PERKARA penyelundupan 700 gram heroin, yang kini sedang diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, juga menghadapkan seorang tertuduh yang istrinya adalah seorang polwan, perwira menengah di Polda Sumatera Utara. Malahan si istri yang berpangkat letnan kolonel itu dikenal sebagai perwira yang gigih memberantas narkotik. Kisah itu terungkap ketika Letnan Kolonel Nana Permana, kadis Krimtiksila (kepala Dinas Kriminil Narkotik dan Sulila), Polda Jakarta, didengar sebagai saksi dalam sidang dua pekan lalu. Nana tak bisa memastikan apakah kegiatan Munar dalam bisnis gelap narkotik itu diketahui istrinya atau tidak. Hanya, menurut sebuah sumber di Polda Sumatera Utara, Medan, setelah suaminya ditangkap April lalu, Letkol Yeyen, bukan nama sebenarnya, dialihtugaskan. Bahkan kata sumber itu, Yeyen, 40, sempat shock dan dirawat di rumah sakit. Yan Munar, 41, yang bertubuh tinggi besar dan cukup ganteng itu, kini tengah diadili bersama dua rekannya, yaitu Husni alias Yono, 35, dan Sinkek Effendi, 38. Ketiga orang itu tertangkap anak buah Nana pada 30 April lalu di Putri Duyung Cottage, Ancol, Jakarta Utara, saat hendak mengambil sisa pembayaran heroin sebesar Rp 13 juta. Saat itu, petugas polisi yang menyamar dengan nama si Mamat membawa ketiga tersangka dan heroin yang menjadi barang bukti ke Polda Jakarta. Semula diduga, heroin sitaan itu berjumlah satu kilo. Namun, ketika ditimbang lebih teliti, menurut Letkol Nana, satu kilo adalah berat kotor, sedangkan berat bersih hanya 700 gram. Menurut tuduhan jaksa, ketiga tersangka itu dan beberapa tersangka lain yang sampai kini masih buron telah bekerja sama menyelundupkan heroin hidroklorida dari Penang, Malaysia, dan kemudian memperdagangkannya di Indonesia. Heroin murni tersebut, menurut Jaksa Adi Maswan Jaya, dibawa Yono dari Malaysia ke Belawan, Medan, menggunakan perahu motor nelayan. Setiba di Medan, barang terlarang itu diserahkan kepada pemiliknya, yaitu Munar. Menurut Jaksa, lewat seorang perantara bernama Akau, Munar mengetahui ada seorang calon pembeli bernama Edy. Tawar menawar pun terjadi di restoran Tip Top, Medan, pada 23 April. Kedua belah pihak, kata Jaksa, sepakat harga heroin itu adalah Rp 15 juta. Uang muka Rp 2 juta dibayarkan di Medan, sedang sisanya akan dibayarkan di Jakarta. Harga sebesar itu, menurut Mayor Gordon Siadari, wakil kadis Krimtiksila, sangat murah. Sebab, di pasaran gelap, heroin murni sejumlah itu bisa berharga ratusan juta. Maka, ada dugaan si pemilik barang berani menjual murah karena sedang mencari pasaran dan relasi baru, di samping ia memang sedang butuh uang. Dugaan lain, narkotik itu diperoleh dengan cara tidak wajar. Hasil serobotan dan smdlkat lain, misalnya. Uang panjar sebesar Rp 2 juta, kata Jaksa, memang diberikan esok harinya - 24 April - di tempat yang sama. Sedangkan heroinnya baru diserahkan dua hari kemudian di Medan Plaza. Transaksi itu, diam-diam, diamati langsung oleh Gordon yang sejak semula memang sudah mendapatkan informasi. Dua hari setelah penyerahan heroin terjadi, menurut tuduhan Jaksa, Munar dan Yono terbang ke Jakarta. Keduanya lalu mengontak rekan mereka, Singkek. Orang inilah yang menguruskan penginapan di Hotel Jayakarta Tower dan mengantar kedua rekannya ke Putri Duyung Cottage. Di situlah ketiganya disergap petugas polisi antinarkotik Jakarta. Di muka sidang yang dipimpin hakim ketua H. Soeharto, ketiga terdakwa menyangkal semua tuduhan. Singkek memang mengaku kenal dengan Munar, tapi bukan dalam urusan bisnis narkotik. Singkek, yang bekerja di sebuah EMKL (ekspedisi muatan kapal laut) di Jakarta, mengaku hendak diajak bekerja sama mengimpor rotan oleh Munar. Sedangkan Yono mengaku, ia memang pengemudi perahu bermotor, tapi ia merasa tak pernah membawa heroin dari Penang ke Belawan. Munar menyangkal seolah ia pengedar dan penyelundup narkotik. Memang, katanya, ia sering pergi ke Hong Kong, Taiwan, dan Malaysia. Tapi kepergiannya itu dalam rangka bisnis pakaian jadi, berlian, atau batu akik. Diakui, bisnisnya memang dilakukan secara ilegal, dan hasilnya tak seberapa. Bahkan atas pertanyaan Majelis Hakim, ia mengaku bahwa bisnisnya itu banyak gagal karena masih mencoba-coba. Tapi, menurut sumber di kepolisian Medan, Munar sudah lama dikenal sebagai preman alias residivis yang gemar mengedarkan narkotik. Perkenalannya dengan Yeyen, kata sumber itu, adalah karena suatu kali ia tertangkap basah dengan ganja di tangannya. Entah mengapa, ia kemudian berhasil menikahi Yeyen setelah menceraikan istrinya, seorang karyawan Bea Cukai. Dan sebelum dengan orang Bea Cukai itu, Munar pernah pula beristri. Dari kedua istrinya itu Munar memperoleh enam anak. Sedangkan dengan Yeyen, meski sudah lima tahun kawin, belum dikaruniai anak. Tapi, kata Munar kepada TEMPO, "Yeyen sayang sekali kepada saya dan keluarga kami sangat harmonis." Munar barangkali ada benarnya. Sebab, begitu suammya tertangkap, menurut Syarif Siregar, pengacara senior yang juga dikenal sebagai ketua PSMS Medan, Yeyen segera meminta tolong dan menghubunginya. Syariflah memang yang kini mendampingi terdakwa dalam persidangan. Kebetulan, kata Syarif, Munar temannya di SMA dulu. Sayang sekali Yeyen tak hendak bieara tentan kasus suaminva itu. Ketika TEMPO mencoba menghubungi di rumahnya yang sederhana di Jalan Sei Padang, Medan, pekan lalu, ia menolak memberikan keterangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini