SEJARAH hukum Indonesia punya catatan penting. Buat pertama kalinya pengadilan hak asasi manusia ad hoc diselenggarakan sejak Kamis pekan ini di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kasus perdana yang akan diadili adalah kejahatan hak asasi pascajajak pendapat tahun 1999 di Timor Timur, yang kini sudah pisah dari Indonesia dan menjadi negara Timor Loro Sa'e.
Ada dua terdakwa pada kasus perdana ini, yakni bekas Gubernur Tim-Tim Abilio Jose Osorio Soares dan bekas Kepala Kepolisian Daerah Tim-Tim, Brigjen Timbul Silaen. Sebanyak 16 terdakwa lainnya, antara lain bekas Panglima Daerah Militer Udayana Mayjen Adam Damiri, Komandan Resor Militer Wira Buana Brigjen F.X. Tono Suratman, dan pemimpin milisi Aitarak Eurico Guterres, akan menyusul diadili.
Namun, semua terdakwa boleh dibilang cuma kelas komandan tingkat lapangan. Sedangkan nama para jenderal kelas komandan tingkat kebijakan, seperti bekas Panglima TNI Jenderal Wiranto, tak ada dalam daftar tersangka sejak penyidikan di Kejaksaan Agung.
Kecuali itu, hingga akhir pekan lalu, peraturan pemerintah yang akan menjadi petunjuk operasional untuk melindungi saksi dan korban kejahatan hak asasi ternyata tak kunjung muncul. Memang, Pasal 34 Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia Nomor 26 Tahun 2000 telah mengatur masalah perlindungan saksi. Tapi bagaimana teknis dan tata cara perlindungannya, kata Hakim Andi Samsan Nganro, yang akan mengadili kasus perdana di atas, akan dirinci dalam peraturan pemerintah.
Jelas, peraturan pemerintah yang dimaksud menjadi amat penting. Perangkat hukum inilah yang akan mempertegas berbagai perlindungan bagi saksi dan korban. Tak cuma menyangkut jaminan keamanan fisik dan mental. Kalau perlu ada jaminan saksi dan korban tak usah bertemu langsung dengan terdakwa, atau bahkan ada jaminan untuk merahasiakan identitas saksi. Praktek semacam ini lumrah di negara modern.
Tapi, kalau serentet jaminan konkret itu tak ada, bagaimana saksi dan korban kejahatan hak asasi berani muncul, apalagi memberikan kesaksian? Padahal, keterangan saksi menjadi hal terkuat untuk menghukum terdakwa.
Buat mantan Koordinator Kontras, Munir, pengadilan hak asasi ad hoc jadi cacat kalau peraturan pemerintah tentang perlindungan saksi tak ada. "Orang bisa enggan bersaksi. Mungkin ia mau bersaksi tapi keterangannya tak benar, jadinya percuma," kata Munir.
Hal senada juga diutarakan oleh diplomat senior Timor Loro Sa'e di Jakarta, Juvencio de Jesus Martins. Menurut dia, saksi-saksi dari Tim-Tim sulit datang ke pengadilan di Jakarta bila belum ada peraturan perlindungan saksi. "Kalau nanti terjadi sesuatu yang tak diinginkan terhadap saksi, tak ada pihak yang akan bertanggung jawab,'' ujar Juvencio.
Menurut staf politik Timor Loro Sa'e, Joao Freitas de Camara, keselamatan saksi selama di Jakarta menjadi sangat penting. Sebab, mereka akan bersaksi pada kasus berskala besar dan sensitif, apalagi beberapa terdakwa berasal dari TNI dan Polri. Karena itu, bekas tangan kanan Xanana Gusmao saat di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta, itu amat berharap agar pemerintah secepatnya mengeluarkan peraturan pemerintah tersebut. Bagaimanapun, "Kini masyarakat jauh lebih kritis dan akan selalu menyoroti berbagai kasus yang dinilai tak adil," tambahnya.
Menanggapi gelombang kritik di atas, Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Abdul Gani Abdullah, menyatakan bahwa pemerintah juga sependapat. "Tanpa peraturan pemerintah, bagaimana pengadilan hak asasi manusia ad hoc bisa berjalan baik?" kata Abdul Gani.
Itu sebabnya, Kamis pekan lalu Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Yusril Ihza Mahendra, telah mengajukan dua rancangan peraturan pemerintah, masing-masing tentang perlindungan saksi dan kompensasi serta rehabilitasi, ke presiden melalui sekretariat negara.
Hal itu dibenarkan oleh Wakil Sekretaris Kabinet, Erman Rajagukguk. Sebelum persidangan perdana pada 14 Maret 2002, kata Erman, dua peraturan pemerintah itu pasti sudah diteken Presiden.
Benarkah begitu? Bagaimana dengan biaya untuk saksi, yang kebanyakan berasal dari Tim-Tim. Untuk soal ini, menurut Erman, selama ini dibebankan pada anggaran di instansi masing-masing. Kalau pemeriksaan saksi di tingkat penyidikan dan penuntutan, biaya ditanggung kejaksaan. Kalau nanti diperiksa hakim, biayanya tentu dijamin oleh pengadilan.
Ahmad Taufik, Agus Hidayat, dan Iwan Setiawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini