SUPARMAN, 22 tahun, pernah tiga kali membantu pencuri. Malang,
bapak dari seorang anak ini terjaring OPK (Operasi Pemberantasan
Kejahatan). Serta-merta masyarakat Baturetno (Bantul,
Yogyakarta) menggolongkannya sebagai gali, walaupun sehari-hari
ia membantu mertuanya menggiling tahu. Tentu saja ia malu.
Tapi sejak minggu lalu, hatinya sudah mantap berangkat
bertransmigrasi ke Riau. "Saya sudah siap dan mantap," katanya.
Selama dua bulan ia mengikuti gemblengan mental dan latihan
keterampilan di Balai Penelitian Kesejahteraan Sosial (BPKS),
sebuah lembaga di bawah Departemen Sosial, di Nitipuran,
Yogyakarta.
"Saya benar-benar merasa dibina. Dan bisa menerapkan hasil
latihan selama di BPKS," katanya lagi. Ia berlatih menanam
palawija, seperti jagung dan ketela, juga berlatih keterampilan
sebagai tukang pangkas rambut, tukang batu, tukang las, dan
tukang kayu. Ia satu-satunya bekas gali yang bersedia
bertransmigrasi di antara delapan lainnya.
Ini merupakan "pendekatan baru", setelah usaha menjinakkan para
gali di Ambarawa, tiga tahun lalu, dianggap gagal -- malah ada
beberapa peserta yang melarikan diri. "Pendidikan di Ambarawa
itu gagal, terutama karena tidak mampu menggugah mental dan
moral mereka. Lagi pula terlalu teoritis kurang menitikberatkan
keterampilan praktis," ujar Kapendam VII Diponegoro, Letkol
Antono Margi.
Maka, dengan semangat tinggi Direktur BPKS, Nelam,
menyelenggarakan latihan dan pendidikan bekas gali itu. Ia
berpendapat, mewajibkan para gali apel di Koramil tidak menjamin
mereka insaf, sementara mengurung mereka di Lembaga
Pemasyarakatan justru cenderung meningkatkan kemampuan sebagai
penjahat.
"Dalam pergaulan antara sesama penjahat, mereka cenderung saling
tukar pengalaman. Yang teri belajar dari yang kakap," katanya.
"Lihat saja di LP Wirogunan, Yogyakarta, maling ayam punya
kesempatan bergaul erat, bahkan sering menjadi tukang pijat
maling-maling kelas kakap," tambahnya. Itu sebabnya BPKS
melakukan pendekatan manusiawi.
Angkatan pertama pendidikan ini terdiri sembilan orang, dilatih
sejak Juli lalu. Mereka rata-rata berusia di bawah 25 tahun.
Menurut Komandan Kodim Bantul, Letkol M.Jaisar Amir, yang
dikirim ke BPKS memang dipilih yang berusia muda, menganggur,
dan tidak memiliki keterampilan. "Saya berpikir penyelesaiannya
tidak bisa ditempuh hanya dengan interogasi dan wajib lapor,"
katanya.
Meskipun rata-rata hanya berpendidikan SD, mereka cukup cerdas.
Barangkali itu sebabnya mereka banyak akal -- ketika masih jadi
gali dulu. Dengan sebutan mentereng Siswa Sosiawan Wirakarya,
mereka dididik dengan cuma-cuma. Pola hidup mereka diubah sama
sekali. Mereka digembleng terbiasa bekerja keras.
Selama dua bulan jadwalnya ketat: bangun subuh, pukul 8 sampai
13 mengikuti pendidikan, dilanjutkan sore hari. Malam hari,
sampai pukul 21, mereka mengikuti pendidikan lagi. Boleh dikata
hampir 24 jam acaranya padat. Mereka dilatih (teori dan praktek)
bercocok tanam dan menguasai berbagai keterampilan seperti yang
didapat Suparman.
Tinggal di asrama dengan kasur empuk makan-minum tentu saja
gratis -- seminggu sekali mereka diizinkan menengok keluarga.
Dan yang istimewa, keluarga mereka pun tak luput dari pembinaan.
Anggota keluarga bekas gali itu, setiap jiwa, mendapat bantuan
10 kg beras per bulan dan uang Rp 150 per hari. Juga dibimbing
cara hidup yang layak.
Tamat dari "sekolah" pun mereka masih dibantu modal Rp 50 ribu
sampai Rp 80 ribu -- tergantung dari jenis usaha masing-masing.
Bila mereka benar-benar menunjukkan sikap insaf, bisa terpilih
untuk diberangkatkan bertransmigrasi. Dan dari jauh BPKS akan
melakukan evaluasi selama 1-2 tahun.
Minggu lalu, angkatan kedua (terdiri dari 10 orang) mulai masuk
pendidikan. "Tapi, ini juga merupakan angkatan terakhir. Sebab
sebagai lembaga peneliti sosial, BPKS tidak mungkin
terus-menerus menyelenggarakan pendidikan. Kami hanya ingin
menunjukkan contoh dan resep, beginilah cara penanganan gali
yang purna-tuntas," ujar Nelam.
Maunya pihak Kodim Bantul menyerahkan 600 bekas gali untuk
digembleng. Bahkan, Pemerintah Daerah Bantul sudah mempersiapkan
Desa Guwosari di kawasan Selarong untuk permukiman mereka --
semacam "desa bromocorah" di Jawa Timur yang diusahakan oleh
Soewono Blong, pemenang Kalpataru 1983 itu. Cuma bedanya,
Guwosari akan ditangani oleh semua instansi.
Gali Bantul dipilih sebagai obyek penelitian karena banyaknya
"anak-anak liar" di sana. "Daerah ini dikenal sebagai gudangnya
gali, karena merupakan 'daerah kantung'. Penduduknya padat,
lebih dari 1.300 jiwa per km persegi," kata Suparlan, Kepala
Biro Kesra Pemerintah Daerah Bantul. Yang jelas, karena Bantul
tandus dan penduduknya rata-rata miskin.
Hasil penggodokan ini belum bisa dilihat buktinya. Sebab,
angkatan pertama saja baru lulus minggu kemarin. Sedang angkatan
kedua umumnya enggan bertransmigrasi, padahal mereka
dipersiapkan untuk itu. Seperti Paulus Paryono, 28 tahun, yang
semula dikenal ke-gali-annya hanya karena pernah membantu
mengantar barang-barang hasil curian. "Selesai mengikuti
pendidikan saya pengin jadi pedagang kecil dan bertani,"
katanya. Ia enggan bertransmigrasi sebab orangtuanya sudah "di
seberang" sana.
Semua peserta merasa puas, tentu saja. Termasuk Sugiyono, 24
tahun, yang mengaku pernah dihukum 4 bulan karena mencuri
sepeda. "Dalam pendidikan semuanya terjamin. Dan gratis. Dari
mana lagi saya mendapat pengetahuan dan keterampilan kalau tidak
dari penaidikan seperti inl," katanya. Dengan bantuan modal Rp
70.000 ia mau beternak ayam.
Bersama istri dan seorang anaknya, Sugiyono sudah tercatat
sebagai peserta transmigrasl. "Tapi tidak berangkat sekarang.
Saya tunda sampai kira-kira pertengahan 1984 nanti, sebab anak
saya sekarang baru berumur 4 bulan," katanya. Kini Sugiyono
masih wajib lapor di sebuah koramil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini