ERA keterbukaan yang belum lama direguk masyarakat sebentar lagi ditutup. Betapa tidak, bila Undang-Undang Rahasia Negara, yang dikabarkan bersifat militeristis, jadi lahir. Calon instrumen hukum itu diduga seseram Undang-Undang Antisubversi Tahun 1963, yang dulu jadi sumber penindasan, tapi akhirnya dicabut setelah reformasi, tahun 1999.
Bahkan bakal aturan hukum itu diperkirakan bisa membunuh (calon) Undang-Undang Kebebasan Memperoleh Informasi, Undang-Undang Penyiaran, dan Undang-Undang Teknologi Informasi. Anggota DPR dari Partai Amanat Nasional, Djoko Susilo, juga mengkhawatirkan undang-undang itu bisa membahayakan kehidupan pers dan aktivitas kalangan prodemokrasi.
Toh, keresahan itu kalah kuat dibandingkan dengan proses RUU Rahasia Negara ke DPR. Setidaknya setelah heboh bocornya dua dokumen Badan Intelijen Negara (BIN) soal penyelesaian kewajiban pemegang saham, awal Februari 2002, Kepala BIN Hendropriyono bertemu dengan Komisi I DPR untuk mengegolkan rancangan undang-undang ter-sebut. Sepekan kemudian, giliran Kepala Badan Sandi Negara D.O. Hutagalung bertemu dengan DPR.
Alhasil, RUU Rahasia Negara masuk dalam 17 calon undang-undang yang diprioritaskan DPR. Padahal, menurut Djoko Susilo, ada 84 rancangan undang-undang lain di DPR yang menunggu giliran. Dibandingkan calon Undang-Undang Penyiaran, Kebebasan Memperoleh Informasi, dan Komunikasi, sebenarnya calon Undang-Undang Rahasia Negara lebih belakangan datang ke DPR. "Sepertinya pemerintah mem-push DPR untuk segera membahasnya,'' ujar Djoko.
Bagi Djoko, yang mantan wartawan Jawa Pos, RUU Rahasia Negara harus dicermati. Sebab, konsep dan substansi rancangan itu mengandung bom waktu. Misalnya, pejabat yang berwenang menentukan rahasia negara ternyata amat luas. Bisa pemimpin lembaga negara, lembaga pemerintah departemen maupun nondepartemen, bisa pula pemimpin badan usaha milik negara atau badan lain yang ditunjuk pemerintah. Bahkan wewenang itu bisa didelegasikan ke eselon di bawahnya. "Nanti data korupsi di sebuah BUMN tak bisa dibuka gara-gara direktur BUMN-nya bilang itu rahasia negara," kata Djoko.
Definisi rahasia negara juga mengambang. Dalam rancangan disebutkan bahwa rahasia negara adalah informasi yang dapat mem-bahayakan pertahanan nasional dan kelangsungan pembangunan nasional. "Kalau pers memberitakan para pejabat yang korup, apa itu mengganggu pembangunan nasional? Demikian pula berita tentang hutan terbakar,'' tambah Djoko.
Menurut Djoko, batasan tentang rahasia negara harus didiskusikan secara hati-hati. Kalau informasi yang dibocorkan bisa mem-bahayakan negara, barulah itu rahasia negara. Contohnya, rahasia persenjataan militer Indonesia yang dibocorkan seseorang ke pihak lawan. "Itu jelas, karena membahayakan negara dan berkaitan dengan pertahanan negara,'' tuturnya.
Namun Djoko menandaskan, yang lebih penting dan mendesak untuk digolkan justru calon Undang-Undang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik ketimbang Undang-Undang Rahasia Negara. Pendapat senada juga diutarakan oleh Koalisi Organisasi Nonpemerintah, yang berdemonstrasi ke DPR, Selasa pekan lalu. "RUU Rahasia Negara menyerupai Undang-Undang Antisubversi Tahun 1963. Ia bisa menjadi sumber penindasan baru," kata Josi Khatarina, koordinator koalisi itu.
Menurut Josi, calon Undang-Undang Rahasia Negara bertentangan dengan calon Undang-Undang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik. Calon undang-undang yang diper-juangkan koalisi tersebut sejak dua tahun lalu itu justru berprinsip keterbukaan, pemerintahan yang bersih, dan hak masyarakat untuk mengontrol keputusan pejabat publik. Sudah menjadi tuntutan zaman, "Bahwa yang dikembangkan adalah pemerintahan yang terbuka, bukan malah tertutup," ujar Josi.
Entah bagaimana kelanjutan polemik itu. Yang jelas, berbagai instansi pemerintah, umpamanya Arsip Nasional, selama ini menerapkan ketentuan rahasia negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1971 tentang Arsip Nasional. Undang-undang yang berancaman hukuman 20 tahun penjara ini pernah ditimpakan pada seorang perwira TNI AL yang membocorkan dokumen negara ke pihak Australia.
Berdasarkan undang-undang itu pula, menurut Direktur Akuisisi Arsip Nasional, Kuncari, banyak dokumen tertulis ataupun audio visual yang menyangkut negara dan pejabat diklasifikasi sebagai rahasia negara. Misalnya, arsip tentang Sukarno, Soeharto, peristiwa penting sejak tahun 1945, NU, ataupun pembebasan tanah. Alasannya, arsip itu bisa menimbulkan gejolak sosial bila terbuka untuk umum. Bisa saja masyarakat memperoleh dokumen itu bila diizinkan oleh lembaga penerbit dokumennya.
Ahmad Taufik, Wenseslaus Manggut, dan Hadriani Pudjiarti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini