Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Hukum

Kasus Gagal Ginjal Akut Anak Diprorses Hukum, Ini Pasal-pasal Penjeratnya

Menurut BPOM, ada 2 perusahaan farmasi terbukti mengedarkan sirop dengan kandungan berbahaya EG dan DEG yang diduga terkait ke gagal ginjal akut.

3 November 2022 | 23.11 WIB

Ilustrasi - Petugas memeriksa kesehatan anak di tengah kasus gagal ginjal akut misterius yang sedang merebak. Dugaannya kasus disebabkan cemaran etilen glikol pada obat sirup. (HO/Antara)
Perbesar
Ilustrasi - Petugas memeriksa kesehatan anak di tengah kasus gagal ginjal akut misterius yang sedang merebak. Dugaannya kasus disebabkan cemaran etilen glikol pada obat sirup. (HO/Antara)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta -Direktorat Tindak Pidana Tertentu atau Dirtipidter Bareskrim Polri lakukan gelar perkara kasus gagal ginjal akut anak yang diduga kuat disebabkan konsumsi obat sirop.

Gelar perkara dilakukan di Mabes Polri, pada Selasa ,1 November 2022, untuk meningkatkan tahap penyelidikan ke penyidikan, hingga ke pengadilan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

“Iya (dilakukan gelar perkara), tunggu dulu nanti hasilnya ya,” kata Direktur Tipidter Bareskrim Polri Brigjen Pol Pipit Rismanto.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebelumnya, Badan Pengawas Obat dan Makanan atau BPOM mengungkap terdapat industri farmasi yang memproduksi obat sirop dengan kandungan bahan berbahaya Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG). Obat tersebut bermerek Flurin DMP Syrup untuk demam dan flu, dengan kandungan EG dan DEG seratus kali lipat di atas ambang batas. Kandungan EG ini ditemukan pada bahan baku propilen glikol, dengan jumlah sebesar 48 miligram per mililiter.

“Sementara syaratnya 0,1 mili gram per mililiter, sekitar hampir 100 kalinya, bayangkan,” ujar Kepala BPOM Penny Lukito dalam konferensi pers virtual pada Senin, 31 Oktober 2022.

Penny menjelaskan, setelah melakukan pemeriksaan terhadap saksi ahli dan pidana, terdapat dua perusahaan farmasi yang diduga melakukan tindak pidana. Sebab, keduanya memproduksi dan mengedarkan produk farmasi yang tak memenuhi standar serta persyaratan keamanan khasiat, pemanfaatan dan mutu. BPOM juga mencabut sertifikat CPOB untuk fasilitas produksi kedua perusahaan farmasi tersebut. Menurut Penny, pencabutan itu dilakukan sesuai BPOM bersama Bareskrim Polri dalam operasi bersama sejak Senin, 24 Oktober 2022.

Baca juga : Beda Sikap dengan Kemenkes, Benarkah BPOM Lindungi Industri Farmasi?

Sementara itu, Pipit mengatakan, polisi tengah mendalami soal kemungkinan adanya pelanggaran Pasal 196 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan atau UU Kesehatan. Namun, tidak menutup kemungkinan akan dikenakan pidana lain jika ditemukan unsur kelalaian dan lainnya. Dalam UU Kesehatan, Pasal 196 dan Pasal 197 berkaitan dengan Pasal 98 dan Pasal 106.

Pasal 98 dan Pasal 106 mengatur izin edar obat dan alat kesehatan yang harus memenuhi standar mutu pelayanan farmasi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Tujuan izin edar ini untuk memastikan obat layak untuk digunakan masyarakat dan komposisinya tepat sesuai ketentuan. Karena, apabila suatu obat yang beredar tidak memenuhi standar mutu, dapat menyebabkan risiko yang berbahaya bagi masyarakat yang mengonsumsinya. Oleh sebab itu, melanggar ketentuan Pasal 196 UU Kesehatan dapat dikenai hukuman pidana yakni maksimal penjara 10 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Bunyi Pasal 196 UU Kesehatan yaitu “Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Adapun Pasal 98 ayat 2 sebagaimana dimaksud Pasal 196 UU yaitu setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan dilarang mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat obat.

Kemudian Ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan, promosi, pengedaran sediaan farmasi dan alat kesehatan, harus memenuhi standar mutu pelayanan farmasi yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah, seperti disebutkan dalam ayat 3.

Menurut Pasal 106 ayat 1, sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar. Menurut regulasi Pasal 197, pidana bisa lebih berat bagi orang yang sengaja melanggar peraturan ini. Yaitu apabila sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar. Adapun pidana yang dapat dijatuhkan adalah pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp. 1.5 miliar.

 

 

 

 

 

 

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus