HARRY Roesli menyebut dirinya seniman mbeling, bandel. Ia memang pemusik gemblung. Determinasinya sangat tinggi, bebas dan berdaulat. Ia seorang yang merdeka, banyak akal, dan tanpa pakewuh melaksanakan jalan pikirannya bila ia merasa memang harus melakukannya. Karya-karya musiknya yang berbau teater (solidaritas) sosial sering terasa liar, amok-amokan, terus terang, dan menghindari ketertiban umum. Tetapi, kalau kita mau sedikit kritis dan jeli, akan segera tampak bahwa ide dasar dan konsep kreatifnya sangat jelas, sederhana, dan mempunyai alasan. Jumat pekan lalu dalam sebuah pertunjukan Musik untuk Generasi Masa Depan yang berlangsung di Taman Budaya Yogyakarta, cucu Pujangga Lama Marah Roesli ini kembali memamerkan karyanya yang terbaru: Off The Record III. Tidak seperti dalam Of The Record I dan II yang terdahulu, peralatan Harry kali ini sederhana saja. Antara lain layar putih, video, papan tuts, pengeras suara, dan tentu saja ulahnya sendiri. Materi tontonan musik Harry yang utama adalah kliping video- film, photo-slide, teks, dan berbagai bunyi-bunyian, baik yang berasal dari elemen musik biasa maupun dari yang oleh terminologi musik elektronik disebut klang-phenomena atau gerausch. Teknik kompositorisnya diambil bukan nyontek dari format teknologi kompositoris musik abad ke-20 yang ruwet dan muluk-muluk, tapi seratus persen dari teater rakyat yang paling sederhana. Keprakan wayang atau kelontangan spontan musik lenong, yang setiap kali ada gerak selalu ada bunyi karikatural yang mengiringinya, atau improvisasi sekenanya. Yang paling menarik adalah garapan tema utama musiknya dan muatan (content) pertunjukan Harry Roesli yang hendak ia ucapkan. Temanya diambil dari editing video-film perebutan kejuaraan tinju dunia kelas berat antara Mike Tyson dan Larry Holmes. Variannya diambil dari potongan-potongan film porno, film keras, wajah-wajah lucu yang memelas atau melecehkan, juga foto sidang DPR yang paling aktual tentang SDSB. Harry mempertontonkan kolase editing film yang sangat menarik dan menggelitik, sementara di belakang sebuah papan tuts (keyboard) ia mengiringi gambar-gambar itu laiknya seperti dalam khazanah film bisu dengan improvisasi spontan sekenanya. Tontonan Harry tentu saja menjadi perhatian hangat bagi anak- anak muda yang memenuhi gedung pertunjukan malam itu. Apalagi muatan musiknya berisi kritik sosial dan keprihatinan umum tentang kekuasaan, budaya kekerasan, keanehan politik, nasib kaum wanita, dan sebagainya. Kritik-kritik itu menjadi sangat komunikatif. Bentuk-bentuk deformatif kesenian Harry Roesli disampaikan dengan jelas dalam bahasa yang lugas tapi tidak menyakiti, untuk mereka yang tidak gampang tersinggung karena perasaan bersalah atau rendah diri yang sudah kronis, tentu saja. Harry memang gemblung. Tontonannya menerbitkan senyum gembira, walaupun berisi kesadaran kritik yang sering terasa getir dan sarkastik. Kemudian, di mana letak estetika musiknya? Pada akhirnya, di zaman sekarang, kalau orang senang, ya selesailah masalahnya. Habis perkara. Toh Harry akan tetap gemblung. Itu sudah menjadi pilihannya yang paling cocok, dan ia konsisten. Musik abad ke-20, musik kontemporer, atau apa pun namanya, memang cenderung memberikan keleluasaan yang tak bertepi. Media menentukan ekspresi, kata Marshall McLaughan. Media elektronik dan komputer dalam musik, ditambah konsep kebebasan demokrasi dalam berpikir dan bertindak, memungkinkan orang berbuat apa saja dengan cara apa pun tanpa mengenali sendiri batasnya. Pertautan bahasa dan batasan musik seperti kembali ke titik nol ketika peradaban musik belum didominasi oleh para pencipta kebudayaan adiluhung. Musik komputer dan elektronik jadi bukan musik elektro-akustik saja memberikan tampungan ide manusia yang sangat leluasa seperti belum pernah terjadi pada masa silam. Hal ini berawal ketika seorang ahli mekanik Amerika Thaddeus Cahill pada tahun 1906 berhasil mentransmisikan suara-suara jaringan telepon ke dalam tabung-tabung magnetik instrumen orgel. Pada tahun 1920 komponis dunia Edgar Varese dan Bohuslav Martinu sudah terangsang oleh perkembangan media musik elektronik ini. Prototipe alat-alat musik ini, seperti Theksminovox, Aetherophone, Trautonium, Ondes Martenot, atau yang paling terkenal Hammond Orgel, sudah memberikan dorongan yang sangat inspiratif pada komponis-komponis besar dunia seperti Darius Milhaud, Arthur Honegger, Varesse, atau Messiano sejak tahun 1930-an. Berakhirnya Perang Dunia II, kemudian juga Perang Korea tahun 1950-an yang begitu banyak meninggalkan peradaban teknologi tinggi, terutama dalam bidang komunikasi elektronik dan komputer, memberikan warisan berharga pada perkembangan modernisasi musik abad ke-20. Pada tahun-tahun ini pulalah, tepatnya tahun 1951, dedengkot musik elektronik abad ke-20 Karlheins Stockhaussen dan kawan- kawan membangun Studio fur Elektronische Musik di Nordwest Deutsche Hundfunk, Koln, Jerman. Ini menjadi titik balik bagi perkembangan musik elektronik di seluruh dunia. Saat ini semua media musik, apakah itu musik serius, pop, rock, jazz, musik teater, tari, bahkan dang-dut, tak terpisahkan dengan gelombang musik elektronik ini. Elektronik dan musik elektronik telah menjadi ciri baru peradaban manusia abad ke-20. Ia telah menjadi idiom ekspresi musik yang digauli di mana-mana saat ini. Lalu mengapa para komponis Indonesia baru menyibukkan diri dengan peradaban ini kemarin sore? Pada pertunjukan musik yang mereka tandakurungi Musik Elektro Akustik (?) di Yogyakarta pekan lalu itu memang hampir semuanya masih tampak sangat elementer, dibandingkan dengan perkembangan kultur musik seperti itu dewasa ini di bagian dunia lain. Sebagai media instrumen, mereka tentu saja telah mengakrabinya. Namun, metode-metode musik elektronik beserta segenap filsafat kompositoriknya yang telah berkembang dengan sangat pesat dalam 40 tahun terakhir ini sama sekali belum mereka kuasai betul. Pendekatan analitis struktur bentuk dan teknik pengembangan bunyi sebagai cara pendekatan estetis daya pengucapan diri mereka masih terlalu elementer dan ''tradisional''. Walaupun sepertinya pendekatan apa pun boleh dipakai pada musik ini, toh hanya mengandalkan sedikit studi, lebih banyak perasaan, spontanitas, dan fantasi saja tidaklah cukup untuk menggauli dunia musik elektronik abad ke-20 yang sangat kompleks dan terus dengan pesat berkembang dewasa ini. Pesona ''lautan bunyi'' (Klangwelt) dan rumitnya bentuk- bentuk suara (Komplexitas Schwingungsformen) menjadi gerbang utama untuk terus digeluti oleh komponis dunia di mana pun sekarang ini. Apa pun alasan Sapto Raharjo, karyanya Wind From the Hill mengesankan ketidaksiapan menghadapi rumitnya studi musik elektronik dewasa ini yang sudah begitu jauh. Karya Franki Raden, yang tidak inspiratif dan mencerminkan miskinnya penguasaan kompositoris musik jenis ini, bahkan mendapat reaksi keras seorang penonton sebagai sebuah karya main-main yang bahkan anak kecil pun mampu melakukannya. Karya itu ditandai oleh komponisnya dengan judul Dilarang Bertepuk Tangan di Dalam Toilet. Jauh lebih menarik adalah karya Ben Pasaribu, yang memberikan kesan inspiratif sebagai sebuah Visionen. Walaupun memakai berbagai nukilan dari karya selusin komponis dunia dan bermacam materi suara sebagai adonan, yang dalam ''tradisi musik kongkret'' memang begitulah hukumnya, Ben agaknya tahu betul bagaimana menuangkan gagasannya dalam garapan yang cukup menarik dan berbicara. Sebuah awal yang baik bagi Ben, dan kesinambungan perjuangan yang tentunya diharapkan dari mereka berempat.Suka Hardjana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini