Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Lorong itu tak lebih satu setengah meter lebarnya. Menjadi bagian dari Jalan SD III di perkampungan padat di pinggir Jalan Tol Simatupang, kawasan Pondok Pinang, Jakarta Selatan, panjangnya sekitar 15 meter, dan mentok. Di situlah, menempel persis di bagian belakang sebuah rumah, kediaman Sauni, 65 tahun.
Sebuah bedeng yang terdiri dari satu ruang tamu yang sempit dan beralas tikar, sebuah ruang tidur dengan satu ranjang, serta kamar mandi yang hanya cukup berdiri satu orang. Di sini perempuan itu tinggal bersama anak lakinya, menantu, dan dua cucunya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika Tempo mendatangi tempat itu, Selasa malam, 23 Januari 2018, Sauni tengah meriung bersama menantu perempuan, dan dua cucunya sembari menonton televisi. Anak lelakinya, yang baru sembuh dari sakit, tiduran di kamar yang menempel dengan ruang tamu. “Senin kemarin saya baru menjenguk Awan, dia minta dibawakan sabun mandi, sabun cuci, dan minyak wangi,” ujar ibu tiga anak itu. “Saya hanya ketemu dia nggak lebih lima menit karena dia dipanggil-panggil petugas,” kata Sauni.
Petugas kepolisian berjaga saat reka ulang kasus kekerasan seksual terhadap murid Taman kanak-kanak di Jakarta International School (JIS), Jakarta Selatan, 30 Mei 2014. Dok. TEMPO/Dian Triyuli Handoko
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Awan, yang bernama lengkap Virgiawan Amin, kini mendekam di Penjara Cipinang, Jakarta Timur, karena divonis melakukan kejahatan seksual terhadap seorang bocah enam tahun, Karel (bukan nama sebenarnya). Saat cucunya itu dibawa pergi dari rumahnya , dan kemudian ditahan di Polda Metro Jaya, Sauni ada di rumah. Malamnya, sejumlah polisi mendatangi rumahnya, membongkar satu-satunya lemari yang ada di rumah itu. “Nggak tahu cari apa,” kata Sauni mengenang peristiwa April empat tahun silam.
Sauni baru tahu apa yang terjadi setelah banyak wartawan datang. Awan, yang diasuhnya sejak usia empat tahun lantaran ditinggal ibunya yang kawin lagi dan lantas menetap di Kertosono, Jawa Timur, itu dituduh melakukan pelecehan seksual terhadap anak kecil di tempatnya bekerja, Jakarta International School –kini menjadi Jakarta Intercultural School. “Saya tidak percaya, Awan itu tidak pernah macam-macam, saya tahu benar sifatnya,” kata Sauni.
Sekitar sepekan berada di Polda, Sauni baru bisa menjenguk Awan. Ia menangis melihat kondisinya. “Kakinya, dari bawah sampai paha penuh luka. Ia bilang, dipukuli,” ujar Sauni.
Kasus pelecehan siswa sekolah Taman Kanak-Kanak Jakarta International School “meledak” pada pengujung April 2014. Enam orang menjadi tersangka dalam kasus ini. Mereka petugas cleaning service dari perusahaan alih daya PT ISS yang bekerja di Taman Kanak-Kanak JIS: Virgiawan Amin (Awan), Syahrial, Zainal Abidin, Agun Iskandar, Afrischa Styani, dan Azwar.
Azwar, pada 26 April 2014 tewas setelah beberapa saat diperiksa polisi. Ia ditemukan tergeletak di dalam kamar mandi. Polisi menyebut Azwar bunuh diri dengan minum cairan pembersih lantai.
Sejumlah orang tua siswa melakukan aksi memberi dukungan terhadap dua guru Jakarta International School (JIS), Neil Bantleman dan Ferdinant Tjiong, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 2 Desember 2014. Dok.TEMPO/Dasril Roszandi
“Kasus JIS”, demikian kemudian kasus ini dikenal, mencuat setelah muncul pengaduan dari Vivi (bukan nama sebenarnya), ibu Karel, pada Maret 2014, yang menyatakan putranya mendapat pelecehan seksual dari para petugas kebersihan. Vivi mendapat keterangan dari anaknya setelah sebelumnya ia mengaku mencurigai sejumlah kelakuan tak lazim Karel. Dibantu David, Manager Operasi JIS, yang membawa sekitar 30-an foto para cleaning service yang bekerja di sana, Karel menunjuk beberapa orang yang menurut dia, “bapak dan mbak jahat.”
Polisi kemudian menangkap Agun dan Afrischa yang namanya pertama disebut Karel. Dari sini menjalar kepada empat orang lain yang bertugas pada hari terjadinya pelecehan seksual tersebut : Zainal, Syahrial, Awan, dan Azwar. Mereka dituduh melakukan sodomi terhadap Karel di toilet Anggrek, toilet anak yang berjarak sekitar 20 meter dari kelas.
Dalam berita acara pemeriksaan (BAP), tercatat pelecehan seksual itu tidak hanya terjadi dalam sehari, tapi tiga hari dalam waktu berbeda. Keenam petugas kebersihan tersebut secara bergantian melakukan pelecehan dengan saling berbagi tugas: ada yang memegang dan mendekap mulut Karel serta menjaga pintu. Menurut polisi setidaknya pelecehan itu terjadi sebelas kali. Dalam satu kali, pelecehan dilakukan tiga orang secara bergantian.
Kasus ini makin ramai setelah beberapa orangtua murid mengaku anaknya pernah mendapat pelecehan dari para guru di sana. Tak hanya kemudian berjalan di jalur pidana, lewat pengacara O.C Kaligis, pengacara yang kini mendekam di Penjara Sukamiskin, Bandung, karena kasus penyuapan, Vivi menggugat perdata JIS, PT ISS, dan Kementerian Pendidikan sebesar US$ 125 juta. Tapi gugatan ini ditolak pengadilan.
JIS menampik jika terjadi pelecehan seksual dilingkungan sekolah mereka. Hasan Basri, petugas ISS yang mengawasi para cleaning service menyatakan pihaknya memiliki standar dan aturan tegas terhadap karyawannya yang bertugas menjaga toilet di JIS. Itu, antara lain, satu toilet hanya dijaga satu pria dan wanita. Petugas juga dilarang bergerombol.
Guru Jakarta International School (JIS), Neil Bantleman (kiri) dan Ferdinant Tjiong, sebelum menjalani sidang perkara dugaan kekerasan seksual terhadap siswa JIS di Pengadilan Jakarta Selatan, pada 2 April 2015. Dok. TEMPO/Iqbal Ichsan
Pembuktian ada tidaknya pelecehan seksual itu sendiri kemudian dilakukan lewat sejumlah tindakan medis.
Yang pertama meminta dilakukan adalah pihak sekolah, Jakarta International School. Karel diperiksa di SOS Media Klinik, Jakarta Selatan. Diperiksa dokter Narain Punjabi pada 22 Maret 2014, Narain menyimpulkan lubang pelepasan Karel normal saja. Kendati demikian Narain menemukan Karel positif herpes.
Dua hari kemudian polisi meminta dilakukan visum et repertum terhadap Karel. Rumah sakit yang dirujuk: RS Ciptomangunkusumo, Jakara Pusat. Selain mendapat pemeriksaan medis, seorang psikolog juga diminta mendampingi Karel. Dari hasil pemeriksaan, dokter menemukan ada luka memar di perut Karel yang diduga akibat benda tumpul. Kepada psikolog, yang memintanya untuk bercerita apa yang terjadi pada dirinya, Karel mengaku dipukul “bapak-bapak nakal” petugas kebersihan.
Dua pemeriksaan tersebut belum sepenuhnya memuaskan Vivi. Pada 27 Maret 2014 perempuan yang kini tinggal di luar negeri ini membawa putranya ke Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan. Vivi meminta dilakukan pemeriksan anuscopy terhadap Karel. Dari hasil pemeriksaan, dokter menemukan ada luka lecet dan nanah dalam dubur Karel.
Luka itu, demikian tertulis pada dokumen pemeriksaan, dapat terjadi karena pelepasan tidak normal atau karena sodomi. Ada keterangan lain: Karel positif terkena herpes. Untuk mengobati ini semua, doktet memberi obat turun panas, obat herpes, dan obat antibakteri yang dimasukkan lewat anus.
Tersangka kasus kekerasan seksual terhadap murid TK Jakarta International School (JIS), Neil Bentlemen, bersiap menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 2 Desember 2014. Dok. TEMPO/Dasril Roszandi
Sebulan kemudian polisi kembali meminta dilakukan visum et repertum atas Karel di Rumah Sakit Pondok Indah. Hasilnya pemeriksaan anuscopy tak beda jauh dari hasil pemeriksaan 27 Maret. Terdapat lecet dan infeksi pada rectum –lubang pengeluaran- Karel.
Dengan hasil ini polisi menyimpulkan para ke-enam petugas kebersihan itu telah melakukan pelecehan seksual terhap Karel. Ada pun Afrischa, dituding membantu terjadinya peristiwa tersebut dengan ikut memegangi Karel.
Tak hanya diperiksa di Polda, penyidik juga membawa Zainal, Awan, Syahrial, dan Agun ke Rumah Sakit Polri Dokter Sukamto di kawasan Kramatjati, Jakarta Timur. Dalam dokumen pemeriksaan yang diperoleh Tempo, dokter Jefferson yang memeriksa dubur para petugas kebersihan tersebut, menyatakan Zainal dan Agun pernah mengalami sodomi. Kesimpulan itu didapat karena anus mereka membentuk corong. “Itu menandakan pernah disodomi,” demikian dokumen pemeriksaan dari dokter Jefferson.
Dengan sejumlah bukti itulah pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 22 Desember 2014 memvonis Awan, Syahrial, Agun, Zainal delapan tahun penjara -dari sepuluh tahun tuntutan jaksa. Ada pun Afrischa tujuh tahun penjara. Mereka dinyatakan terbukti melanggar Pasal 82 UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak.
Sejumlah lembaga menyoroti kasus ini. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), misalnya, mengeritik kekerasan yang diduga terjadi pada pemeriksaan para pekerja kebersihan tersebut. Ketua Harian Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum Indonesia, Choky Ramadhan, saat itu juga menegaskan telah terjadi pelanggaran selama penyidikan. "Kesaksian mereka lemah karena di bawah tekanan."
***
Dokumen yang diperoleh Tempo juga memperlihatkan ada sejumlah keterangan pemeriksaan dokter yang menyatakan tidak melihat ada luka di anus atau dubur Karel. Keterangan itu, misalnya, terdapat dalam dokumen pemeriksaan yang dilakukan dokter Narain Punjabi yang pertama menangani Karel.
Keterangan Narain juga tercatat dalam dokumen pemeriksaannya sebagai saksi –pemeriksaan di bawah sumpah- di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. “Saksi melihat kondisi dubur anak korban tampak normal. Artinya tidak ada luka, tidak ada retak, tidak ada pendarahan, tidak ada nanah, tidak ada gelembung-gelembung kecil berisi cairan,” demikian tertulis dalam dokumen itu. Ada pun soal herpes Narain menyebut, dari pemeriksaan HSV2, menunjukkan tanda positif yakni ada antibodi terhadap virus herpes tipe 2 (HSV).
Kuasa Hukum dua guru Jakarta International School (JIS), Hotman Paris Hutapea (kanan), didampingi keluarga guru JIS mendatangi Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 14 Agustus 2015. Kedatangan Hotman untuk mengambil salinan berkas putusan dari Pengadilan Tinggi Jakarta. TEMPO/M IQBAL ICHSAN
Dokter Oktavinda Safitry yang memeriksa Karel di RSCM, dalam dokumen pemeriksaaan, menyatakan tidak melihat tanda radang atau bekas luka, atau tanda-tanda kekerasan dalam dubur Karel. Kendati demikian, dalam dokumen tertulis pemeriksaannya sebagai saksi pada sidang tertutup di Pengadilan, Oktavinda menyatakan penetrasi ke dalam anus bisa saja tanpa menimbulkan luka jika memakai pelumas. Oktavinda juga menyatakan untuk kasus demikian, ada juga yang menimbulkan luka atau hanya lecet.
Toh semua keterangan itu tidak menyingkirkan keyakinan hakim adanya perkosaan. Hal yang sama diyakini hakim pengadilan tinggi, dan majelis hakim kasasi Mahkamah Agung yang pada 28 Juli 2015 menolak kasasi ke lima terpidana tersebut. Sebelumnya saat bersaksi, sejumlah penyidik polisi yang memeriksa para tersangka menyatakan tidak ada penyiksaaan dan pemukulan apa pun terhadap para petugas kebesihan JIS tersebut. “Penyidikan sudah sesuai dengan prosedur sampai pengadilan,” kata Komisaris Besar Heru Pranoto, yang menjabat Direktur Reserse Kriminal Polda Metro Jaya ketika itu.
Di temui di kantornya di bilangan Tebet, Saut Rajagukguk, pengacara para pekerja Jakarta International School itu menegaskan adanya keterangan dokter yang diabaikan hakim. Saut pengacara senior -ia sudah berpraktek lebih dari 35 tahun. Dia sendiri yang datang dan menjadi kuasa hukum para pekerja itu setelah seseorang memberinya kabar, para tersangka tidak mendapat pendampingan penasehat hukum yang memadai. “Saya mengajak mereka bicara dulu sebelum kemudian saya putuskan membantu mereka,” ujarnya mengenang perkenalan pertamanya dengan para petugas kebersihan Jakarta International School itu. “Mereka ini dihukum atas peristiwa yang tidak pernah terjadi,” katanya.
Saut tidak hanya menunjuk hasil pemeriksaan dokter yang menyebut tidak ada luka dalam dubur, juga menunjuk betapa tidak logisnya tuduhan polisi. “Disebutkan terjadi perkosaaan berkali-kali dalam sehari. Bisa dibayangkan apa yang terjadi pada anak sekecil itu jika itu benar? Dia mungkin tidak akan bisa berdiri,” kata Saut. Tapi, kenapa kasus ini diteruskan? “Karena sudah jalan, heboh. Penegak hukum tidak mau kehilangan muka,” katanya.
Saut menyatakan sampai saat ini pihaknya masih menunggu pemberitahuan resmi dari Mahkamah Agung perihal putusan kasasi kliennya. “Sampai sekarang saya belum menerima, padahal ini penting sebagai dasar kami mengajukan PK, peninjauan kembali,” katanya.
LESTANTYA R. BASKORO