Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kejaksaan Tinggi Jakarta masih meminta keterangan ahli dan saksi atas kasus korupsi dengan tersangka Kepala Dinas Kebudayaan Jakarta non aktif Iwan Henry Wardhana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasus dugaan korupsi itu belum naik ke tahap II yakni pelimpahan tersangka dan barang bukti dari penyidik ke Jaksa Penuntut Umum. “Awal puasa kayaknya naik tahap II,”ujar Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati DKI Jakarta Syahron Hasibuan di Gedung Kejati DKI Jakarta, Rabu, 5 Februari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Iwan ditetapkan sebagai tersangka bersama dua orang lainnya, Kepala Bidang Pemanfaatan Disbud Jakarta M. Fairza Maulana dan Gatot Arif Rahma selaku pihak vendor dari swasta. Mereka ditetapkan sebagai tersangka pada 2 Januari 2025 dan telah ditahan pada 6 Januari 2025.
Dalam keterangan Kejati DK Jakarta sebelumnya dijelaskan, bahwa ketiganya melakukan penyimpangan kegiatan Dinas Kebudayaan DK Jakarta. Fairza dan Gatot membuat kesepakatan penggunaan sanggar fiktif dalam pembuatan surat pertanggungjawaban atau SPJ. Tujuannya untuk mencairkan dana kegiatan seni dan budaya.
Uang itu kemudian masuk ke kantong sanggar fiktif atau sanggar yang namanya telah dicatut. Lalu ditampung ke rekening meilik Gatot. Diduga uang korupsi itu digunakan untuk kepentingan Iwan dan Fauzan. Atas tindakan mereka Kejati Jakarta mengatakan ada kerugian negara mencapai Rp 150 miliar.
Kejaksaan Tinggi Jakarta menyebut perbuatan mereka bertentangan dengan UU Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelengaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi Kolusi dan Nepotisme, Peraturan Presiden RI Nomor 12 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden RI Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Lalu Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 5 Tahun 2007 Tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 8 Tahun 2018 Tentang Pedoman Swakelola.
Ketiganya kemudian dijerat Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Jo. Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.