Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Yulida tak kuasa menahan tangis saat mengingat kembali malam ketika anaknya, DW, 16 tahun, dibawa ke Polres Kota Tasikmalaya. Hari ini, Kamis, 30 Januari 2025, dia kembali menyambangi Komisi Hukum DPR RI untuk menindaklanjuti kasus dugaan salah tangkap anaknya yang oleh majelis hakim dinyatakan terbukti bersalah melakukan kekerasan yang menyebabkan korban luka berat.
“Saya waktu itu ditelepon Bu Kanit jam 11 malam, langsung ke Polres. Saya disuruh tunggu di lobi, tidak bisa mendampingi D (anak saya) sama sekali,” ujarnya dengan suara bergetar saat menjawab pertanyaan Ketua Komisi III DPR Habiburokhman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia menuturkan sejak awal dirinya tidak pernah mendampingi anaknya dalam proses pemeriksaan. “Berkasnya sudah tebal. Pas BAP pertama, saya tidak mendampingi. Waktu D tanda tangan jam 9 pagi, saya juga tidak ada di sana. Saat diketik pengakuan anak saya, saya tidak mendampingi sama sekali,” katanya sambil sesenggukan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yulida mengungkap kondisi anaknya setelah ditahan yang membuat hatinya hancur. “DW sudah berantakan, kusut banget mukanya, habis disiksa,” ujar Yulida.
Ia menambahkan orang tua lainnya juga mengalami perlakuan serupa, tidak diberi akses mendampingi anak mereka dalam pemeriksaan.
Dalam RDP Komisi Hukum DPR RI, Rieke Diah Pitaloka menyoroti betapa rentannya posisi keluarga anak-anak yang diduga salah tangkap. “Orang tua mereka mengalami tekanan luar biasa. Kehilangan pekerjaan, diusir dari kontrakan, dan diperlakukan tidak adil oleh lingkungan sekitar,” kata Rieke.
Ia menegaskan keadilan bukan hanya bagi anak-anak yang ditahan, tetapi juga bagi keluarga mereka yang harus menanggung penderitaan akibat sistem hukum yang tidak berpihak kepada mereka, “Kami semua punya anak. Bayangkan jika ini terjadi pada anak sendiri."
Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, menjatuhkan vonis 1 tahun 8 bulan penjara terhadap empat anak yang diduga menjadi korban salah tangkap. Mereka dinyatakan terbukti bersalah melakukan kekerasan yang menyebabkan korban luka berat.
Ketua majelis hakim, Dewi Rindaryati, memvonis keempat anak itu dengan hukuman bui dimuka persidangan yang terbuka untuk umum pada Kamis 23 Januari 2025. Hakim juga menyebutkan bahwa putusan itu sempat dibacakan pada Kamis, 16 Januari 2025, namun diulang pada 23 Januari 2025.
Putusan hakim ini lebih ringan empat bulan dari tuntutan jaksa. Keempat anak itu yakni FM, 17 tahun, RS (16), DW (16), dan RR (15). Mereka diperintahkan untuk menjalani hukum penjara di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Bandung.
Dalam pembacaan putusannya, pertimbangan hakim yang memberatkan yakni anak dinilai berbelit-belit dalam menyampaikan keterangannya dan tidak mengakui perbuatannya di muka persidangan. Selain itu, para anak ini juga tergabung dalam komunitas sepeda motor, di mana Kota Tasikmalaya sedang marak kejahatan geng motor yang meresahkan masyarakat.
Pertimbangan hakim yang meringankan anak berhadapan dengan hukum ini yakni diantara mereka masih berstatus pelajar. "Menetapkan para anak tetap berada dalam tahanan. Mengurangi pidana penjara yang sudah dijatuhkan dengan masa tahanan yang telah dijalani," ucap ketua Majelis hakim.
Seperti diketahui sebelumnya, teman korban yang tergabung dalam komunitas Tarung Derajat, kerap mendatangi pengadilan untuk mengawal jalannya persidangan. Mereka juga sempat berunjuk rasa pada Selasa kemarin, agar hakim tidak terpengaruh dalam menentukan putusannya meski ada intervensi dari komisi III DPR.