Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Istilah “bisyaroh” yang muncul di persidangan terdakwa perkara suap jual beli jabatan di Kementerian Agama, Haris Hasanudin Rabu lalu, 29 Mei 2019, kerap digunakan di kalangan santri. Cendekiawan Islam, Nadirsyah Hosen, mengatakan pesantren tradisional (salafiyah) tidak mengenal gaji atau honor untuk pengajar atau ustaz atau santri senior, melainkan bisyaroh”.
"Lebih dimaknai sebagai apresiasi atas khidmat yang telah diberikan atau dikerjakan," kata Rais Syuriah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Australia-New Zealand ini saat dihubungi Tempo, Kamis, 30 Mei 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca juga: Lukman Hakim Saifuddin Kembali Diperiksa ...
Menurut pengajar Fakultas Hukum Monash University, Melbourne, Australia tersebut dunia pesantren percaya penuh terhadap keberkahan dalam pengabdian. Para santri akan senantiasa mengabdi tanpa imbalan apapun. Di pesantren tidak ada kewajiban memberi bisyaroh. “Bisa dikasih atau tidak."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Jika ada bisyaroh, tidak ada kesepakatan nominal. Bentuknya pun tidak harus berupa uang. "Yang penting adalah apresiasi atas khidmat," ujar Nadir.
Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut Lukman dan mantan ketua umum Partai Persatuan Pembangunan, Romahurmuziy alias Romy, menerima uang total Rp 325 juta dari Kepala Kantor Wilayah Kemenag Jawa Timur nonaktif, Haris Hasanudin. Uang ini diduga diberikan agar Rommy dan Lukman memuluskan langkah Haris untuk menduduki jabatan itu.
Kuasa hukum Haris, Samsul Huda Yudha, mengatakan uang itu bukan untuk menyuap melainkan bisyaroh. Bisyaroh, kata Samsul, secara harfiah berarti kabar gembira. Istilah itu biasa digunakan kalangan pesantren untuk menyebut gaji atau bayaran sebagai bentuk ucapan terima kasih.
Baca juga: KPK: Kementerian Agama Seharusnya Jadi ...
Nadir menolak berkomentar soal etika pemberian bisyaroh kepada seorang pejabat negara. Menurut dia pengadilan yang memutuskan pemberian itu etis atau tidak.
Jaksa KPK mendakwa Haris memberikan suap kepada Romy Rp 255 juta. Sebanyak Rp 5 juta diberikan pada Januari 2019, sedangkan Rp 250 juta diberikan pada Februari 2019. Sedangkan untuk Lukman, Haris memberikan Rp 50 juta di Hotel Mercure Surabaya pada 1 Maret 2019. Rp 20 juta sisanya diberikan pada 9 Maret 2019 saat Lukman bertandang ke Pesantren Tebu Ireng, Jombang.
Romy dan Haris telah menjadi tersangka suap jual beli jabatan di Kemenag. Sedangkan Lukman saksi