Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SALINAN pembayaran Pajak Bu-mi dan Bangunan (PBB) untuk Pem-bangunan Perumahan Nasio-nal (Perumnas) 2005 sekilas tidak bermasalah. Isinya sebagai-ma-na layaknya tagihan pembayaran PBB di mana-mana. Di salinan itu tertulis tagih-an PBB sebesar Rp 329.167.188 dengan obyek pajak lahan seluas 95.577 meter persegi. Lahan itu beralamat di Jalan Raya Kamal RT 000 RW 14 Cengkareng Timur, Jakarta Barat.
Namun, dari penelusuran Tempo, terlihat keganjilan, yakni soal obyek pajak dan kepemilikan lahan yang tertera di salin-an surat PBB itu. Tak ada persoal-an Perumnas membayar tagihan PBB jika lahan itu miliknya. Kenyataannya, kepemilikan atas lahan itu ternyata telah beralih ke PT Bangun Cipta Karya Perkasa. Peralihan itu terjadi sejak 2003.
Peralihan kepemilikan itu disahkan dalam satu perjanjian kerja sama Perumnas dan Bangun Cipta. Perjanjian kerja sama itu bertujuan untuk membangun dan memasarkan rumah mewah di atas areal tanah milik Perumnas yang luasnya sekitar 300 ribu meter persegi.
Sebelum kerja sama berlangsung, Perumnas ternyata telah lebih dulu meminta penurunan nilai jual obyek pajak (NJOP) atas lahan itu ke Kantor PBB Jakarta Barat. Menurut pengacara Perumnas, Soeprijadi, itu untuk meringankan beban pembayaran pajak. Permohonan penurunan NJOP dikabulkan Kantor Pelayanan PBB Jakarta Barat. Nilai pajak pun turun dari Rp 614 ribu per meter persegi menjadi Rp 335 ribu per meter persegi.
Dari data di kantor Pelayanan PBB Jakarta Barat, Rabu pekan lalu, ternyata Perumnas bukan saja melunasi tagih-an PBB untuk 2005, tapi juga telah melunasi pembayaran tagihan PBB untuk dua tahun sebelumnya. Ini tentu menimbulkan tanda tanya. Soalnya, lahan itu sudah beralih ke Bangun Cipta. Jumlah pembayaran PBB pun cukup besar, yakni sebesar Rp 381.840.000 untuk 2003 dan pada 2004 sebesar Rp 452.916.996.
Tapi ada kejanggalan lain di sini. Luas lahan yang dikenai PBB mengalami penyusutan selama tiga tahun. Pada 2003 luas tanah 185 ribu meter persegi, setahun kemudian jadi 131.509 meter persegi, dan pada 2005 menjadi 95.577 meter persegi.
Kasus penurunan NJOP di lahan Perumnas ini sebenarnya sudah masuk ke Kejaksaan Agung. Indonesia Corruption Watch (ICW) yang tahun lalu melaporkan dugaan korupsi itu. Menurut ICW, korupsi itu dilakukan dengan modus menu-runkan NJOP. Tim jaksa sudah dibentuk untuk me-me-riksa sejumlah pejabat Perumnas yang diduga terlibat kasus ini. ”Sampai kini klien saya masih diperiksa,” ujar Soe-prijadi, pengacara Pe-rumnas.
Hanya, kendati segepok do-kumen sudah disodorkan ICW dan sejumlah direksi perusahaan pelat merah itu diperiksa, kasus ini seperti jalan di tempat. Sampai kini, misalnya, pemeriksaan kasus ini masih terus dalam tahap penyelidikan.
Jaksa Agung Muda Pidana K-husus Hen-darman Supandji menolak jika peng-usutan kasus ini disebut mandek. Me-nurut dia, jaksa masih terus me-ngum-pulkan bukti-bukti baru mengenai ka-sus lahan Perumnas di Cengkareng. ”Belum mentok,” katanya kepada Tempo Jumat pekan lalu.
Menurut Hendarman, timnya memang harus menemukan bukti baru untuk kembali mengusut kasus yang pernah dihentikan penyidikannya oleh Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Ba-rat, Darmono. Dengan alasan tidak dite-mu-kan cukup bukti tentang terjadinya korupsi, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Barat, Darmono, pada Oktober 2002 menge-luarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Pemeriksaan terhadap Soeroto Martomidjojo, bekas Direktur Utama Perumnas, dan tiga pejabat Perumnas pun dihentikan.
Menurut Hendarman, saat ini ia te-ngah menggodok strategi baru untuk membongkar korupsi di Cengkareng ini lewat pengusutan dugaan kasus korupsi lainnya yang terjadi di Perumnas. Modus kejahatan lainnya itu, menurut dia, mirip dengan kasus Cengkareng. ”Jika pengusutan kasus lain itu ditemukan adanya bukti-bukti korupsi, maka pembuktian korupsi kasus Cengkareng lebih mudah,” kata Hendarman.
Menurut Adnan Topan Husodo dari Indonesia Corruption Watch (ICW), kejaksaan harus mengusut pembayaran tagihan PBB oleh Perumnas terhadap tanah yang tidak lagi dimilikinya itu. Menurut Adnan, bukti Perumnas terus membayar pajak PBB yang lahannya sudah bukan miliknya itu adalah temuan baru dari rangkaian dugaan korupsi di Perumnas yang dilaporkan ICW setahun silam.
Meski beberapa waktu lalu direksi Perumnas membantah ada peralihan hak, menurut Adnan, surat Hadi Rudjito, inspektur pada Inspektorat Bidang Investigasi Departemen Keuangan, ke ICW mementahkan pernyataan direksi Perumnas. Pada surat bertanggal 20 Maret 2006, Hadi menjelaskan, peralihan hak atas tanah milik Perumnas itu berdasarkan data pelaporan surat setoran bea perolehan hak atas tanah dan ba-ngun-an pada Kantor Pelayanan Pajak Ja-karta Barat Dua. Pada 2003, ujar Hadi, terjadi beberapa kali mutasi peralihan hak atas tanah dari Perum Perumnas ke PT Bangun Cipta Karya Persada. Peralihan itu menggunakan NJOP PBB pada 2003 sebesar Rp 1,028 juta per meter persegi.
Sumber Tempo di Perumnas menje-laskan, kejaksaan mestinya mencermati proses lahirnya perjanjian kerja sama Perumnas dengan Bangun Cipta dan beberapa pihak ketiga lainnya. Menurut sumber itu, direksi sering kali melangkahi dewan pengawas Perumnas ketika mengadakan kerja sama dengan pihak ketiga. ”Padahal Dewan Peng-awas harusnya diberi tahu,” katanya. Direksi, menurut sumber itu, melanggar Peraturan Pemerintah tentang Perusahaan Umum Pembangunan Perumah-an Nasio-nal. Peraturan itu menyebutkan, setiap perjanjian kerja sama harus mendapat izin persetujuan dari Dewan Peng-awas. ”Kenyataannya tidak seperti itu,” ujarnya.
Kerja sama itu pun, ujar sumber Tempo itu, menyalahi misi Perumnas yang seharusnya menyediakan rumah murah bagi masyarakat. Ini terlihat dari pengurangan target pembangunan rumah murah oleh direksi. Pada 2005, misalnya, target pembangunan rumah murah diputuskan 40 persen. Pada 2006 target turun menjadi 30 persen. Padahal, kata sumber itu, kerja sama de-ngan pihak ketiga selama 2003–2005 telah membukukan keuntungan bagi Pe-rum-nas sekitar Rp 900 miliar. De-ngan keuntungan seperti ini, target pemba-ngunan rumah murah mestinya lebih besar. ”Lalu ke mana saja uang seba-nyak itu?” ujarnya.
Maria Hasugian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo