Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menagih laporan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) kepada jaksa penuntut umum di sidang Tom Lembong, terdakwa kasus korupsi impor gula. Namun, jaksa masih keberatan. Akhirnya penyerahan laporan itu diputuskan sebelum sidang pemeriksaan ahli.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Pada sidang yang lalu, kami meminta penuntut umum untuk memperlihatkan laporan hasil audit pemeriksaan kerugian keuangan negara, apa sudah bisa disampaikan?" tanya Ketua Majelis Hakim Dennie Arsan Fatrika di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat, Kamis, 20 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Jaksa penuntut umum (JPU) menjawab, "sebelum kami menyampaikan tanggapan terhadap permohonan laporan hasil pemeriksaan tersebut, mohon waktu kami akan menyampaikan tanggapan secara tertulis kami."
Dennie pun bertanya apa maksud tanggapan tertulis itu. JPU mengatakan, tanggapan itu mengenai permohonan laporan audit BPKP yang disampaikan Tom Lembong melalui penasihat hukumnya pada sidang pekan lalu.
"Silakan bisa sampaikan, inti tanggapan saudara penuntut umum seperti apa?" tanya Dennie.
Jaksa menjawab, "siap izin majelis hakim."
"Karena sidang sebelumnya dari penasihat hukum sudah kami dengar alasannya, penuntut umum di sidang sebelumnya juga menyatakan keberatan, namun belum menyampaikan alasannya. Hari ini baru mau tertulis?" cecar Dennie.
Jaksa mengiyakan. Akhirnya, Dennie punmeminta agar tanggapan tersebut diringkas.
Penasihat hukum Tom Lembong, Ari Yusur Amir, langsung menanggapi. "Sesuai dengan hasil persidangan kita kemarin dan tentunya tercatat dalam kepaniteraan, Yang Mulia Majelis Hakim telah menetapkan, menegaskan bahwa hari ini adalah—"
"Kalau penetapan, tidak ada. Kami cuma menyampaikan, ini lah kami tanyakan, kami selesaikan dulu dengan penuntut umum," kata Dennie.
Jaksa penuntut umum kemudian membacakan tanggapannya. Ia mengatakan, JPU telah mencermati alasan penasihat hukum terdakwa. Namun setelah dicermati aturan-aturan tersebut, lanjut dia, sama sekali tak relevan dan tidak terkait.
"Untuk selanjutnya, kami akan menyampaikan keberatan penuntut umum atas permohonan penasihat hukum terdakwa, yaitu sebagai berikut. Satu, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 183 KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana)—"
Hakim Ketua Dennie lantas memotong penyampaian Jaksa. Ia mengatakan, pada pekan lalu, penasihat hukum terdakwa mengajukan permohonan secara lisan. "Jadi kami rasa singkat saja ya, tidak perlu disampaikan secara tertulis."
"Izin Yang Mulia, bahwa dalam perkara a quo, laporan hasil audit perhitungan kerugian keuangan negara atas dugaan tindak pidana korupsi dalam kegiatan importasi gula di Kemendag 2015-2016 tanggal 20 Januari 2025 dari BPKP merupakan salah satu alat bukti surat," kata JPU.
Menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP huruf c, lanjut dia, alat bukti tersebut akan dijelaskan secara jelas dan lengkap oleh ahli dari BPKP. Penjelasan itu akan disampaikan saat agenda persidangan pemeriksaan ahli.
Jaksa juga mengutip Pasal 143 ayat (4) KUHAP, yakni turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikan kepada tersangka atau penasihat hukum dan penyidik. Dalam penjelasan beleid tersebut, surat pelimpahan itu lengkap beserta surat dakwaan dan berkas perkara.
"Namun Pasal 143 ayat (4) KUHAP tidak menyebutkan beserta alat bukti cq LHP BPK RI," kata JPU.
Menurut Jaksa, kedudukan alat bukti surat sebagaimana diatur Pasal 184 ayat 1 huruf c KUHAP, berupa laporan hasil pemeriksaan atau LHP BPK menjadi dasar bagi penuntut umum untuk menuntut terdakwa. Sehingga, JPU berkepentingan dan berkewajiban menjaga alat bukti itu. Termasuk mencegah pihak lain bisa menggunakan alat bukti berupa LHP BPK itu di luar kepentingan penuntutan dan pembuktian di persidangan.
"Atas dasar tersebut, penuntut umum akan menyerahkan salinan laporan hasil pemeriksaan LHP dari BPKP melalui pihak majelis hakim pada saat persidangan dengan agenda pemeriksaan ahli dari BPKP," ucap Jaksa.
Dennie mengatakan, intinya jaksa penuntut umum keberatan. Ia pun menilai penasihat hukum Tom Lembong akan tetap pada permohonannya meminta salinan laporan hasil audit BPKP atas kerugian keuangan negara dari impor gula.
Majelis hakim sempat berdiskusi sejenak. "Jadi pada pokoknya, majelis tetap pada sikap semula bahwa adalah hak terdakwa dan penasihat hukum untuk mengetahui dan mempelajari laporan hasil audit perhitungan kerugian negara," ujar Dennie.
Kendati demikian, majelis hakim juga ingin mengakomodir permintaan jaksa penuntut umum. Akhirnya, JPU diminta menyerahkan laporan hasil audit BPKP itu sebelum pemeriksaan atau pengajuan ahli.
"Apabila tidak diserahkan, artinya ada pelanggaran hak terdakwa di situ. Demikian," tegas Dennie.
Sebelumnya, JPU mendakwa Tom Lembong merugikan keuangan negara sebesar Rp 578.105.411.622,47 atau Rp 578,1 miliar. Ini berdasarkan "Laporan Hasil Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara atas Dugaan Tindak Pidana Korupsi dalam Kegiatan Importasi Gula di Kementerian Perdagangan Tahun 2015 sampai 2016" BPKP berwarkat 20 Januari 2025.
Tom juga didakwa memperkaya orang lain atau korporasi sebesar Rp 515.408.740.970,36 atau Rp 515,4 miliar. Angka tersebut merupakan bagian dari keuangan negara sebesar Rp 578,1 miliar. Namun, Jaksa dalam surat dakwaannya tidak menjelaskan sisa kerugian Rp 62,7 miliar berasal darimana.
Dinukil dari surat dakwaan Tom Lembong, kerugian keuangan negara sebanyak Rp 578,1 miliar itu berasal dari dua hal. Pertama, dari kemahalan harga yang dibayarkan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (Persero) dalam pengadaan gula kristal putih untuk penugasan stabilisasi harga atau operasi pasar. Kedua, dari kekurangan pembayaran bea masuk dan pajak dalam rangka impor (PDRI).