Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Jaringan-Jaringan Nicodemus

Kapten polisi Nicodemus, 37, divonis hukuman penjara. Terbukti terlibat kasus pembunuhan Steven Adam diduga ia punya sindikat perdagangan narkotik dan mengharapkan imbalan penyewaan pistol. (krim)

3 November 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEBERAPA saat setelah hakim menjatuhkan vonis 18 tahun penjara, Kapten Polisi Nicodemus Tausuun berusaha menguasai diri. Tapi suaranya yang setengah histeri terdengar juga, "Saya tidak bersalah. Saya telah difitnah - Allahuakbar." Nico, 37, bekas kepala Bagian Operasi Polres Bogor itu menurut majelis hakim Mahkamah Militer Priangan - Bogor di Bandung pimpinan Letnan Kolonel Eddi Poernomo, terbukti terlibat dalam kasus pembunuhan Letnan Kolonel Penerbang Steven Adam pada dinihari 29 Mei 1983. Dalam vonis itu, terdakwa juga dipecat sebagai polisi dan kehilangan hak menjadi anggota ABRI. "Terdakwa telah meminjamkan senjata api dan mendukung pembunuhan terhadap korban, karena kelompoknya mempunyai tunggakan pembayaran narkotik kepada korban," begitu menurut Majelis Hakim dalam sidang Sabtu pekan lalu. Dalam sidang sebelumnya oditur menuntut terdakwa dihukum 10 tahun penjara. Besarnya tunggakan, seperti diakui Robert, rekan terdakwa, dalam berita acara pendahuluan (BAP), mencapai Rp 80 juta, yang setelah dicicil beberapa kali tinggal sekitar Rp 35 juta. Karena itu, Majelis Hakim yakin bahwa Nicodemus bersalah. Apalagi setelah mendengarkan keterangan beberapa saksi, terutama Saksi Noldi Sumanti, alias Joni Pelor, 31. Dari pengakuan Saksi yang pernah menghuni LP Kalisosok, Surabaya, tapi sudah mengaku insaf ini, kepada Laksusda Jawa Barat, misteri terbunuhnya Steven Adam bisa terungkap. Joni Pelor, yang berkulit putih, mulanya menyerahkan diri kepada polisi Bogor pada 16 Juni 1983, 18 hari setelah Steven tertembak. Kepada kepala Satserse Polres Bogor, Lettu Djadjang Supriatna, ia mengaku bersama kelompoknya sebagai pembunuh Steven. Pelaku penembakan, katanya ketika itu, adalah temannya bernama Agus Purnomo yang tinggal di Bandung. Ternyata, setelah dicek, "Informasi yang diberikannya itu bohong semua." Sebuah alamat di Bandung yang disebut-sebut sebagai rumah Agus, misalnya, ketika dicek ternyata sebuah gedung sekolah. Pemeriksaan terhadap Joni Pelor akhirnya diambil alih oleh pihak Laksusda Jawa Barat. Di sana ia memberikan pengakuan yang sama sekali berbeda. Ia memang masih menyebutkan bahwa temannya, Agus, yang menembak Steven. Tapi, katanya, pengakuannya itu atas permintaan Nicodemus. Ia mengaku disuruh perwira polisi itu untuk mengaku sebagai yang bertanggung jawab atas pembunuhan Steven dan untuk itu kepadanya dijanjikan imbaian Rp 7 juta. "Kalau sampai ditahan, saya dijanjikan akan diurus dan tak perlu khawatir. Ternyata, sewaktu saya benar-benar ditahan di Polres Bogor, Nicodemus tidak pernah menengok saya," ujar Joni Pelor di hadapan Majelis Hakim, ketika didengar kesaksiannya. Ia juga mengaku pernah mendapat uang sekitar Rp 150.000 dari Nico dan pernah diajak makan di sebuah restoran di Bogor. Berdasarkan pengakuannya itulah pihak berwajib kemudian menangkap, antara lain, Robert, Wallen (adiknya), Leonardus, dan Nicodemus, serta mengejar beberapa tersangka lain. Penembakan terhadap Steven, yang pernah menjadi anggota Kontingen Indonesia Garuda VII di Vietnam (1974) dan sedang dipromosikan untuk menjadi atase militer di AS, itu (Lihat: Dua Sisi sang Penerbang) memang cukup mengejutkan. Dinihari 29 Mei tahun lalu, rumahnya di bilangan Cimanggu, Bogor, Jawa Barat, kedatangan beberapa tamu tak diundang. Steven didampingi istrinya, Ningsih, lalu membuka pintu samping dengan pistol siap tembak. Rupanya, dia kalah cepat. Sebelum pistolnya ditembakkan, terdengar ada pistol lain, yang ditembakkan dari jarak dekat, menyalak dan mengenai dadanya. Ayah tiga anak, yang bar sekitar dua minggu memboyong keluarganya menetap di Cimanggu, itu pun jatuh terkapar. Jiwanya tak tertolong meski pagi itu juga ia dilarikan ke rumah sakit PMI Bogor. Kehadiran para penembak pada dinihari itu merupakan yang kedua kalinya. Tiga hari sebelumnya, juga pada pagi buta, rumah Steven yang baru dan berhalaman luas itu kedatangan beberapa tamu mencurigakan. Tapi kedatangan mereka sempat diusir Steven dengan tembakan ke udara. Rupanya, Steven yakin betul bahwa mereka bakal kembali, sehingga sejak malam hari itu ia tidur di sofa ruang tengah sambil mengepit pistol di bawah ketiaknya. Apa mau dikata, kewaspadaannya itu tak bisa mengimbangi kenekatan para penyerbu yang datang tiga hari kemudian. Yang datang pada malam 26 Mei 1983 ke rumah korban, menurut Saksi Joni Sembiring dalam sidang, adalah "kelompok Bogor" yang terdiri dari Robert Leonardus, dan Walien. Sedangkan yang datang pada 29 Mei 1983 dan berhasil menembak korban adalah "kelompok Jakarta" yang terdiri dari Joni sendiri, Benny, Hilal, dan Awan. Berbeda dengan kesaksian Joni Pelor, Joni Sembiring, 51, penjahat kambuhan yang cukup dikenal itu mengaku bahwa dialah yang menembak Steven. "Saya bidik sinar lampu senter yang dipegang Steven satu kali," katanya ketika didengar kesaksiannya dalam sidang Nicodemus. Ia mengaku mau menjadi algojo karena janji imbalan Rp 10 juta oleh Robert dan kawan-kawan. Senjata api jenis S & W kaliber 38 yang digunakan menembak oleh Joni Sembiring, kata Hakim, tak lain berasal dari Nicodemus. Hal itu dipastikan oleh Laboratorium Kriminil Markas Besar Polri, setelah diadakan pemeriksaan dan pengetesan. Pistol tadi, kata Majelis Hakim, diambil dari gudang di Polres Bogor, tapi pengambilan itu tak pernah dicatat anak buah Nicodemus. Oleh Nico, pistol tadi dipinjamkan kepada Robert, yang sudah mengatur segala sesuatunya untuk menghabisi Steven. Nico berkepentingan terhadap pembunuhan itu, karena ia termasuk orang yang mempunyai tunggakan terhadap Steven. Apalagi karena Robert mengatakan bahwa Steven telah mengancam mereka. Maka, daripada didahului, lebih baik mereka mendahului bertindak terhadap Steven. Entah sejak kapan, tapi, kata Majelis, Nicodemus dan kawan-kawan sudah cukup lama melakukan kegiatan bisnis narkotik. Mereka, yaitu Nico, Robert, dan Leonardus biasa mendapatkan narkotik dari Steven seharga Rp 4 juta per kilo. Kendati begitu, berapa besar sebenarnya jaringan pengedar narkotik yang melibatkan Steven dan Nicodemus tak pernah terungkapkan di persidangan. Juga tak pernah diketahui umlah omset dan daerah pemasaran yang mereka kuasai. Sumber TEMPO menyatakan bahwa perwira menengah TNI AU dan perwira pertama polisi itu, Steven dan Nicodemus, sejauh ini memang belum termasuk dalam blacklist orang yang suka main api dengan narkotik. Namun, kata sumber tadi, yang bernama Robert bukanlah orang asing. "Seluruh narkotik yang beredar di Jakarta, khususnya ganja, saya duga kuat berasal dari tangannya," kata sumber itu. Ia, katanya lagi biasa bekerja dibantu mertuanya - seorang mayor TNI - dan iparnya, seorang kapten. Kedua orang pembantu Robert itu, beberapa waktu lalu, pernah ditangkap Polda Jakarta dan keduanya kemudian diserahkan ke Skogar. Tapi karena bukti yang ditemukan kurang kuat, keduanya kabarnya lalu dibebaskan. Maka, sumber itu menduga, keterlibatan Nicodemus dalam kasus pembunuhan Steven Adam hanyalah sekadar mengharapkan imbalan dari pistol yang disewakannya, dan bukan karena ia mempunyai tunggakan kepada Steven. Tapi Nicodemus sendiri berkeras bahwa ia tak pernah mengambil pistol dari gudang. Tuduhan oditur bahwa ia berdagang narkotik pun dibantahnya. Terus terang ia sangat penasaran terhadap Joni Pelor. "Saya belum pernah berkenalan dengan dia. Dia pembohong besar dan telah melancarkan fitnahan," kata ayah dua anak kelahiran Ambon itu. Fitnah atau bukan, sewaktu masih bertugas di Polda Jawa Barat di Bandung tahun 1976, Nico memang pernah dihukum 3 bulan karena kasus penganiayaan. Sebuah sumber menyatakan, Nico dan beberapa anak buahnya ketika itu menganiaya seorang pria di sebuah hotel di Bandung sampai meninggal karena pria tadi kedapatan mengganggu istri pertama Nicodemus - seorang bekas pramuria asal Manado. Menurut sumber TEMPO di Bandung, penganiayaan itu bukanlah satu-satunya yang pernah dilakukan Nico. Setamat dari Akabri Kepolisian tahun 1970, ia juga terlibat dalam perkelahian massal dengan mahasiswa ITB, Bandung. Dalam keributan tersebut, seorang mahasiswa bernama Rene Conrad tewas tertembak. Sumber TEMPO yang lain di Bogor membenarkan bahwa Nico memang agak ugalugalan dan suka menyerempet-nyerempet bahaya. "Padahal, dia itu orang pintar. Di Akabri dulu, nilainya baik dan termasuk ranking kelima," katanya. Misalnya, tambah sumber tadi, Nico suka berhubungan dengan para penjahat narkotik. Sekali waktu, "Ia pernah menjadi agen penjual ganja, hanya untuk mengetahui jaringan pengedar narkotik di Bogor," katanya lagi. Juga Nico, setahu sumber itu, tak menolak bila dimintai tolong untuk menagihkan utang atau menjaga keamanan pengusaha WNI keturunan Cina. Sudah tentu dengan imbalan. Hidupnya, terutama ketika masih beristri bekas pramuria, memang cukup royal dan gemar berfoya-foya. "Mungkin terpengaruh istrinya," ujarnya. Tapi hidupnya mulai agak berubah setelah ia menceraikan istrinya itu, dan kemudian kawin dengan istrinya sekarang. Semenjak pindah ke Bogor, misalnya, Nicodemus tinggal di rumah cicilan BTN. Dan kini, kata istrinya, rumah tersebut sudah dipindahtangankan. "Sekarang kami tak punya uang untuk membayar cicilan," katanya pula. Nasib rupanya memang sedang menguji Nicodemus dan keluarganya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus