KEKEJAMAN kini benar-benar memuakkan. Bayangkan, pembunuh tak hanya menggorok leher Pulung Sembiring, 60 tahun, beserta istrinya, Ngena beru Munthe, 45 tahun, dan dua anaknya. Tiga dari empat korban, yang diperkirakan dieksekusi Rabu dua pekan lalu itu, ditumpuk pembunuh di lubang kakus hingga mayat itu berkubang tinja. Esoknya, tak ada yang curiga mengapa seharian penuh, rumah Pulung di Desa Kuta Bale, Tanah Karo, Sumatera Utara, terkunci. Untunglah, pada Kamis siang, menantu Pulung, Hetty boru Damanik yang tinggal bersama suaminya -- anak Pulung -- di Dumai kebetulan pulang ke rumah itu. Hetty mendadak pulang kampung, konon, karena mimpi buruk tentang mertuanya itu. Tapi, itu tadi, Hetty tak bisa masuk ke rumah mertuanya itu karena pintu pagar digembok. Bosan menggedor pintu, ia pergi ke Kabanjahe, 8 kilometer dari desa tersebut, menanyai para familinya, tentang raibnya sang mertua. Tak satu pun yang tahu. Akhirnya, Hetty menjumpai Camat Tiga Panah, Salomo Ginting, yang masih ada hubungan keluarga dengannya. Menjelang magrib, bersama Salomo, Hetty datang lagi ke rumah mertuanya itu. Toh rumah itu sunyi, layaknya tanpa penghuni. Tak ada jalan lain, mereka terpaksa mendobrak pintu pagar dan jendela rumah yang berjeruji besi. Dengan senter, Salomo menyorot ruang tamu rumah. Di situ ia melihat darah yang mulai mengental, berceceran di lantai. Tergopoh-gopoh Salomo dan Hetty melapor ke kantor polisi setempat. Kapolsek Tiga Panah, Letnan Satu G. Saragih beserta anak buahnya, ditemani Salomo dan Hetty, mendobrak pintu rumah tersebut. Di bak penampungan air di belakang rumah itu mereka menemukan mayat anak bungsu Pulung, Sabar Sembiring, 15 tahun terapung. Leher Sabar, yang luka menganga bekas digorok, mengeluarkan darah hingga air di bak itu jadi merah. Ke mana Pulung beserta istrinya, dan seorang lagi anaknya, Selamat Sembiring? Selama tiga jam polisi dan kedua orang tadi berputar-putar di dalam dan pekarangan rumah itu. Tapi tak ada sesuatu yang mencurigakan. Terakhir yang mereka curigai adalah jamban keluarga. "Rumah jamban itu mudah goyang bila disentuh," kata Kapolres Tanah Karo, Letnan Kolonel M. Kumbantobing. Apa boleh buat, polisi terpaksa membongkar rumah jamban itu. Benar saja di lubang kakus berdiameter 60 sentimeter itu, mayat Pulung dan istrinya Ngena Munthe, beserta si sulung Selamat, nampak tersusun. Tangan Pulung, yang sudah kaku, menggapai keluar dari lubang jamban itu. Ketiga mayat itu ditarik keluar. Polisi terpaksa membersihkan mayat-mayat itu dari belatung tinja. Keadaan korban tak beda dengan Sabar mati dengan leher digorok. Siapa pembunuhnya? "Sampai sekarang belum bisa kami pastikan," kata Lumbantobing. Tapi, Lumbantobing curiga kepada Darma Halawa, 30 tahun, dan adiknya Polo Halawa, 15 tahun. Abang adik perantau dari Pulau Nias ini, selama dua tahun terakhir ini, bekerja membantu di ladang cengkih Pulung. Pulung memang tergolong kaya di desa itu. "Darma dan Polo adalah kunci kasus ini," kata Lumbantobing. Kecurigaan polisi memang beralasan. Kamis pagi itu beberapa penduduk desa melihat Darma dan Pola menjinjing tas menuju Kabanjahe. Perantau Nias, teman Darma, yang tinggal di pantai Kabanjahe membenarkan pada hari itu kedua kakak adik itu berkunjung ke situ. Kepada kawan-kawan sekampungnya itu Darma mengatakan mau pulang ke Nias. "Saya balik ke kampung karena di desa Kuta Bale ada kejadian," kata Darma, tanpa menjelaskan maksudnya. Untuk sementara ini, Lumbantobing memperkirakan motif pembunuhan ini perampokan. Sebab, kalung emas Ngena hilang. MS dan Affan Bey Hutasuhut (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini