Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA sekitar 22.00, telepon berdering di sebuah rumah di Pondok Gede, Bekasi. Setengah malas, Budi Harjono mengangkat telepon itu. Tapi kabar di ujung telepon itu, Selasa dua pekan lalu, melibas kantuknya. ”Segera ke Polda Metro Jaya, Marsin sudah tertangkap,” kata penelepon, disusul keterangan tentang ruang dan nama polisi yang harus ia temui.
Malam itu juga, setelah mengontak pengacaranya, Zulkifli Syukur, Budi meluncur ke Polda Metro Jaya. Ia ditemani ibunya, Sri Eni, dan tiga kerabatnya. Zulkifli sudah menunggu di halaman kantor Polda. Bergegas rombongan kecil itu menuju satu ruang di gedung Direktorat Kriminal Umum. ”Polisi meminta kami memastikan, apakah itu Marsin atau bukan,” Budi bercerita.
Seorang polisi masuk sembari menggelandang satu lelaki yang tertatih-tatih karena kakinya digari. Begitu melihat wajah sang lelaki, Eni meledak. ”Benar dia Marsin, dia yang membunuh suami saya,” teriaknya. Perempuan 56 tahun itu berusaha menjangkau pria yang pernah bekerja sebagai tukang di tokonya. Tapi polisi tangkas menyingkirkan Marsin dari jangkauan Eni.
Marsin, 30 tahun, ditangkap polisi tiga jam sebelumnya di Ciputat, Jakarta Selatan. Ketika itu ayah dua anak ini sedang menarik ojek. Polisi mendapat informasi tentang Marsin secara tak se-ngaja. Pada akhir Juni lalu, ketika polisi mengusut kasus perampokan di Ciputat, mereka mendapat informasi ada tukang ojek yang pernah membunuh pemilik Toko Trubus di Pondok Gede.
”Saya lalu mendatangi toko itu dan bertemu dengan Budi,” ujar seorang re-serse kepada Tempo. Menurut reserse itu, Budi sempat ketakutan ketika ditemui. ”Mungkin dia masih trauma de-ngan polisi,” ujar sang reserse.
Kepada polisi, Marsin mengakui perbuatannya. Ia membunuh Ali Hartawinata, ayah Budi, karena dendam. ”Ia sakit hati karena dipecat,” kata Direktur Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Mochammad Jaelani. Usai membunuh, Marsin kabur ke kampungnya di Cilacap, Jawa Tengah. Polisi justru menuduh Budi Harjono, 27 tahun, yang saat itu baru enam bulan diwisuda dari Fakultas Ekonomi Universitas Ta-rumanagara, sebagai pembunuh ayah-nya.
PERISTIWA berdarah itu terjadi pada 17 November 2002. Ali Hartawinata, pemilik Toko Trubus, toko penjual bahan bangunan, ditemukan tewas di kamar mandi. Kepala pria 61 tahun itu luka dihajar balok. Tapi polisi memastikan penyebab kematian Ali karena cekikan. Istrinya, Eni, ditemukan terkapar de-ngan wajah penuh darah di depan kamarnya. ”Waktu itu sekelebat saya melihat Marsin, setelah itu saya tidak ingat apa-apa,” ujarnya.
Tiga hari sebelumnya, Ali memecat Marsin dan Wagiman, dua tukang asal Cilacap, yang dimintanya membuat rak penampung balok-balok kayu. ”Mereka dipecat karena pekerjaannya tidak bagus, mungkin karena mereka tukang batu, bukan tukang kayu,” ujar Eni.
Tapi polisi tak menggubris laporan Eni yang melihat Marsin memukul diri-nya. Penyidik Polsek Pondok Gede dan Polres Bekasi menyatakan pelaku pembunuhan itu Budi Harjono. ”Mereka lalu membuat berita acara pemeriksaan yang mereka karang sendiri,” ujar Budi. ”Alasannya, tak mungkin pelaku dari luar, karena tidak ditemukan kerusakan di pintu.”
Dalam berita cara pemeriksaan versi polisi, disebutkan pembunuhan yang terjadi pada sekitar pukul 02.00 itu di-picu pertengkaran Ali dan Eni. Ali yang kalap memukul istrinya dengan balok. Ini yang membuat Budi lantas menggebuk bapaknya, mencekik, dan menye-retnya ke kamar mandi. Polisi juga menyebut Ningsih, pembantu Eni, melihat Budi menyeret Ali. ”Padahal saya tidak pernah bilang begitu kepada polisi,” ujar Ningsih kepada Tempo, Senin pekan lalu.
Awalnya Budi berkukuh tak mau mengakui cerita karangan polisi itu. Tapi, pada awal Desember 2002, setelah tiga hari bersama ibunya, adiknya Tommy, dan Ningsih diperiksa Polres Bekasi, ia menyerah. ”Mereka mengancam tak akan mengizinkan ibu saya operasi mata kalau tidak mengakui itu,” ujarnya. Peng-aniayaan itu memang membuat mata Eni dioperasi. Kini, kendati telah dioperasi, mata kirinya cacat, tak bisa mengatup. Di bawah mata itu ditanam sembilan pen. ”Tanpa pen, mata saya akan jatuh ke luar,” ujarnya lirih.
Dua bulan Budi ditahan di Polres Bekasi. ”Di sana saya disuruh melihat tahanan dipukuli,” ujarnya. Ia pun pernah dipukul penyidik. ”Mereka minta saya tidak membantah apa yang me-reka katakan,” katanya. Polisi juga meminta ia menandatangani surat, se-olah-olah selama proses pemeriksaan ia didampingi pengacara bernama Rhenaldy. ”Kata petugas, itu untuk formalitas saja,” ujarnya. Dari tahanan Polres Bekasi, Budi kemudian dipindahkan ke penjara Bulak Kapal, Bekasi.
Pada Maret 2003, kasus Budi dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Be-kasi. Budi didampingi pengacara Zul-kifli. ”Saya mau membantu dia karena, se-telah saya pelajari, saya yakin pelakunya orang lain,” kata Zulkifli. Menurut Zulkifli, polisi keliru menyimpulkan bahwa pelaku orang dalam karena tak ada pintu yang dirusak. ”Orang bisa masuk ke rumah itu melewati tembok belakang,” katanya.
Di pengadilan, saksi ahli dari Ikatan Dokter Indonesia, Hermawan Suryadi, menguatkan bukan Budi pembunuh Ali. Menurut Hermawan, dokter yang pernah merawat Ali saat terkena stroke, kedua tangan Ali lemah. ”Tangan kiri-nya lumpuh, tangan kanannya hanya bisa mengangkat benda ringan seperti sendok,” ujarnya. Jika mengangkat benda berat dan diayunkan, Hermawan memastikan Ali terjungkal lantaran kehilangan keseimbangan.
Pendapat Zulkifli dan Hermawan diterima hakim. Pada Agustus 2003, majelis hakim pimpinan Fauzi Ishak menyatakan Budi bukan pembunuh Ali. Setelah ditahan sekitar tujuh bulan, pemuda itu akhirnya diputus bebas. Jaksa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung terhadap putusan bebas murni tersebut.
PEKAN lalu, Kepala Polda Metro Ja-ya, Inspektur Jenderal Adang Firman, membentuk tim untuk menyelidiki kasus salah tangkap itu. Dadang menyatakan akan menindak polisi yang mereka-yasa kasus ini. ”Preman saja kami tindak, apalagi polisi,” katanya.
Sejumlah polisi yang empat tahun lalu memeriksa keluarga Ali sampai kini masih bertugas di Bekasi. ”Tapi, untuk kasus ini saya tidak mau menjawab, takut salah,” ujar Inspektur Satu Sugeng Prayitno, bekas Kepala Unit Reserse Polsek Pondok Gede, yang kini Kepala Unit Narkoba Polres Bekasi.
Ajun Inspektur Satu Bambang S.P., penyidik Polres Bekasi, juga menolak dituduh merekayasa berita acara pemeriksaan Budi. Ia juga membantah memukul Budi agar pemuda itu mengikuti skenario yang sudah ia siapkan. ”Kalau salah tangkap itu biasa, risiko pekerjaan,” k-atanya. Bambang menyatakan menye-rahkan masalah ini ke atasannya. ”Kalau nama saya disebut-sebut, biar saja.”
Akan halnya Marsin, sulit ia diajak- ber-bicara. Ditemui di penjara Polda Me-tro Jaya, Kamis pekan lalu, ia hanya- me-na-tap sejenak wartawan Tempo, lalu me-le-ngos pergi. ”Ia tak mau bicara dengan orang tak dikenal,” ujar seorang taha-nan-.
Kabar tertangkapnya Marsin juga sampai ke bekas ketua majelis hakim yang mengadili Budi, Fauzie Ishak. ”Sa-ya memang terus memantau kasus ini, dan lega mendengarnya,” kata Fau-zie-, kini hakim di Pengadilan Tinggi Ka-limantan Timur. Menurut Fau-zie, da-ri bukti-bukti di pengadilan, ia yakin- Budi bukan pembunuh bapaknya. ”Karena- itu kami dulu membebaskannya,” ujarnya.
Zulkifli, pengacara Budi, meng-harap Mahkamah Agung segera menge-lu-ar-kan putusan yang menguatkan putu-s-an- Penga-dilan Negeri Bekasi. Ia juga memin-ta polisi bertanggung jawab atas tindakan salah tangkap ini. ”Siapa yang melakukan rekayasa itu harus dihu-kum,” katanya.
L.R. Baskoro, Siswanto (Bekasi), Sri Wibisono (Samarinda)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo