APA yang ditakutkan pemerintah sesudah Kenop-15 kini mulai
tampak. Inflasi Mei kemarin melejit 4,34%, tingkat bulanan
tertinggi yang pernah tercatat sejak 12 tahun terakhir. Ini
menyusul inflasi April sebesar 2,62%, yang juga cukup tinggi
bila dibandingkan bulan-bulan sebelumnya.
Jelas sekali, setengah tahun sesudah devaluasi 15 Nopember,
penyesuaianpenyesuaian masih terus berlangsung. Dan kelihatannya
proses tersebut tak akan berhenti dalam waktu dekat ini. Dengan
inflasi Mei sebesar 4,34%, maka inflasi dalam 5 bulan pertama
tahun ini sudah mencapai 13%, dua kali lipat inflasi untuk
seluruh tahun 1978. Dan tingkat inflasi tahunan pada Mei itu
mencapai 25%, tingkat tahunan tertinggi sejak Maret 1974.
Faktor utama di belakang inflasi yang tinggi pada Mei tersebut
adalah naiknya indeks harga bahan makanan sebesar 4,34%, dan
indeks keperluan perumahan dengan 9,4%. Naiknya harga bahan
bakar (BBM) sejak 5 April lalu jelas mendorong kenaikan harga di
kedua sektor ini. Dan efek berantai itu nampaknya masih akan
terus berlangsung.
Gila
Beberapa pengamat ekonomi, yang pekan lalu ikut Kongres VIII
ESEI (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia) di Cisarua ada yang
berkomentar: "Yang dikhawatirkan kalau inflasi ini tak lagi bisa
dikontrol." Kalau sampai demikian, maka "manfaat devaluasi akan
hilang terutama untuk bahan ekspor," kata mereka.
Ada benarnya. Sebab, kalau harga bahan ekspor di dalam negeri
naik lebih besar dari tambahan penerimaan rupiah dari kurs, maka
ekspor akan mengalami kesulitan lagi. Inflasi yang tinggi ini
juga akan memaksa industri dalam negeri menyesuaikan harga jual
hasil produksinya, yang berarti menjual lebih susah lagi dengan
daya beli konsumen seperti sekarang ini.
Bahaya lain datang dari luar: itu inflasi impor seperti terjadi
pada 1974 ketika harga minyak melonjak sampai 4 kali lipat.
Sejak pecahnya revolusi di Iran, harga minyak di pasaran
internasional memang terus menanjak. Sekretaris Jenderal OPEC
sudah resmi mengakui bahwa harga minyak seharusnya naik menjadi
$ 20 per barrel dari harga dasar minyak yang sekarang masih saja
$ 14,55, sesuai putusan sidang OPEC di Jenewa pertengahan
Desember tahun lalu, yang sudah ditinggalkan orang itu.
Nyatanya, di pasaran beberapa jenis minyak dari Afrika, seperti
Nigeria, Aljaair, dan Libya sudah jauh di atas $ 20 per barrel.
Bahkan Equador dan Iran lebih gila lagi: mereka terakhir menjual
minyaknya di pasaran tunai (spot market) dengan $ 38 per barrel,
dan laku lagi.
Harga bahan-bahan dari negara industri pasti akan naik. Karena
Indonesia masih mengimpor sebagian besar dari bahan bakunya,
dengan sendirinya inflasi internasional itu akan menyusup ke
mari, yang otomatis menambah beban buat industri dalam negeri.
Tapi inflasi cost-pus (akibat naiknya biaya-biaya produksi) itu
tak hanya datang dari luar negeri. Hal yang ditakutkan Menteri
Keuangan Ali Wardhana toh tak bisa dihindari sudah terjadi para
buruh dari hanvak perusahaan pada menuntut naik gaji, dan kaum
majikan tak bisa lain kecuali memenuhi, sekalipun sebagian,
permintaan mereka. Kenaikan gaji dan upah itu akan masuk dalam
kalkulasi harga pokok, dan itu akan dibebankan ke pundak
konsumen.
Bagaimana dengan perkembangan ekspor, tujuan utama devaluasi?
Enam bulan sesudah devaluasi yang menggegerkan itu, agaknya
memang masih terlalu pagi untuk menilai efeknya terhadap ekspor.
Tapi diam-diam ekspor Indonesia nampaknya condong bertambah,
sekalipun masih belum bisa dikatakan kenaikan itu adalah akibat
adanya devaluasi. Yang pasti, harga beberapa komoditi di pasaran
dunia beberapa bulan terakhir lagi dapat angin baik. Dan faktor
itu pula yang menyebabkan naiknya ekspor beberapa bahan utama
Indonesia seperti karet, kayu dan timah.
Ekspor minyak yang sampai akhir 1978 terus merosot akibat danya
glut (persediaan yang berlebih), pada akhir tahun anggaran
1978/1979 Maret lalu ternyata sudah meningkat dengan 2,8%
menjadi US$ 7,6 milyar. Ini akibat dinaikkannya harga minyak
oleh pemerintah, dan adanya konsumen minyak di luar negeri yang
berbalik mengimpor minyak Indonesia.
Tapi Belakangan
Indonesia telah menaikkan harga minyaknya sampai tiga kali dalam
waktu 2lh bulan ini. Pertama per 1 April ketika ekspor Minas
crude -- harga patokan minyak Indonesia -- naik dengan 12,58%,
dari $ 13,90 menjadi $ 15,65 per barrel. Sedang kenaikan
rata-rata untuk 17 jenis minyak Indonesia waktu itu mencapai
12,98%. Kemudian per Mei naik lagi dengan 3,2% atau $ 0,50 untuk
sebarrel jenis Minas, atau pukul rata untuk semua jenis minyak
naik 4,04%. Seakan sudah biasa naik, terakhir, mulai 15 Juni
para pembeli di Jepang dan Pantai Barat AS diminta untuk
menambah $ 2,10 jika ingin memperoleh sebarrel Minas crude kita.
Tapi semua kenaikan harga ekspor minyak Indonesia itu terjadinya
baru belakangan dibandingkan dengan kenaikan yang terjadi di
negeri OPEC lainnya. Dan itulah pula yang menarik beberapa
pembeli luar negeri membeli lebih banyak dari Indonesia.
Dalam RAPBN 1978/1979 yang berakhir Maret kemarin, penerimaan
pajak perseroan minyak mencapai Rp 2.309 milyar atau Rp 242
milyar di atas rencana, yang terutama disebabkan adanya
penyesuaian kurs sesudah Kenop-15. Maka penerimaan dalam negeri
yang berhasil dikumpulkan pemerintah mencapai Rp 4.266 milyar,
Rp 296 milyar di atas anggaran.
Adanya devaluasi rupiah itu, menyebabkan realisasi APBN
1978/1979 berada di atas anggaran dengan Rp 500 milyar, baik
pada pos penerimaan maupun pos pengeluaran. Neraca anggaran
menunjukkan pada akhir Maret itu, surplus anggaran pemerintah
hanya Rp 2,3 milyar, suatu jumlah yang tak ada artinya untuk
mengekang efek inflatoir yang muncul setelah devaluasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini