SIARAN televisi Selasa tengah malam pekan lalu baru usai. Pemilik warung kelontong di kompleks perkebunan inti rakyat (PIR) Kecamatan Betung -- 70 kilometer sebelah barat Palembang -- Zulhijah bin Umar, 35 tahun, bermaksud beranjak tidur. Tiba-tiba ia mendengar benturan benda keras di serambi rumahnya. Ia bergegas ke situ. Ternyata, suara tadi berasal dari kaca pintu rumah yang pecah berantakan. Belum sempat Zul berpikir tentang penyebab pecahnya kaca pintu itu, tiba-tiba sekawanan orang bertopeng putih telah meringkusnya. Tangannya diikat dengan tali rami. Dan tanpa bicara apa-apa, seorang di antara mereka menembak kepala Zul dari belakang. Zul tersungkur, darah mengucur dari tengkuknya. Kawanan yang mengira Zul tewas menyelimuti tubuhnya dengan karpet dan kemudian menutupnya dengan kursi panjang. Kawanan yang bersenjata api dan parang itu kemudian beraksi ke penghuni rumah yang lain. Ayah Zul, Umar -- yang malam itu kebetulan menginap di situ bersama istrinya -- ikut disandera. Malah, kepala Umar, 56 tahun. dipukul enam kali dengan gagang pistol hingga orang tua itu pingsan. Istri Zul, Erna, juga diikat bersama adik dan keponakannya serta keempat anaknya. Mereka diikat di tiang rumah dan di kursi. Kawanan rampok itu rupanya paham betul bahwa Zul, pemilik warung satu-satunya di kompleks yang terdiri atas 250 rumah itu, setiap akhir bulan menerima pembayaran utang karyawan PIR. Karena itu, mereka meminta Erna menunjukkan uang dan perhiasan simpanannya. Ibu beranak empat itu segera memberikan uangnya Rp 350 ribu. Tapi kawanan bandit itu tak puas. Sebuah gagang pistol dihajarkannya ke bawah mata kiri Erna hingga memar. Setelah itu, untuk menunjukkan kunci lemari, ikatan wanita itu mereka lepas. Berkat kunci itu, kawanan rampok mengeduk uang Rp 550 ribu dan sejumlah perhiasan. Sebuah televisi warna ukuran 14 inci ikut mereka boyong. Selagi para perampok beraksi itulah, tetangga Zul, Robert dan Rozi, lewat didepan rumah tersebut. Keduanya, heran melihat ada orang di halaman rumah Zul. "Ada apa?" tanya keduanya. Jawabnya: mereka ikut diringkus, diikat, dan dimasukkan ke dalam rumah Zul. Di dalam rumah, Robert dipermak. Ia dimasukkan ke dalam kasur, dan diikat. Setelah itu, kasur itu disiramnya dengan minyak kelapa, dan disulut. Entah mengapa, apinya melempem. Nyala api justru timbul dari kolong rumah Zul. Ternyata, perampok itu telah menyiramkan bensin di kolong rumah panggung setinggi setengah meter dari tanah tersebut. Api dan asap pun menjalar. Erna, yang sudah lepas dari ikatan, segera berlari ke luar rumah mencari sumber api. Tapi, ketika ia akan memadamkannya, seseorang dalam gelap berteriak. "Jangan bergerak, jangan dipadamkan," teriaknya. Erna benar-benar panik. Ia balik lari ke dalam rumah, dan membantu melepaskan tali yang mengikat anak-anaknya. Zul, yang hanya terluka dan pura-pura mati, segera bangun. Umar pun siuman. Selagi korban menyelamatkan diri itu, kawanan rampok yang beraksi hanya setengah jam itu kabur. Dalam waktu singkat rumah ukuran 6 X 10 meter, plus warung seluas 4 X 4 meter, ludes dimakan api. Perabot rumah tangga, dua buah sepeda motor, dan 20 karung beras ikut musnah. Kerugian ditaksir Rp 25 juta. Lebih tragis lagi si bungsu Nurjanah, 3 tahun, tewas terbakar. Bocah itu ditemukan gosong dengan kepala pecah. "Kematian anak itu lebih memprihatinkan kami," kata Zul, yang kini terbaring di Rumah Sakit Umum Palembang, menunggu operasi pengambilan peluru yang bersarang di tengkuknya. Sementara itu, istri dan anak-anaknya kini diungsikan ke rumah mertuanya. Hingga Senin pekan ini, kawanan rampok yang diperkirakan lebih empat orang, itu belum tertangkap. Polisi kini sedang memburu rampok itu. "Kami sedang menurunkan tim untuk melacak jejak perampok," kata sebuah sumber TEMPO di Polda Sumbagsel.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini