu. Ketua muda Mahkamah Agung, Asikin Kusumah Atmadja, 22 Juli 1985 memerintahkan Hasan Machmud membatalkan ketetapannya dan melaksanakan lelang eksekusi atas gedung itu. "Sebab, pengangkatan sita eksekusi itu, 1975, tidak sah. Waktu itu ada dua putusan Mahkamah Agung yang bertentangan," ujar Denny Kailimang. Namun, Hasan Machmud tidak menaati perintah itu. Ia bahkan menerima bantahan Hasan Basuki, dan membatalkan lelang eksekusi, 31 Juli lalu. "Keputusan saya berdasarkan petunjuk ketua Mahkamah Agung. Sebelum putusan itu kami buat, Pak Ali Said di sini (menunjuk kursi tamunya - Red.) mengatakan agar perkara itu diselesaikan menurut keyakinan majelis hakim," ujar Hasan Machmud. Itulah keyakinannya. Asikin, yang ditanya soal itu, mengelak, "Persoalannya sudah diambil Pak Ali Said silakan tanya beliau".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini