KREDIT macet adalah "penyakit" yang paling sering membuat bank sempoyongan. Karena itu, berbagai cara diupayakan bank untuk menagih piutang ini. Kadang-kadang, terpaksa dengan menempuh risiko. Akibatnya bisa pahit. Itulah yang dialami Direktur Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Agam Sejahtera, Bukittinggi, Sritua Arief, yang juga kolumnis ekonomi terkenal. Ia harus berurusan dengan pengadilan gara-gara memanggil 26 nasabahnya lewat iklan koran. Ini pertama kali bank memanggil penunggak kredit dengan pengumuman terbuka. Karena itu Sritua dianggap ngemplang terlalu keras. Maka, bukannya kredit macetnya menjadi lancar, kini Sritua malah mesti bersiap menghadapi gugatan ganti rugi. Pekan lalu, didampingi pengacara Masfar Rasyid dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Qistan, para nasabah yang merasa dipermalukan itu mengadu ke polisi. Sambil menunggu keputusan pidana, 19 dari 26 nasabah itu minta LBH menyiapkan gugatan ganti rugi. Tujuh penunggak yang tidak ikut, telah lama merat dari Bukittinggi. Iklan yang menjadi persoalan itu dipasang Sritua pada 9 Mei lalu di halaman belakang koran Singgalang yang terbit di Padang. Ukurannya sebenarnya tidak mencolok, hanya 20 x 12,5 sentimeter saja. Tapi, isinya cukup membuat para penunggak kredit yang dipanggil terhenyak. Dalam iklan itu, Sritua dengan jelas mengungkapkan identitas mereka, lengkap dengan nomor KTP dan foto diri. Hanya tiga orang yang identitasnya tak disertai foto. Mereka dipanggil untuk menyelesaikan utangnya dengan batas waktu 18 Mei 1992. Iklan itu, menurut para nasabah, menuduh mereka mempunyai perilaku dan iktikad tidak baik. Maka, bukannya datang ke kantor BPR Agam Sejahtera, para nasabah malah belok ke kantor polisi dan LBH. "Kami mengadu ke polisi karena ada unsur pidana," kata pengacara mereka, Masfar Rasyid. Menurut Masfar, Sritua bisa dianggap mempermalukan kliennya sebagaimana yang disebut dalam Pasal 310 KUHP. "Kami sungguh menyesalkan caracara yang ditempuh Sritua. Padahal, para nasabah sebenarnya bukan mengingkari utang mereka," ujar Masfar, mewakili kliennya yang kebanyakan ibu-ibu perajin konveksi. Diakuinya, kliennya memang belum mampu melunasi utang. Sebagian karena usahanya gagal. Ada juga yang terjebak piutang macet dan ada yang menerima cek kosong. Sritua tentu menolak anggapan iklan yang dipasangnya sengaja untuk mempermalukan para nasabah. Ia mengaku terpaksa memanggil nasabahnya melalui koran karena sudah berkalikali gagal menagih. Menurut konsultan beberapa bank ini, tindakannya sama sekali tak bertentangan dengan hukum. Di sisi lain tindakan itu ditempuhnya semata-mata untuk mempertahankan dana dari negara dan masyarakat. Uang yang disalurkan BPR ke para nasabah, sebagian memang berasal dari bank pemerintah dan tabungan masyarakat. Selain itu, doktor ekonomi lulusan University of Hull, Inggris, ini mendapat pinjaman dari Bank Exim, Padang. "Maka, saya berkewajiban menyelamatkan uang yang dipercayakan orang lain kepada saya," ujar konsultan Bappenas ini. Sritua mengaku ketar-ketir ketika pada Januari lalu, kredit macet di nasabahnya mencapai Rp 60 juta. Padahal, BPR yang dipimpinnya dikenal sukses. Jumlah kredit dengan bunga 2,5% per bulan itu yang berhasil disalurkan BPR Agam Sejahtera didirikan pada Juni 1989 dan memiliki 200 nasabah mendekati Rp 1 milyar. Ini prestasi yang belum tertandingi BPR lain di Sumatera Barat. Menghadapi tunggakan itu, Sritua memanggil para nasabah. Ia membantu mereka mengatur pengembalian kredit. Caranya, memberi kesempatan membayar utang dengan menabung, menitipkan Rp 510 ribu per minggu. Kepada 26 nasabah itu, usaha ini gagal. Sritua mengancam akan memanggil mereka lewat iklan di koran. Ternyata tidak mempan juga. Sampai akhirnya Sritua melaksanakan ancamannya. Namun, menurut Masfar, apa yang dilakukan Sritua melanggar Pasal 40 Undang-Undang Pokok Perbankan tentang rahasia bank. Sritua dinilainya melanggar hukum perjanjian antara nasabah dan bank ketika mengikat kredit. Di sini dicantumkan bila nasabah ingkar janji, penyelesaian seharusnya dilakukan melalui pengadilan perdata. Penyelesaian kredit macet pada bank pemerintah biasanya memang dilakukan melalui Badan Urusan Piutang Negara. Sementara itu, pada bank swasta penyelesaian ini umumnya disalurkan melalui pengadilan. Selanjutnya, kewajiban nasabah melunasi utang dilakukan melalui hasil lelang barang jaminan. Agaknya, cara yang sudah bisa dipastikan akan menyita waktu ini justru tidak ditempuh Sritua. Apalagi barang jaminan yang diminta dari nasabahnya, umumnya mesin jahit, yang bila dihitung depresiasinya, tak sepadan lagi dengan nilai utang mereka. Karena itu, Sritua mencoba mencari terobosan dengan cara iklan tadi. Rupanya penemuan ini berdampak, paling tidak di Bukittinggi. Namun, menurut Wakil Pimpinan Cabang Bank Indonesia Padang, M. Iskandar, UU Perbankan tidak mengatur penagihan yang bersifat teknis. Pemerintah membuka peluang seluasluasnya kepada setiap bank untuk menjalankan usahanya. Artinya, setiap bank punya peluang untuk memakai cara sendiri membuat perjanjian dan menyelesaikan masalahnya dengan nasabah. "Selama tidak bertentangan dengan ketentuan, setiap bank boleh mengambil inisiatif," ujar Iskandar yang membenarkan Sritua. Penilaian serupa dilontarkan pula oleh pengacara senior Padang, Djanas Raden. Menurut Djanas, iklan panggilan yang dipasang Sritua serupa dengan panggilan yang sering diiklankan perusahaan untuk memburu piutangnya. "Saya yakin cara baru ini akan dipraktekkan juga oleh bank lain," ujar Djanas. G.Sugrahet ty Dyan K. dan Fachrul Rasyid (Padang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini