Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Hukuman Ompong buat Gubernur

MA menyalahkan Gubernur Sulawesi Tenggara yang mencoret 13 nama calon anggota DPRD. Tapi Gubernur tak mempedulikan vonis itu.

10 Maret 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KURSI Ketua DPRD Kolaka, Sulawesi Tenggara, yang sudah tiga tahun diduduki Muhammad Jafar, ternyata amat panas. Kamis pekan lalu, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Kendari memerintahkan Jafar dan 12 anggota DPRD Kolaka agar lengser dari parlemen daerah itu. Sebab, berdasarkan vonis Mahkamah Agung (MA), status Jafar dan 12 rekannya sebagai anggota DPRD itu tidak sah. Tapi apa mungkin Jafar yang kader Golkar beserta rekan-rekannya (7 orang dari Golkar, 2 dari PPP, 2 dari PDIP, dan 1 orang dari PKB) rela meninggalkan jabatan negara yang empuk begitu? Dulunya nama Jafar dan 12 orang tersebut memang tak tercantum dalam daftar calon tetap anggota DPRD Kolaka hasil pemilihan umum tahun 1999, yang diajukan Panitia Pemilihan Daerah Tingkat II kepada Bupati Kolaka, Adel Berty, dan Gubernur Sulawesi Tenggara, Kaimoeddin. Belakangan, lewat Surat Keputusan Gubernur Nomor 562 Tahun 1999, ternyata nama mereka masuk dalam daftar calon tetap anggota DPRD Kolaka, yang letaknya sekitar 175 kilometer arah timur dari ibu kota Sulawesi Tenggara, Kendari. Akibatnya, nama 13 orang anggota DPRD yang sebelumnya tercantum jadi tergusur alias hilang. Tentu saja 13 orang tergusur itu?Ahmad Syahruddin dan kawan-kawan?tak terima. Mereka menganggap Gubernur sewenang-wenang. Mereka lantas menggugat Surat Keputusan Nomor 562 Tahun 1999 ke PTUN Kendari. Tak disangka, pada 30 September 1999 PTUN berani mengalahkan Gubernur. Surat keputusan tersebut dinyatakan batal demi hukum. Sebab, keputusan penggusuran kelompok Syahruddin dan pencantuman nama Jafar serta 12 orang rekannya itu tak melalui penelitian panitia pemilihan daerah serta tak berdasarkan rekomendasi dari panitia pengawas pemilihan umum kabupaten. Namun Gubernur Kaimoeddin bergeming. Melalui kepala biro hukumnya, waktu itu Nasruan, dan kuasa hukumnya, Laica Marzuki, yang guru besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Gubernur naik banding. Toh, pada 27 April 2000, Pengadilan Tinggi TUN menguatkan vonis sebelumnya. Bahkan pada 11 Januari 2002, majelis hakim agung yang diketuai Paulus Effendi Lotulung juga mengukuhkan kemenangan kelompok 13 penggugat. Gubernur Kaimoeddin pun di-haruskan mencabut surat keputusan dimaksud. Hatta, begitu putusan MA beredar pekan lalu di Gedung DPRD Kolaka, Jafar beserta 12 koleganya sesama pejabat DPRD bagai kebakaran jenggot. Meskipun demikian, mereka tak hendak mundur. "Para pendukung mereka juga pasti akan mempertahankannya. Ini bisa menimbulkan benturan baru antarpendukung," kata Wakil Ketua DPRD Kolaka, Mustika Rahim. Agaknya, vonis lembaga peradilan tertinggi itu bak macan ompong belaka. Buktinya, Gubernur Kaimoeddin bukan cuma tak mematuhinya, melainkan juga mengajukan peninjauan kembali ke MA. "Gubernur baru mau mematuhi putusan itu kalau sudah ada vonis peninjauan kembali," tutur Kepala Biro Hukum Pemerintah Daerah Sulawesi Tenggara, Zulhijah. Menghadapi sikap Gubernur, PTUN Kendari mengaku akan melaporkannya ke atasan Gubernur, dalam hal ini Menteri Dalam Negeri dan Presiden. Sebenarnya, "Peninjauan kembali tak bisa menghalangi eksekusi," kata Kepala Panitera PTUN Kendari, Pali. Menurut Ketua MA, Bagir Manan, Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara Tahun 1986 memang tak mengatur sanksi hukum bila pejabat publik enggan melaksanakan vonis PTUN. Paling banter sikap sang pejabat hanya bisa dilaporkan ke atasan langsungnya. Ini memang cacat penting dari undang-undang tersebut. Bagaimanapun, "Di dunia ini, kalau sudah menjadi keputusan hakim, ya, harus ditaati oleh siapa pun," ujar Bagir Manan kepada Rommy Fibri dari TEMPO. Sementara itu, Sekretaris Komisi Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah Kabupaten Kolaka, Haning Abdullah, lebih menilik kasus itu dari segi moral politik. Ia berharap agar Jafar serta 12 anggota DPRD tersebut mau melepaskan kursi panasnya dan menyerahkan kepada yang berhak. Kalau tidak, "Kapasitas mereka sebagai wakil rakyat mewakili siapa?'' ucap Haning. Ahmad Taufik, Dedy Kurniawan (Kendari)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus