Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Kapok mencuri, kini bertani

Gemblengan mental dan ketrampilan bekas gali di bkks, yogya. Pendekatan baru untuk menjinakkan mereka. angkatan pertama lulus 9 orang. (krim)

17 September 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUPARMAN, 22 tahun, pernah tiga kali membantu pencuri. Malang, bapak dari seorang anak ini terjaring OPK (Operasi Pemberantasan Kejahatan). Serta-merta masyarakat Baturetno (Bantul, Yogyakarta) menggolongkannya sebagai gali, walaupun sehari-hari ia membantu mertuanya menggiling tahu. Tentu saja ia malu. Tapi sejak minggu lalu, hatinya sudah mantap berangkat bertransmigrasi ke Riau. "Saya sudah siap dan mantap," katanya. Selama dua bulan ia mengikuti gemblengan mental dan latihan keterampilan di Balai Penelitian Kesejahteraan Sosial (BPKS), sebuah lembaga di bawah Departemen Sosial, di Nitipuran, Yogyakarta. "Saya benar-benar merasa dibina. Dan bisa menerapkan hasil latihan selama di BPKS," katanya lagi. Ia berlatih menanam palawija, seperti jagung dan ketela, juga berlatih keterampilan sebagai tukang pangkas rambut, tukang batu, tukang las, dan tukang kayu. Ia satu-satunya bekas gali yang bersedia bertransmigrasi di antara delapan lainnya. Ini merupakan "pendekatan baru", setelah usaha menjinakkan para gali di Ambarawa, tiga tahun lalu, dianggap gagal -- malah ada beberapa peserta yang melarikan diri. "Pendidikan di Ambarawa itu gagal, terutama karena tidak mampu menggugah mental dan moral mereka. Lagi pula terlalu teoritis kurang menitikberatkan keterampilan praktis," ujar Kapendam VII Diponegoro, Letkol Antono Margi. Maka, dengan semangat tinggi Direktur BPKS, Nelam, menyelenggarakan latihan dan pendidikan bekas gali itu. Ia berpendapat, mewajibkan para gali apel di Koramil tidak menjamin mereka insaf, sementara mengurung mereka di Lembaga Pemasyarakatan justru cenderung meningkatkan kemampuan sebagai penjahat. "Dalam pergaulan antara sesama penjahat, mereka cenderung saling tukar pengalaman. Yang teri belajar dari yang kakap," katanya. "Lihat saja di LP Wirogunan, Yogyakarta, maling ayam punya kesempatan bergaul erat, bahkan sering menjadi tukang pijat maling-maling kelas kakap," tambahnya. Itu sebabnya BPKS melakukan pendekatan manusiawi. Angkatan pertama pendidikan ini terdiri sembilan orang, dilatih sejak Juli lalu. Mereka rata-rata berusia di bawah 25 tahun. Menurut Komandan Kodim Bantul, Letkol M.Jaisar Amir, yang dikirim ke BPKS memang dipilih yang berusia muda, menganggur, dan tidak memiliki keterampilan. "Saya berpikir penyelesaiannya tidak bisa ditempuh hanya dengan interogasi dan wajib lapor," katanya. Meskipun rata-rata hanya berpendidikan SD, mereka cukup cerdas. Barangkali itu sebabnya mereka banyak akal -- ketika masih jadi gali dulu. Dengan sebutan mentereng Siswa Sosiawan Wirakarya, mereka dididik dengan cuma-cuma. Pola hidup mereka diubah sama sekali. Mereka digembleng terbiasa bekerja keras. Selama dua bulan jadwalnya ketat: bangun subuh, pukul 8 sampai 13 mengikuti pendidikan, dilanjutkan sore hari. Malam hari, sampai pukul 21, mereka mengikuti pendidikan lagi. Boleh dikata hampir 24 jam acaranya padat. Mereka dilatih (teori dan praktek) bercocok tanam dan menguasai berbagai keterampilan seperti yang didapat Suparman. Tinggal di asrama dengan kasur empuk makan-minum tentu saja gratis -- seminggu sekali mereka diizinkan menengok keluarga. Dan yang istimewa, keluarga mereka pun tak luput dari pembinaan. Anggota keluarga bekas gali itu, setiap jiwa, mendapat bantuan 10 kg beras per bulan dan uang Rp 150 per hari. Juga dibimbing cara hidup yang layak. Tamat dari "sekolah" pun mereka masih dibantu modal Rp 50 ribu sampai Rp 80 ribu -- tergantung dari jenis usaha masing-masing. Bila mereka benar-benar menunjukkan sikap insaf, bisa terpilih untuk diberangkatkan bertransmigrasi. Dan dari jauh BPKS akan melakukan evaluasi selama 1-2 tahun. Minggu lalu, angkatan kedua (terdiri dari 10 orang) mulai masuk pendidikan. "Tapi, ini juga merupakan angkatan terakhir. Sebab sebagai lembaga peneliti sosial, BPKS tidak mungkin terus-menerus menyelenggarakan pendidikan. Kami hanya ingin menunjukkan contoh dan resep, beginilah cara penanganan gali yang purna-tuntas," ujar Nelam. Maunya pihak Kodim Bantul menyerahkan 600 bekas gali untuk digembleng. Bahkan, Pemerintah Daerah Bantul sudah mempersiapkan Desa Guwosari di kawasan Selarong untuk permukiman mereka -- semacam "desa bromocorah" di Jawa Timur yang diusahakan oleh Soewono Blong, pemenang Kalpataru 1983 itu. Cuma bedanya, Guwosari akan ditangani oleh semua instansi. Gali Bantul dipilih sebagai obyek penelitian karena banyaknya "anak-anak liar" di sana. "Daerah ini dikenal sebagai gudangnya gali, karena merupakan 'daerah kantung'. Penduduknya padat, lebih dari 1.300 jiwa per km persegi," kata Suparlan, Kepala Biro Kesra Pemerintah Daerah Bantul. Yang jelas, karena Bantul tandus dan penduduknya rata-rata miskin. Hasil penggodokan ini belum bisa dilihat buktinya. Sebab, angkatan pertama saja baru lulus minggu kemarin. Sedang angkatan kedua umumnya enggan bertransmigrasi, padahal mereka dipersiapkan untuk itu. Seperti Paulus Paryono, 28 tahun, yang semula dikenal ke-gali-annya hanya karena pernah membantu mengantar barang-barang hasil curian. "Selesai mengikuti pendidikan saya pengin jadi pedagang kecil dan bertani," katanya. Ia enggan bertransmigrasi sebab orangtuanya sudah "di seberang" sana. Semua peserta merasa puas, tentu saja. Termasuk Sugiyono, 24 tahun, yang mengaku pernah dihukum 4 bulan karena mencuri sepeda. "Dalam pendidikan semuanya terjamin. Dan gratis. Dari mana lagi saya mendapat pengetahuan dan keterampilan kalau tidak dari penaidikan seperti inl," katanya. Dengan bantuan modal Rp 70.000 ia mau beternak ayam. Bersama istri dan seorang anaknya, Sugiyono sudah tercatat sebagai peserta transmigrasl. "Tapi tidak berangkat sekarang. Saya tunda sampai kira-kira pertengahan 1984 nanti, sebab anak saya sekarang baru berumur 4 bulan," katanya. Kini Sugiyono masih wajib lapor di sebuah koramil.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus