Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Janji pembunuh berdarah dingin

Para saksi menyebutkan yudi susanto, direktur utama PT CPS, sebagai otak dan perencana pembunuhan marsinah. istrinya, yang mengirim surat kepada presiden soeharto, menghilang.

4 Desember 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIDANG kelima perkara Mutiari dalam kasus pembunuhan Marsinah, Senin pekan silam, batal dihadiri Menteri Tenaga Kerja Abdul Latief. Padahal, ribuan pengunjung sudah berjubel di Pengadilan Negeri Sidoarjo. Juga, organisasi Solidaritas Buruh untuk Marsinah menggelar poster: ''Selamat Datang Menaker RI''. Penjagaan ekstra-ketat. Ada sekitar 700 polisi, 30 pasukan anti-huru-hara, dan beberapa anjing pelacak. Mutiari, 26 tahun, adalah kepala personalia PT CPS (Catur Putra Surya) di Porong, Sidoarjo. Jaksa Buchari menjaring terdakwa dengan Pasal 165 KUHP, karena mengetahui rencana pembunuhan atas Marsinah, buruh di PT CPS di Porong tapi tak dilaporkannya kepada polisi. Ia diancam hukuman 9 bulan penjara. Jaksa juga mencari pasal-pasal lain untuk memberi Mutiari hukuman lebih berat. Persidangan makin seru. Soalnya, dari saksi-saksi utama yang dihadirkan nanti juga diajukan sebagai terdakwa seperti didekte mengarahkan tudingannya pada orang yang merencanakan pembunuhan Marsinah. Mereka menuding Yudi Susanto, Direktur Utama PT CPS di Rungkut, Surabaya. Yudi pula yang memimpin rapat pada 5 Mei, sekitar pukul 16.30, di ruang kerja Yudi Astono, direktur PT CPS di Porong. Isinya: menyusun rencana membunuh Marsinah. Marsinah, 24 tahun, sedang memperjuangkan teman-temannya agar perusahaan menaikkan upah pokok harian dari Rp 1.700 menjadi Rp 2.250. Tunjangan tetap Rp 550 juga dituntut untuk diberikan kepada buruh, hadir atau absen. Selain itu, kabarnya, ia mengirim surat akan membongkar pemalsuan berbagai merek jam di PT CPS yang memang memproduksi jam tangan itu. Pemogokan pun terjadi. Dan jawaban perusahaan: tiga belas buruh yang dianggap biang aksi mogok itu diberhentikan. Pemecatan (PHK) dilakukan di Kodim Sidoarjo. Marsinah tak dipecat, tapi pada 5 Mei malam ia diculik, disekap, disiksa, dan akhirnya dibunuh. Mayatnya dibuang ke hutan lindung Wilangan, Nganjuk, Jawa Timur, dekat desa kelahirannya. Sekitar empat bulan Polda Jawa Timur menyelidiki kasus ini. Karena belum terbongkar, kasus ini menjadi isu internasional. Kemudian, menurut sumber TEMPO, sebuah tim dari pusat turun tangan. Sembilan tersangka diciduk, termasuk Yudi Susanto. Dan setelah itu baru para tersangka diserahkan kepada Polda Jawa Timur. Presiden Soeharto kemudian meminta menuntaskan perkara ini. Dan Mutiari yang diajukan pertama. Pada sidang kelima, Senin lalu itu, Ketua Majelis Hakim, B.J. Simatupang, sempat menegur ulah saksi Achmad Sujono Prayogi, 57 tahun. Satpam PT CPS Porong ini memberi kesaksian sambil ngakak. ''Apakah saudara ini pembunuh berdarah dingin?'' tanya Simatupang. Prayogi mengaku ikut rapat merencanakan pembunuhan Marsinah. Ia bertugas menyekap korban. ''Kalau saya tidak setuju, Yudi Susanto bisa menyewa orang lain untuk membunuh saya, Pak,'' kata Prayogi di persidangan. Imbalannya Rp 1,5 juta, tapi ia ngotot membantah dirinya mata duitan. ''Bukan karena uangnya, Pak. Buktinya, sampai sekarang janjinya itu omong kosong,'' ujar bekas Kepala Desa Porong itu. Selain takut dihabisi, Prayogi dan beberapa saksi lain mengaku khawatir dipecat dari PT CPS. Saksi Yudi Astono, yang hadir dalam rapat pada 5 Mei itu, mendengar rencana pembunuhan atas Marsinah dari mulut bosnya. Waktu itu, ia juga mengaku tak berkutik. ''Saya keberatan. Tapi, saya kan hanya anak buah,'' kata Yudi Astono. Pada malam 5 Mei sekitar pukul 21.30 itu, Satpam Suprapto menjemput Marsinah dari tempat kosnya dengan motor Suzuki RC- 100 miliknya. Ia mengajaknya makan malam. Marsinah setuju. Ternyata, di Tugu Kuning, telah menunggu mobil milik perusahaan. Di dalam ada Widayat (Kepala Bagian Sentral Listrik PT CPS Porong), Prayogi, Ayip (Karyonowongso), Bambang Wuryantoro, dan Kapten Kusaeri, Danramil Porong (lihat Kusaeri dan Boneka Porong). Ayip, yang menjadi tangan kanan Yudi Susanto dalam menjalankan PT CPS di Porong, memerintahkan membawa Marsinah ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita 8 Surabaya. Di sana, Marsinah didudukkan di kursi lipat warna merah. Tangannya terikat ke belakang. Lalu penyiksaan dilakukan. Bambang menyiapkan tongkat pemukul. Dengan dibantu Suprapto dan Kepala Satpam Suwono, mereka menggebuki cewek itu sampai klenger. Selagi pingsan itulah, Bambang dan Suwono menjolok kelamin korban dengan tongkat tadi. Gadis itu ditinggal dalam keadaan sekarat. Lalu pada 7 Mei ada rapat evaluasi hasil pembunuhan Marsinah yang dipimpin Ayip. Dalam pertemuan itu diputuskan: mayat korban dibuang ke Nganjuk, untuk menghilangkan jejak. Tapi, semua keterangan yang menyudutkan keterlibatan Mutiari itu dibantah terdakwa. Misalnya, tentang kehadirannya dalam rapat 5 Mei. Ia mengaku sekitar pukul 16.00 repot menghitung uang pesangon untuk 13 buruh yang dipecat. Dan dalam rapat pada 7 Mei tak ada evaluasi hasil pembunuhan. ''Demi Allah, tak ada pembicaraan mengenai pembunuhan Marsinah. Pak Yudi Astono hanya mengimbau agar kami baik-baik mengantisipasi aspirasi kaum buruh,'' kata Mutiari. Salah seorang penasihat hukum Mutiari, Wayan Titip Sulaksana, sempat melontarkan kritik pada saksi Suprapto, Bambang, Prayogi, dan Yudi Astono yang memberi kesaksian secara lancar. ''Keterangan Anda lancar seperti sungai mengalir. Anda ingat warna baju, dan tempat duduk Mutiari, tapi tidak mengingat warna baju yang Anda kenakan,'' katanya. Kesaksian para saksi itu diskenario? Jaksa Buchari menangkis pembela Mutiari. ''Berpendapat boleh-boleh saja,'' katanya. Tapi, mereka adalah pelaku langsung yang tahu persis apa yang diperbuatnya. ''Tidak mungkin mereka menghafal keterangan sebanyak itu, dan pertanyaannya dibolak-balik dari hakim dan pembela,'' kata Buchari kepada Putu Wirata dari TEMPO. Tersangka Yudi Susanto, 47 tahun, memang belum diajukan ke sidang baik sebagai terdakwa maupun saksi dalam perkara Mutiari. Tapi, istrinya, Lina Melati, katanya sudah mengirim surat kepada Presiden Soeharto. Surat bertanggal 5 November itu antara lain menjelaskan kronologis kasus Marsinah, dan suaminya mengakui jadi dalang pembunuhan itu karena skenarionya sudah disiapkan pihak berwajib. Selain itu, Lina juga menyebutkan pada pers tentang derita putri bungsunya di kelas V SD Bubutan, Surabaya. Ayahnya diejek temannya sebagai pembunuh Marsinah. Cemoohan itu membuat putrinya syok, dan tak mau bersekolah. Kini ia terpaksa diistirahatkan sampai tahun ajaran mendatang. Yudi, menurut Lina, orang yang gila kerja. Pada usia 12 tahun ia sudah turun naik bemo untuk jadi tukang reparasi jam. Pendidikannya SMP, tapi ia otodidak. Minatnya pada elektronika cukup besar. Tahun 1981 ia mendirikan pabrik jam PT CPS di Rungkut. Sepuluh tahun kemudian buka cabang di Sidoarjo. Impian lain, lima tahun mendatang PT CPS akan dijadikannya terbesar di Asia. Setelah itu, ia akan menyulap pabriknya mengalahkan pabrik jam di Swiss. Sebelum itu semua terwujud, muncul kasus Marsinah. Kini, PT CPS terancam bangkrut. Buruhnya yang 1.200 orang tinggal 200-an orang. Sementara itu, Lina sendiri kini menghilang. Ibu tiga anak ini dianggap tahu tentang pembunuhan Marsinah. Soalnya, penyekapan terjadi di rumahnya. Saksi kunci, yaitu dua pembantu di rumahnya akan mengungkapkannya. Menurut Lina, lima petugas ke rumahnya pada 4 Oktober lalu untuk meminjam dua pembantu itu. Dan hingga kini mereka belum kembali. Jika keterlibatan Lina atas pembunuhan Marsinah lemah, menurut sumber di polisi, ia akan dijerat dengan tuduhan sebagai tersangka pemalsuan jam yang diproduksi di PT CPS. Sedangkan menanggapi tuduhan terhadap Yudi Susanto, Lina mengungkapkan, ''Biar suami saya diancam hukuman berat sekalipun, Yudi akan bebas murni.'' Tunggu saja sidang di Pengadilan Negeri Surabaya nanti. Vonis hakim akan memastikan apakah Yudi Susanto benar sebagai perencana pembunuhan Marsinah. Widi Yarmanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum