Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Awas, Inflasi Mulai Binal Lagi

Naiknya inflasi, disebabkan naiknya indeks harga bahan makanan dan indeks keperluan perumahan. Kalau inflasi sampai tidak terkontrol, maka manfaat devaluasi akan hilang terutama untuk bahan ekspor.(eb)

23 Juni 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APA yang ditakutkan pemerintah sesudah Kenop-15 kini mulai tampak. Inflasi Mei kemarin melejit 4,34%, tingkat bulanan tertinggi yang pernah tercatat sejak 12 tahun terakhir. Ini menyusul inflasi April sebesar 2,62%, yang juga cukup tinggi bila dibandingkan bulan-bulan sebelumnya. Jelas sekali, setengah tahun sesudah devaluasi 15 Nopember, penyesuaianpenyesuaian masih terus berlangsung. Dan kelihatannya proses tersebut tak akan berhenti dalam waktu dekat ini. Dengan inflasi Mei sebesar 4,34%, maka inflasi dalam 5 bulan pertama tahun ini sudah mencapai 13%, dua kali lipat inflasi untuk seluruh tahun 1978. Dan tingkat inflasi tahunan pada Mei itu mencapai 25%, tingkat tahunan tertinggi sejak Maret 1974. Faktor utama di belakang inflasi yang tinggi pada Mei tersebut adalah naiknya indeks harga bahan makanan sebesar 4,34%, dan indeks keperluan perumahan dengan 9,4%. Naiknya harga bahan bakar (BBM) sejak 5 April lalu jelas mendorong kenaikan harga di kedua sektor ini. Dan efek berantai itu nampaknya masih akan terus berlangsung. Gila Beberapa pengamat ekonomi, yang pekan lalu ikut Kongres VIII ESEI (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia) di Cisarua ada yang berkomentar: "Yang dikhawatirkan kalau inflasi ini tak lagi bisa dikontrol." Kalau sampai demikian, maka "manfaat devaluasi akan hilang terutama untuk bahan ekspor," kata mereka. Ada benarnya. Sebab, kalau harga bahan ekspor di dalam negeri naik lebih besar dari tambahan penerimaan rupiah dari kurs, maka ekspor akan mengalami kesulitan lagi. Inflasi yang tinggi ini juga akan memaksa industri dalam negeri menyesuaikan harga jual hasil produksinya, yang berarti menjual lebih susah lagi dengan daya beli konsumen seperti sekarang ini. Bahaya lain datang dari luar: itu inflasi impor seperti terjadi pada 1974 ketika harga minyak melonjak sampai 4 kali lipat. Sejak pecahnya revolusi di Iran, harga minyak di pasaran internasional memang terus menanjak. Sekretaris Jenderal OPEC sudah resmi mengakui bahwa harga minyak seharusnya naik menjadi $ 20 per barrel dari harga dasar minyak yang sekarang masih saja $ 14,55, sesuai putusan sidang OPEC di Jenewa pertengahan Desember tahun lalu, yang sudah ditinggalkan orang itu. Nyatanya, di pasaran beberapa jenis minyak dari Afrika, seperti Nigeria, Aljaair, dan Libya sudah jauh di atas $ 20 per barrel. Bahkan Equador dan Iran lebih gila lagi: mereka terakhir menjual minyaknya di pasaran tunai (spot market) dengan $ 38 per barrel, dan laku lagi. Harga bahan-bahan dari negara industri pasti akan naik. Karena Indonesia masih mengimpor sebagian besar dari bahan bakunya, dengan sendirinya inflasi internasional itu akan menyusup ke mari, yang otomatis menambah beban buat industri dalam negeri. Tapi inflasi cost-pus (akibat naiknya biaya-biaya produksi) itu tak hanya datang dari luar negeri. Hal yang ditakutkan Menteri Keuangan Ali Wardhana toh tak bisa dihindari sudah terjadi para buruh dari hanvak perusahaan pada menuntut naik gaji, dan kaum majikan tak bisa lain kecuali memenuhi, sekalipun sebagian, permintaan mereka. Kenaikan gaji dan upah itu akan masuk dalam kalkulasi harga pokok, dan itu akan dibebankan ke pundak konsumen. Bagaimana dengan perkembangan ekspor, tujuan utama devaluasi? Enam bulan sesudah devaluasi yang menggegerkan itu, agaknya memang masih terlalu pagi untuk menilai efeknya terhadap ekspor. Tapi diam-diam ekspor Indonesia nampaknya condong bertambah, sekalipun masih belum bisa dikatakan kenaikan itu adalah akibat adanya devaluasi. Yang pasti, harga beberapa komoditi di pasaran dunia beberapa bulan terakhir lagi dapat angin baik. Dan faktor itu pula yang menyebabkan naiknya ekspor beberapa bahan utama Indonesia seperti karet, kayu dan timah. Ekspor minyak yang sampai akhir 1978 terus merosot akibat danya glut (persediaan yang berlebih), pada akhir tahun anggaran 1978/1979 Maret lalu ternyata sudah meningkat dengan 2,8% menjadi US$ 7,6 milyar. Ini akibat dinaikkannya harga minyak oleh pemerintah, dan adanya konsumen minyak di luar negeri yang berbalik mengimpor minyak Indonesia. Tapi Belakangan Indonesia telah menaikkan harga minyaknya sampai tiga kali dalam waktu 2lh bulan ini. Pertama per 1 April ketika ekspor Minas crude -- harga patokan minyak Indonesia -- naik dengan 12,58%, dari $ 13,90 menjadi $ 15,65 per barrel. Sedang kenaikan rata-rata untuk 17 jenis minyak Indonesia waktu itu mencapai 12,98%. Kemudian per Mei naik lagi dengan 3,2% atau $ 0,50 untuk sebarrel jenis Minas, atau pukul rata untuk semua jenis minyak naik 4,04%. Seakan sudah biasa naik, terakhir, mulai 15 Juni para pembeli di Jepang dan Pantai Barat AS diminta untuk menambah $ 2,10 jika ingin memperoleh sebarrel Minas crude kita. Tapi semua kenaikan harga ekspor minyak Indonesia itu terjadinya baru belakangan dibandingkan dengan kenaikan yang terjadi di negeri OPEC lainnya. Dan itulah pula yang menarik beberapa pembeli luar negeri membeli lebih banyak dari Indonesia. Dalam RAPBN 1978/1979 yang berakhir Maret kemarin, penerimaan pajak perseroan minyak mencapai Rp 2.309 milyar atau Rp 242 milyar di atas rencana, yang terutama disebabkan adanya penyesuaian kurs sesudah Kenop-15. Maka penerimaan dalam negeri yang berhasil dikumpulkan pemerintah mencapai Rp 4.266 milyar, Rp 296 milyar di atas anggaran. Adanya devaluasi rupiah itu, menyebabkan realisasi APBN 1978/1979 berada di atas anggaran dengan Rp 500 milyar, baik pada pos penerimaan maupun pos pengeluaran. Neraca anggaran menunjukkan pada akhir Maret itu, surplus anggaran pemerintah hanya Rp 2,3 milyar, suatu jumlah yang tak ada artinya untuk mengekang efek inflatoir yang muncul setelah devaluasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus